INDONESIAONLINE – Ustad Khalid Basalamah (UKB) menegaskan tidak pernah menyatakan wayang itu haram. Dia juga meminta maaf. Namun polemik “boneka haram” terus berkecamuk di media sosial. Permintaan maaf itu dimaknai sebagai pengakuan bahwa ia telah mengharamkan wayang.

Ya, itulah masalahnya dengan pesan yang sudah viral di media sosial. Viral terkadang seperti banjir bandang. Alirannya meluap ke mana-mana dan semakin keruh. Hanya sedikit air yang dapat dikembalikan ke kanal.

Dalam menyikapi kontroversi wayang haram, sebagian masyarakat tidak mencari jawaban dengan membandingkan argumen-argumen yang berkembang. Tapi dengan melihat karakternya. Diantaranya, ada dua tokoh yang digunakan untuk menjawabnya, yakni Gus Dur dan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.

Kalau wayang haram, bagaimana Gus Dur dan Muhadjir bisa menyukai wayang? Gus Dur pernah menjadi wakil Nahdlatul Ulama (NU). Muhadjir mewakili Muhammadiyah.

Gus Dur yang pernah menjadi Ketua Umum PBNU dikenal sebagai penggemar wayang kulit. Saat menjadi Presiden, ia membawa koleksi kaset wayang kulitnya ke Istana. Di antara favoritnya adalah dalang Ki Nartosabdo. Satu lakon wayang berisi sekitar 10 kaset.

Muhadjir merupakan Ketua PP Muhammadiyah dan mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) selama 4 periode. Selama menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, ia menjadi dalang, meski hanya sebatas mucuki (awal). Termasuk dalang dengan dalang terkenal Ki Manteb Sudarsono di Jakarta.

Ia juga merekomendasikan agar wayang menjadi kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Sebagai bagian dari pendidikan karakter. Mengajak para dalang menjadi tutor di sekolah tersebut. Langkah Muhadjir ini sejalan dengan keputusan Tanwir Muhammadiyah Denpasar tahun 2002 tentang dakwah budaya.

Guru Soeroya

Muhadjir sangat paham tentang wayang. Ayahnya, Soeroya adalah seorang guru yang merangkap sebagai dalang dari tiga zaman (Belanda, Jepang, dan kemerdekaan). Beberapa orang juga menganggap Soeroya sebagai kiai. Tapi Soeroya merasa lebih nyaman dipanggil guru. Muhadjir adalah anak ke-6 dari pasangan Soeroya-Hj. Sri Subita.

Langkah Guru Soeroya menjadi dalang menuai kontroversi. Keluarganya sangat menentangnya. Anda tahu dia dari keluarga mahasiswa. Pada tahun 1930-an, masih terdapat dikotomi santri-abangan yang kuat dalam masyarakat Jawa. Ayahnya, Kiai Muhammad Talhah, adalah seorang kiai terkenal di daerah Caruban, Kabupaten Madiun.

Nenek moyangnya mencapai waliyullah Ki Ageng Basyariyah di Sewulan (Madiun) dan Kiai Kasan Besari, Tegalsari, Ponorogo. Jika ditelusuri lebih jauh, itu mengarah pada Panembahan Senapati, Raja Mataram. Guru Soeroya satu keturunan dengan Gus Dur. Juga satu garis kerabat dengan Kiai Imam Zarkasi, pendiri Pondok Modern Gontor, Ponorogo.

Guru Soeroya melanjutkan dengan maksud meneruskan model dakwah Wali Songo. Dia membuat inovasi wayang. Ia sangat pengertian, wayang yang paling peka adalah keberadaan para dewa karena dapat menyentuh keimanan. Dalam wayang yang diwarnai dengan pengaruh Hindu, para dewa adalah pencipta dan penguasa alam semesta atau dewa-dewa. Jadi disebut ulun. Sedangkan manusia disebut ordo (makhluk).

Maka Guru Soeroya melakukan tajdid (inovasi, pembaharuan) bahwa para dewa adalah makhluk biasa. Bahkan bisa dikalahkan oleh manusia seperti dalam lakon Newatakawaca. Jika mengacu pada subjek Tuhan, Guru Soeroya memilih menggunakan istilah Kang Mahakuwasa (Yang Mahakuasa), Kang Murbeng Dumadi (Sang Pencipta), Kang Akarya Jagat (Sang Pencipta Alam Semesta).

Dalam setiap pementasan, Guru Soeroya membuat sesi yang berisi “penghafalan”. Biasanya mengurangi waktu perang bunga. Misalnya, seorang pendeta memberi nasihat kepada seorang ksatria atau seorang cantrik. Bisa Semar untuk anak-anaknya.

Isi dari “tilawah” biasanya berupa pesan-pesan moral, teguran-teguran ma’ruf nahi munkar. Di antara sumber yang digunakan adalah kitab-kitab Serat Ambya, Wirid Hidayat Jati, Serat Kalatidha karya Pujangga Besar Jawa Ronggowarsito dan lain-lain. Guru Soeroya mengidolakan Ronggowarsito sampai ia menyandang nama Suryowarsito saat sudah tua.

Keberaniannya untuk berinovasi membuatnya menjadi dalang eksklusif. Termasuk dalang papan atas dan mahal di zamannya. Penggemarnya tersebar di seluruh Jawa Timur, terutama bagian barat. Banyak dalang yang mengikuti jejak Guru Soeroya dengan menyisipkan “tilawah”. Misalnya Ki Ponijan Dipotaruno dari Padas, Ngawi.

Prof Malik Fadjar

Guru Soeroya tidak hanya seorang dalang, ia juga pandai membuat wayang kulit. Setidaknya ada dua set (kotak) wayang kulit lengkap. Satu kotak disumbangkan ke UMM untuk dilestarikan.

Sejak zaman Rektor Prof Malik Fadjar, UMM rutin menggelar wayang kulit. Kebetulan Malik Fadjar juga penggemar wayang kulit. Dinding rumahnya dihiasi dengan wayang kulit. Di keluarganya, Malik dijuluki tokoh wayang Bima atau Werkudara karena masa mudanya yang tinggi dan gagah. Apalagi dia suka menggendong ibunya seperti Bima menggendong ibunya, Kunti.

Jadi sebenarnya dimensi kontroversial dari wayang kulit sudah ada sejak lama. Namun masyarakat Jawa sangat cerdas dan bijaksana dalam meredam kontroversi atau konflik. Berdasarkan tanggung jawab untuk menjaga keserasian, keseimbangan dan keserasian. Harmonisasi sosial. Pukul ikan tanpa mengaburkan air.

Tidak semua masalah diselesaikan dengan pendekatan ilmiah. Studi akal sehat. Berdebat, berdebat sampai mata berkaca-kaca dan mulut berbusa. Menang-menang. menjadi viral. Tapi itu benar-benar mengutamakan pendekatan batin. Rasa.

Orang Jawa sangat menyadari betapa pentingnya menjaga mata batin tetap jernih. Karena di akhir zaman, manusia akan cenderung hanya menggunakan mata luar, doktrin ilmiah. Tapi akan mengabaikan mata batin.

Fenomena ini disebut oleh Ronggowarsito sebagai zaman Kalatidha atau zaman kegelapan. Bukan karena dunia ini gelap, tidak ada listrik atau penerangan, tetapi dunia kecil manusia (hati) inilah yang gelap.

“Dan sungguh, Kami akan mengisi Neraka dengan banyak dari antara jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi mereka tidak menggunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak mereka gunakan untuk melihat (tanda-tanda kebesaran Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak mereka gunakan untuk mendengar (tanda-tanda kekuasaan Allah). ). Mereka seperti ternak, lebih-lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al-Qur’an: Al Araf 179).

“Dan barang siapa yang buta (hatinya) di dunia, maka di akhirat dia akan buta dan tersesat jauh dari jalan (yang benar).” (Al-Qur’an: Al Isra ’72).

Astagfirullah. Rabbi a’lam (Allah Maha Mengetahui).

Anwar Hudijono, Pakar Gerakan Nasional Revolusi Mental Kementerian Koordinator Pemberdayaan Masyarakat dan Kebudayaan.