Relawan militan Jokowi, Projo, batalkan rencana jadi partai politik setelah Presiden ke-7 lengser. Kini, Projo berencana bergabung dengan partai lain, dengan Ketua Umum Budi Arie Setiadi mengisyaratkan merapat ke Gerindra dan akan mengubah logo untuk menghindari kultus individu.
INDONESIAONLINE – Babak baru politik Indonesia pasca-lengsernya Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Oktober 2024 terus bergulir. Kelompok relawan garis kerasnya, Projo, yang sebelumnya getol menyuarakan keinginan untuk bertransformasi menjadi partai politik (parpol), kini resmi membatalkan niat tersebut.
Sebuah langkah strategis yang menandai perubahan signifikan bagi organisasi yang lahir dari gelombang dukungan masif terhadap Jokowi.
Alih-alih mendirikan parpol sendiri, Projo justru memutuskan untuk melebur dan memperkuat partai lain. Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi, secara terbuka mengisyaratkan ketertarikannya untuk bergabung dengan Partai Gerindra, partai yang kini dipimpin oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto.
“Projo tidak akan menjadi partai. (Tapi akan) bergabung,” tegas Budi Arie di sela-sela Kongres III Projo yang berlangsung di Grand Sahid Jaya, Sudirman, Jakarta Pusat, pada Sabtu (1/11/2025) kemarin.
Ia menambahkan, komitmennya adalah memperkuat dan mendukung agenda-agenda politik Presiden Prabowo. “Ya secepatnya (gabung Gerindra),” ujarnya singkat.
Dari Partai Impian Menuju Koalisi Kekuatan
Sebelumnya, Projo vokal menyuarakan ide pembentukan parpol setelah Jokowi lengser. Bendahara Umum Projo kala itu, Panel Barus, bahkan menyatakan kesiapan Projo menjadi partai jika memang ada keinginan dari rakyat.
“Projo sikapnya nanti bagaimana rakyat saja inginnya seperti apa. Jadi kita akan ikut apa yang menjadi keinginan rakyat, kalau rakyat menginginkan Projo jadi partai, ya kita harus siap,” kata Panel pada Senin (28/10/2024), merespons lampu hijau dari Jokowi sendiri terkait wacana tersebut. Projo mengklaim popularitas Jokowi yang tinggi di mata masyarakat sebagai modal utama.
Data dari berbagai lembaga survei memang menunjukkan tingginya tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi. Misalnya, survei Indikator Politik Indonesia pada September 2024 menunjukkan tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi mencapai 78%, sementara survei Litbang Kompas di periode yang sama juga mencatat 76,5%. Angka ini jelas menjadi daya tarik bagi entitas politik manapun.
Imajinasi Projo tentang Jokowi memimpin sebuah partai setelah tak lagi menjabat presiden memang sempat menjadi wacana kuat. “Imajinasi Projo kan ke depan kalau sudah tidak menjadi Presiden, Pak Jokowi sebaiknya memimpin partai politik. Itu imajinasi yang sudah jauh-jauh hari disampaikan,” ujar Panel saat itu.
Namun, arah perjuangan Projo kini berubah drastis, mencerminkan adaptasi terhadap lanskap politik yang dinamis. Keputusan untuk bergabung dengan partai yang sudah eksis, alih-alih membangun entitas baru, dapat dilihat sebagai langkah pragmatis untuk tetap relevan dan memiliki daya tawar politik.
Transformasi Logo: Menghindari “Kultus Individu”
Selain pembatalan menjadi parpol, Projo juga berencana mengubah logonya. Langkah ini diambil untuk menghindari kesan “kultus individu” terhadap Jokowi. Logo Projo saat ini menampilkan siluet wajah Presiden ke-7 RI Joko Widodo sebagai inti, dilingkari warna putih dengan latar merah dan hitam.
“Logo Projo akan kita ubah, supaya tidak terkesan kultus individu,” jelas Budi Arie.
Ia menambahkan bahwa pengubahan logo adalah bagian integral dari transformasi organisasi yang akan diputuskan dalam Kongres III. “Iya, kemungkinan (bukan logo Jokowi). (Namanya) Nggak, sementara itu. Nanti kita lihat mekanisme persetujuan dari teman-teman Kongres,” imbuhnya.
Keputusan ini mengindikasikan upaya Projo untuk melepas ketergantungan visual dan identitas langsung dengan sosok Jokowi, sekaligus menegaskan posisinya sebagai organisasi yang berprinsip. Budi Arie menjelaskan, nama “Projo” sendiri memiliki makna mendalam.
“Projo itu artinya negeri dan rakyat. Jadi Projo itu sendiri artinya adalah negeri dalam bahasa Sansekerta, dan dalam bahasa Jawa Kawi itu artinya rakyat,” tandasnya.
Perubahan ini menandai era baru bagi Projo, dari relawan militan yang loyal kepada satu sosok, menjadi entitas politik yang lebih adaptif, siap bermanuver dalam peta kekuatan politik Indonesia pasca-Jokowi. Para kader Projo kini akan menghadapi pilihan untuk bergabung dengan partai yang berbeda-beda, meski pucuk pimpinan Projo sendiri telah memberikan sinyal kuat ke arah Gerindra.













