Beranda

Pemberontakan Pati: Tragedi Pragola I dan Panembahan Senopati

Pemberontakan Pati: Tragedi Pragola I dan Panembahan Senopati
Ilustrasi Adipati Pragola I dari Pati yang memimpin pemberontakan Pati terhadap Mataram (ai/io)

Kisah Pemberontakan Pati di akhir abad ke-16, sebuah drama keluarga, cemburu, dan ambisi antara Adipati Pragola I dan Panembahan Senopati yang mengubah takdir Kesultanan Mataram selamanya.

INDONESIAONLINE – Di pengujung abad ke-16, udara di pesisir utara Jawa terasa berat oleh ketegangan. Di jantungnya bukan sekadar perebutan wilayah, melainkan bara dalam sekam yang membakar dari dalam istana: cemburu. Inilah kisah Pemberontakan Pati, sebuah tragedi keluarga yang mengguncang fondasi Kesultanan Mataram, mempertaruhkan hubungan darah di atas altar kekuasaan.

Dua tokoh utama berdiri di pusat pusaran ini. Di satu sisi, Panembahan Senopati, sang pendiri Mataram yang visioner dan dingin. Di sisi lain, Adipati Pragola I dari Pati, iparnya sendiri, seorang bangsawan yang merasa martabat keluarganya terancam. Kisah mereka adalah cermin retak dari bagaimana ambisi dan ikatan keluarga dapat saling menghancurkan, menorehkan luka yang membentuk arah sejarah.

Akar Cemburu di Jantung Kuasa

Adipati Pragola I, lahir sebagai Wasis Jayakusuma, bukanlah sosok sembarangan. Ia adalah putra Ki Panjawi, penasihat agung Mataram dan keturunan tokoh-tokoh terhormat seperti Bhre Kertabhumi dan Sunan Kalijaga.

Darah biru dan pengaruh spiritual mengalir deras dalam nadinya. Kakak perempuannya, Putri Waskita Jawi, adalah permaisuri pertama Panembahan Senopati, ibu dari putra mahkota, Raden Mas Jolang. Secara teori, posisinya aman.

Namun, politik tak pernah berjalan lurus. Langkah strategis Panembahan Senopati menaklukkan Madiun dengan menikahi putri penguasanya, Retno Dumilah, menjadi pemicu. Retno Dumilah diangkat sebagai permaisuri kedua. Kehadirannya bukan hanya membawa kekuatan politik baru, tetapi juga menggeser keseimbangan di dalam keraton.

Bagi Pragola I, ini adalah ancaman nyata. Ia melihat posisi kakaknya, Sang Ratu Mas, dan yang lebih penting, masa depan keponakannya, Raden Mas Jolang, sebagai pewaris takhta menjadi kabur. Munculnya Pangeran Adipati Juminah, putra dari Senopati dan Retno Dumilah, menjadi momok yang menghantui.

Cemburu personal berjalin dengan kekhawatiran politik; sebuah kombinasi mematikan yang perlahan mendorongnya ke tepi jurang pemberontakan.

Ketegangan yang semula terpendam akhirnya meledak menjadi tuntutan. Pragola I mengirim utusan, meminta wilayah tambahan di utara Gunung Kendeng. Senopati, mencoba meredam api, memberikan sebagian wilayah. Namun, bagi Pragola, itu tak cukup.

Ujian kesetiaan paling tajam datang ketika Pragola meminta sebuah tombak pusaka beserta gagangnya. Panembahan Senopati, yang mencium niat tersembunyi, hanya mengirimkan mata tombaknya. Sebuah pesan simbolis yang jelas: persaudaraan telah retak, kepercayaan telah hilang.

Pada tahun 1600, genderang perang ditabuh. Dipimpin jenderal-jenderal tangguh, pasukan Pati menyerbu wilayah Mataram. Pemberontakan terbuka telah dimulai.

Puncak Tragedi di Prambanan

Menghadapi pemberontakan iparnya sendiri, Panembahan Senopati mengambil keputusan yang menyayat hati. Ia menunjuk putranya, Raden Mas Jolang, untuk memimpin pasukan Mataram. Di medan laga dekat Prambanan, terjadilah pemandangan tragis: seorang paman berhadapan dengan keponakannya sendiri.

Pragola I, dengan kesaktiannya, unggul. Ia sempat ragu untuk melawan darah dagingnya, namun desakan perang tak terhindarkan. Dalam puncak frustrasi dan konflik batin, Pragola I memukulkan gagang tombaknya ke pelipis Raden Mas Jolang hingga berdarah. Sebuah tindakan yang menyiratkan betapa dalamnya luka dan dilema yang ia hadapi.

Kabar terlukanya sang putra sampai ke telinga Ratu Mas di istana. Dengan hati yang hancur, ia merelakan kematian adiknya sendiri demi keutuhan kerajaan suaminya.

Di tengah kekacauan ini, Panembahan Senopati turun tangan secara pribadi. Dengan strategi yang matang, ia membalikkan keadaan. Pasukan Pati porak-poranda, dan Adipati Pragola I terpaksa melarikan diri, menghilang dari panggung sejarah, sebagian riwayat menyebutnya bertahan hingga akhir hayat di bentengnya di Gunung Pati.

Kekalahan Pragola I menjadi titik balik. Kekhawatirannya atas nasib keponakannya ternyata sebuah paradoks. Setelah Panembahan Senopati wafat pada 1601, justru Raden Mas Jolang—putra dari permaisuri pertama yang posisinya ia perjuangkan—yang naik takhta dengan gelar Panembahan Hanyakrawati.

Sejarah berbelok dari pertumpahan darah ke pembangunan. Panembahan Hanyakrawati membuktikan dirinya sebagai raja yang bijaksana. Ia tidak melanjutkan ekspansi dengan kekerasan, melainkan fokus mempercantik ibu kota.

Ia membangun Prabayeksa (kediaman resmi raja), taman Danalaya yang indah, dan memperkuat Keraton Kotagede dengan tembok megah.

Perhatiannya juga tercurah pada sastra, dengan memerintahkan penulisan Babad Demak. Dari pusaran konflik yang dipicu oleh kekhawatiran akan takhtanya, Hanyakrawati justru memimpin Mataram ke era baru yang lebih damai dan berbudaya.

Pemberontakan Pati adalah pengingat abadi bahwa dalam panggung kekuasaan, hubungan darah tak selalu menjadi jaminan kesetiaan. Namun dari abunya, lahir sebuah legasi tak terduga, di mana seorang pangeran yang nyaris menjadi korban konflik, justru menjadi arsitek perdamaian dan kemegahan kerajaannya.

Exit mobile version