Postingan “Lying Flat” Ramai setelah Diunggah Lulusan Sarjana di China 

INDONESIAONLINE – Fenomena “lying flat” atau “tang ping” sedang marak di kalangan lulusan sarjana di China. Istilah ini mencuat di media sosial dan menggambarkan sikap para lulusan yang merasa lelah dengan tekanan belajar dan bekerja keras, lalu memilih menjadi “full time children” di rumah.

Menurut investment storyteller, content creator, dan pengusaha di industri keuangan dan investasi Felicia Putri Tjiasaka, para lulusan sarjana di China memilih menemani orang tua dan membantu pekerjaan rumah tangga sebagai cara hidup.

Bahkan mendapat gaji dari orang tua mereka. Fenomena ini muncul sebagai respons terhadap situasi ekonomi dan sosial yang mereka hadapi.

Lebih lanjut, Felicia menjelaskan pada tahun 2023, jumlah lulusan di China mencapai rekor tertinggi dengan hampir 10 juta mahasiswa. Namun, di sisi lain, tingkat pengangguran di kalangan anak muda juga melonjak hingga 21%.

Dilansir dari ulasan Felicia melalui akun Instagram pribadinya, ada beberapa faktor utama yang mempengaruhi situasi lulusan kuliah di China tersebut.

1. Ambruknya Industri Properti

Industri properti yang selama ini menjadi salah satu penopang ekonomi China mengalami krisis, menyebabkan peluang kerja di sektor ini menurun drastis.

2. Perang Dagang

Ketegangan perdagangan antara China dan negara-negara lain, terutama Amerika Serikat, mempengaruhi stabilitas ekonomi dan membuka lebih sedikit kesempatan kerja bagi lulusan baru.

3. Zero Covid Policy

Kebijakan ketat untuk mengendalikan pandemi Covid-19 juga memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian dan pasar kerja.

Meski menghadapi situasi ekonomi yang sulit, banyak orang tua di China masih memiliki aset properti yang nilainya melonjak puluhan hingga ratusan persen pada tahun 2010-an. Kondisi ini memungkinkan mereka untuk mendukung anak-anak mereka yang memilih tinggal di rumah dan membantu pekerjaan rumah tangga.

“Untungnya orang tua mereka masih punya banyak uang, karena aset properti yang naik puluhan ratusan persen di tahun 2010,” jelas Felicia.

Selain itu, fenomena “lying flat” juga berdampak pada keputusan banyak anak muda untuk menunda menikah dan berkeluarga. Sebagian memilih melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 dan S3 bukan untuk mengejar karier akademis, melainkan sebagai cara untuk menunda masalah pengangguran.

“Banyak juga yang melanjutkan sekolah S2 dan S3 untuk killing time tapi sebenarnya delay the problem,” tambah Felicia.

Problem pengangguran di China juga terjadi karena negeri tirai bambu tersebut berinvestasi besar-besaran dalam teknologi kecerdasan buatan (AI). Hal ini juga menimbulkan kekhawatiran bahwa semakin banyak pekerjaan yang akan tergantikan oleh teknologi di masa depan.

“Apalagi dengan China yang terus berinvestasi di AI, makin banyak pekerja yang akan tergantikan teknologi di masa depan,” jelasnya.

“Menurut kalian fenomena ini bakal mampir ke Indonesia nggak?,” pungkas Felicia. (bin/hel)