Presiden Prabowo Rehabilitasi Dua Guru Luwu Utara yang Dipecat karena Bantu Honorer

Presiden Prabowo Rehabilitasi Dua Guru Luwu Utara yang Dipecat karena Bantu Honorer
Abdul Muis dan Rasnal menerima surat keputusan rehabilitasi dari Presiden Prabowo Subianto. (foto: setpres)

INDONESIAONLINE – Setelah kembali dari lawatan kenegaraan ke Australia, Presiden Prabowo Subianto langsung menandatangani keputusan penting: memberikan hak rehabilitasi kepada dua guru asal Luwu Utara, Sulawesi Selatan, yakni Abdul Muis dan Rasnal.

Pesawat yang membawa Presiden Prabowo tiba di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, pada Kamis (13/11/2025) dini hari sekitar pukul 01.30 WIB. Presiden disambut oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, serta Kepala Badan Komunikasi Pemerintah Angga Raka Prabowo.

Tidak lama setelah mendarat, Prabowo menggunakan kewenangannya sebagai kepala negara untuk menandatangani surat rehabilitasi bagi kedua guru tersebut, sebagai bentuk tindak lanjut atas aspirasi masyarakat dan berbagai lembaga yang memperjuangkan pemulihan nama baik mereka.

“Baru saja Bapak Presiden menandatangani surat rehabilitasi untuk Pak Rasnal dan Pak Abdul Muis, guru SMA dari Luwu Utara,” ujar Sufmi Dasco Ahmad kepada wartawan.

Menurut Dasco, perjuangan masyarakat untuk kedua guru itu telah melalui berbagai tahapan — mulai dari DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, DPR RI, hingga akhirnya sampai ke tangan presiden. Dengan keputusan ini, negara secara resmi memulihkan nama baik, harkat, martabat, dan hak-hak keduanya yang sempat terimbas masalah hukum.

“Melalui keputusan ini, pemerintah memulihkan nama baik serta hak-hak dua guru tersebut. Semoga menjadi keberkahan bagi dunia pendidikan,” tambahnya.

Sementara itu, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menjelaskan bahwa keputusan presiden merupakan hasil koordinasi intensif selama satu pekan terakhir antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga legislatif.

“Kami menerima berbagai permohonan dari masyarakat serta lembaga perwakilan rakyat di tingkat provinsi dan pusat. Setelah berkoordinasi dan meminta arahan presiden, akhirnya beliau memutuskan untuk menggunakan haknya memberikan rehabilitasi kepada dua guru dari SMA 1 Luwu Utara,” ungkapnya.

Prasetyo menilai langkah tersebut menjadi bukti nyata komitmen Presiden Prabowo dalam menghargai peran guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Ia menegaskan bahwa negara wajib melindungi tenaga pendidik dari berbagai bentuk ketidakadilan dan memberikan penyelesaian yang adil bagi semua pihak.

“Guru adalah sosok yang harus kita hormati dan lindungi. Dalam setiap permasalahan, pemerintah selalu berupaya mencari solusi terbaik dan berkeadilan,” ucapnya.

Ia berharap keputusan rehabilitasi ini dapat mengembalikan rasa keadilan dan semangat baru bagi para pendidik di Indonesia, khususnya di wilayah Luwu Utara. “Semoga keputusan ini membawa ketenangan bagi kedua guru, menjadi teladan bagi dunia pendidikan, serta menegaskan bahwa negara hadir untuk melindungi para pendidik di seluruh Indonesia,” ungkapnya.

Kronologi Kasus Dua Guru Luwu Utara yang Dipecat setelah Membantu Gaji Guru Honorer

Kasus dua guru di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, itu menarik perhatian publik karena berawal dari niat baik membantu rekan-rekan guru honorer yang belum menerima gaji. Kisah ini melibatkan Rasnal, mantan kepala SMAN 1 Luwu Utara, dan Abdul Muis, guru di sekolah yang sama.

Pada tahun 2018, keduanya mencari solusi agar sepuluh guru non-PNS di sekolah tersebut tetap bisa mendapatkan honor. Mereka mengusulkan kepada komite sekolah agar orang tua siswa berpartisipasi melalui sumbangan sukarela sebesar Rp20 ribu per siswa.
Usulan itu disetujui bersama oleh pihak sekolah, komite, dan wali murid tanpa unsur paksaan.

Menurut Supri Balantja, mantan anggota Komite Sekolah SMAN 1 Luwu Utara, keputusan tersebut muncul dari hasil musyawarah terbuka. Bahkan, para orang tua murid yang mengusulkan kenaikan urunan dari Rp17 ribu menjadi Rp20 ribu.

“Bahkan wali muridlah yang meminta agar sumbangan dinaikkan menjadi Rp20 ribu,” ungkap Supri, Senin (10/11/2025).

Dilaporkan ke Polisi meski Bukti Lemah

Beberapa waktu kemudian, langkah keduanya justru berujung pada laporan hukum. Sebuah LSM melaporkan Rasnal dan Abdul Muis ke Polres Luwu Utara atas dugaan korupsi terkait sumbangan tersebut.
Penyelidikan pun dilakukan, namun jaksa beberapa kali mengembalikan berkas perkara karena menilai bukti yang diserahkan tidak cukup kuat.

Supri menjelaskan bahwa penetapan keduanya sebagai tersangka dilakukan berdasarkan audit dari Inspektorat Luwu Utara. Padahal audit untuk jenjang SMA seharusnya menjadi kewenangan Inspektorat Provinsi Sulsel.

“Polisi meminta pengawas daerah melakukan audit, padahal tidak berwenang. Mereka menyebut ada kerugian negara, padahal uangnya berasal dari sumbangan orang tua murid,” kata Supri.

Divonis Bebas di Pengadilan, tapi Dihukum setelah Kasasi

Kasus tersebut kemudian bergulir ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Makassar. Selama proses persidangan, keduanya berstatus tahanan kota.
Pada 15 Desember 2022, majelis hakim menyatakan Rasnal dan Abdul Muis tidak bersalah dan membebaskan keduanya dari seluruh tuduhan.

Namun, Kejaksaan Negeri Luwu Utara mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Dalam putusannya bernomor 4999 K/PID.SUS/2023 tertanggal 23 Oktober 2023, MA membatalkan vonis bebas dan menjatuhkan hukuman penjara selama satu tahun bagi kedua guru tersebut.

Supri menilai keputusan itu tidak adil karena akar permasalahan adalah urusan administrasi antara komite dan wali murid, bukan korupsi. “Kalau ini dianggap gratifikasi, maka orang tua yang memberi pun seharusnya ikut dihukum. Ini keputusan yang melukai hati para guru,” tandasnya.

Dipecat Menjelang Masa Pensiun

Tak lama setelah putusan MA, pemerintah provinsi Sulawesi Selatan mengeluarkan keputusan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) bagi Rasnal dan Abdul Muis. Padahal, keduanya hampir memasuki masa pensiun — Rasnal dua tahun lagi dan Abdul Muis delapan bulan.

Supri menyayangkan keputusan Gubernur Andi Sudirman Sulaiman yang langsung menandatangani surat pemecatan tersebut. “Saya paham aturan PTDH memang ada, tapi semestinya keputusan diambil dengan pertimbangan kemanusiaan dan empati terhadap guru,” ujarnya.

Ia menambahkan, kasus ini menjadi pelajaran penting bahwa lemahnya sistem pembiayaan pendidikan dapat membuat guru yang beriktikad baik justru menjadi korban.

“Ini bukti nyata bahwa negara masih gagal melindungi guru. Hak dan kehormatan mereka justru dirampas oleh sistem yang semestinya melindungi,” pungkas Supri. (hsa/hel)