Perang Demak vs Majapahit: Pertarungan Sunan Ngudung Melawan Andayaningrat

Perang Demak vs Majapahit: Pertarungan Sunan Ngudung Melawan  Andayaningrat
Makam Ki Ageng Pengging Sepuh (Andayaningrat) di Dusun Malangan, Desa Dukuh, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali. Makam ini menjadi saksi sejarah peralihan dari Majapahit ke Demak dan dihormati sebagai salah satu situs bersejarah di Jawa Tengah. (foto: aunur rofiq/jtn group)

INDONESIAONLINE — Sejarah mencatat Kesultanan Demak dan Kerajaan Majapahit pernah berperang. Perang itu bukan sekadar pertempuran fisik antara dua kekuatan, tetapi juga mencerminkan pergeseran besar dalam tatanan politik dan keagamaan di Jawa pada akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16.

Benturan antara Islam dan Majapahit tidak terjadi dalam ruang hampa, melainkan dalam lanskap politik yang kompleks, ketika loyalitas sering bersinggungan dengan keyakinan pribadi dan hubungan kekeluargaan.

Sunan Ngudung dan Andayaningrat, dua tokoh utama dalam pertempuran ini, menjadi representasi dari dua kutub yang berlawanan. Sunan Ngudung, seorang ulama besar sekaligus panglima Demak, memimpin pasukan santri dalam upaya menggempur sisa-sisa kekuatan Majapahit. Sementara itu, Andayaningrat, raja Pengging yang juga seorang muslim, tetap setia kepada Majapahit dan memilih bertempur di pihak kerajaan Hindu-Buddha yang sedang mengalami kemunduran itu.

Silsilah dan Sejarah Singkat Andayaningrat

Andayaningrat adalah seorang bangsawan yang memiliki peran penting dalam sejarah Nusantara, terutama pada masa transisi dari Kerajaan Majapahit menuju Kesultanan Demak. Ia juga dikenal dengan nama Sri Makurung Prabu Andayaningrat atau Ki Ageng Pengging Sepuh, seorang tokoh yang mempertahankan nilai-nilai kebangsawanan Majapahit di tengah pergolakan politik dan perubahan zaman. Sebagai pemimpin Pengging, ia memiliki pengaruh besar di wilayahnya dan terlibat dalam berbagai peristiwa penting yang menentukan arah sejarah Jawa pada abad ke-15 hingga awal abad ke-16.

Andayaningrat berasal dari garis keturunan bangsawan Majapahit yang memiliki hubungan erat dengan tokoh-tokoh penting kerajaan. Ia adalah cucu dari Mahapatih Gajah Mada, sosok legendaris yang berjasa dalam menyatukan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit. Ayahnya, Harya Pandaya III, merupakan bangsawan Majapahit yang setia kepada kerajaan. Dengan garis keturunan ini, Andayaningrat tumbuh dalam lingkungan yang sarat dengan ajaran kepemimpinan, strategi politik, dan nilai-nilai kebangsawanan.

Sebagai bagian dari keluarga kerajaan, Andayaningrat menikah dengan Retna Pembayun, putri Prabu Brawijaya V dari pernikahannya dengan Dewi Dwarawati. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai tiga orang putra: Raden Kebo Kanigara, Raden Kebo Kenanga -yang kelak dikenal sebagai Ki Ageng Pengging- dan Raden Kebo Amiluhur, yang meninggal di usia muda. Salah satu putranya, Raden Kebo Kenanga, kemudian memainkan peran penting dalam sejarah awal Kesultanan Demak serta penyebaran Islam di Jawa.

Pada masa itu, Pengging menjadi salah satu pusat perlawanan terhadap ekspansi Kesultanan Demak, yang memicu ketegangan antara Andayaningrat dan kekuatan Islam yang berkembang pesat di pesisir utara Jawa. Konflik ini berlanjut hingga masa pemerintahan keturunannya, terutama Ki Ageng Pengging, yang tetap mempertahankan identitas politik dan budaya Majapahit di tengah pengaruh Islam yang semakin kuat.

Puncak perseteruan antara Pengging dan Demak terjadi ketika Ki Ageng Pengging dianggap sebagai ancaman oleh Kesultanan Demak. Ia akhirnya dieksekusi atas perintah Sunan Kudus, yang pada saat itu mewakili otoritas keagamaan dan politik Demak. Peristiwa ini menjadi titik balik dalam sejarah, menandai semakin dominannya kekuasaan Islam di Jawa sekaligus berakhirnya pengaruh Pengging sebagai salah satu pusat kekuatan Majapahit yang tersisa.

Akar Konflik: Kematian Sunan Ampel dan Perubahan Arah Demak

Menurut naskah Pararaton yang diterbitkan oleh J.L.A. Brandes (1920), setelah wafatnya Sunan Ampel, para santri Demak memutuskan untuk menyerang Majapahit yang bertahan di pedalaman. Keputusan ini bertentangan dengan pendapat Sunan Kalijaga, yang mengingatkan bahwa Demak masih menunjukkan kesetiaannya kepada Majapahit dengan tetap mengirimkan seba (upeti). Namun, semangat jihad di kalangan santri lebih kuat.

Pangeran Ngudung, yang saat itu menjabat sebagai imam Masjid Demak, bersama para pemuka agama lain, akhirnya memimpin pasukan santri dalam sebuah gerakan militer besar. Mereka tergabung dalam Laskar Suranata, sebuah pasukan yang terdiri dari santri-santri militan yang ingin menegakkan kekuasaan Islam di tanah Jawa.

Sebagai seorang panglima perang, Pangeran Ngudung dikenal memiliki Jubah Antakusuma, sebuah relik yang konon pernah dikenakan oleh Nabi Muhammad SAW dan diyakini memiliki kekuatan spiritual. Relik ini dipercaya membawa keberuntungan dalam pertempuran dan menjadi simbol legitimasi perjuangan kaum santri melawan sisa-sisa kejayaan Hindu-Buddha.

Perang Pertama: Kegagalan di Tuban

Serangan pertama pasukan Demak ke Majapahit terjadi di Tuban. Namun, pasukan Majapahit yang dipimpin oleh seorang patih bergelar Gajah Mada—sebutan umum bagi patih Majapahit dalam historiografi Jawa—berhasil memukul mundur pasukan santri.

Kekalahan pasukan Demak disebabkan oleh beberapa faktor utama. Kurangnya pengalaman tempur menjadi salah satu kelemahan utama, karena sebagian besar pasukan santri lebih terbiasa dengan lingkungan akademik pesantren daripada medan perang yang brutal. Selain itu, persenjataan Majapahit masih lebih unggul, mengandalkan teknologi perang dari masa kejayaannya. Faktor lain yang memperlemah pasukan Demak adalah ketidaksepakatan internal, terutama karena Adipati Terung Raden Kusen menolak untuk sepenuhnya memihak Demak.

Adipati Terung sendiri merupakan adik Raden Patah, sultan Demak, namun ia tetap setia kepada Majapahit karena wasiat Sunan Ampel yang memintanya mengabdi kepada kerajaan tua itu. Dengan demikian, perang ini tidak hanya mencerminkan pertarungan antara dua kekuatan, tetapi juga kompleksitas hubungan darah di antara para tokoh utama.

Serangan Kedua: Pertempuran di Wirasabha dan Gugurnya Sunan Ngudung

Serangan kedua dilakukan dengan lebih matang. Pangeran Ngudung kali ini turun langsung ke medan tempur. Pasukan Demak menghadapi kekuatan Majapahit yang dipimpin oleh adipati Terung, Andayaningrat (raja Pengging), Kebo Kanigara (putra sulung Andayaningrat), Arya Gugur (putra mahkota Majapahit), dan adipati Klungkung dari Bali.

Pertempuran besar ini terjadi di Wirasabha, sebuah lokasi yang menurut sumber Serat Kandaning Ringgit Purwa terletak di perbatasan Jombang dan Kediri, di tepi sungai Tunggarana.bPerang ini berlangsung dengan sengit, seperti digambarkan dalam Serat Kandaning Ringgit Purwa:

Mangsa ngrana wadya buda pan lir yaksa, bedhil-binedhil sam atantang-tinantang, buru-binuru samya, agenti asilih ungkih, gumuruh samya, agent surak sami, wadya Islam tan ajrih wau palastra, juritnyd ngayok wani, kengser wadya buda, ngungsi wau wingkingnya, ratu Dayaningrat uning, mangsa ing yuda, owanter tandangneki.

Terjemahannya menyatakan bahwa pertempuran berlangsung dahsyat. Pasukan Majapahit yang digambarkan seperti raksasa menembakkan senjata mereka tanpa henti. Namun pasukan Islam tidak gentar dan terus maju. Perlawanan semakin sengit, dengan masing-masing pihak berusaha saling mendesak.

Dalam pertempuran ini, Andayaningrat bertarung dengan gagah berani, tetapi akhirnya gugur setelah tombak menembus dadanya. Kepalanya dipenggal, dan kematiannya menyebabkan pasukan Majapahit kehilangan semangat juang, yang membuat posisi mereka semakin terdesak.

Namun, kemenangan Demak tidak berlangsung lama. Sunan Ngudung, yang memimpin pasukan, akhirnya berhadapan langsung dengan adipati Terung dalam duel satu lawan satu. Duel ini memiliki keunikan tersendiri karena Raden Kusen -adipati Terung- merupakan besan Sunan Ngudung. Putra Sunan Ngudung, yaitu Sunan Kudus, menikahi putri Raden Kusen, menjadikan pertarungan ini sarat dengan ironi dan ketegangan batin.

Dalam pertarungan sengit itu, Sunan Ngudung terkena tombak di betisnya, kehilangan keseimbangan, lalu jatuh dari kudanya. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh adipati Terung untuk menghabisinya dengan tebasan pedang, memenggal kepala pemimpin spiritual pasukan santri.

Gugurnya Sunan Ngudung menjadi titik balik dalam pertempuran ini. Tanpa pemimpin spiritual mereka, pasukan Demak kehilangan moral tempur dan akhirnya terpaksa mundur, meninggalkan kemenangan di tangan Majapahit.

Dampak: Retaknya Persatuan Islam dan Akhir Era Majapahit

Setelah pertempuran ini, perpecahan dalam barisan Islam semakin tampak. Putra-putra Raja Majapahit yang telah memeluk Islam menolak untuk ikut serta dalam pertempuran selanjutnya. Mereka lebih memilih kembali ke daerah mereka masing-masing, menandakan bahwa perang ini bukan sekadar bentrokan antara Islam dan Hindu-Buddha, tetapi juga perang internal antara berbagai faksi Islam di Jawa.

Di sisi lain, kekalahan ini tidak serta-merta membuat Demak mundur dari ambisinya. Beberapa tahun setelahnya, di bawah kepemimpinan Sultan Trenggana, Demak akhirnya berhasil menguasai sisa-sisa wilayah Majapahit, menandai runtuhnya kerajaan Hindu-Buddha terakhir di Jawa.

Sebuah Perang yang Mengubah Jawa

Perang antara Demak dan Majapahit bukan hanya tentang perebutan kekuasaan, tetapi juga tentang transisi budaya, agama, dan politik di Nusantara. Perang ini memperlihatkan bagaimana Islam tidak selalu berjalan dengan damai dalam penyebarannya, tetapi juga melalui konflik yang rumit dengan sesama muslim maupun dengan sisa kekuatan Hindu-Buddha.

Kisah Sunan Ngudung dan Andayaningrat mencerminkan dilema para tokoh besar di masa transisi ini: memilih kesetiaan kepada agama, atau tetap mempertahankan loyalitas kepada kerajaan lama yang telah memberi mereka kedudukan.

Pada akhirnya, perang ini mengantarkan Demak sebagai kerajaan Islam pertama yang berkuasa di Jawa, sekaligus menandai runtuhnya hegemoni Majapahit yang telah bertahan selama lebih dari dua abad. (ar/hel)