*dd nana veno
Nomor 1
Diujung mulut daun, angin terakhir
menetes membuka peristiwa.
Dan, sepasang tawon menggigit secarik waktu
hampir tersesat di jaring laba-laba.
Ada yang diam, sayang
kenangan.
Kenapa tak ada kata
saat pinangan merobek uluhati langit
ayat-ayat menjelma ulat
dan bibirku tak pernah menghijau daun
Pestisida yang kau bawa tadi malam, tak pernah mampu
meranumkan apapun.
Ada yang diam, sayang
kenangan.
Mungkin, hanya mulut daun yang memamah angin terakhir
dan sepasang tawon mati, sesore tadi
mengingatkanku atas kata-kata
yang belum sempat lahir.
Bukankah siang tadi ada yang diam-diam
syahwat atas kematianmu?
Mari kita menari
di ujung daun rengkah
dengan meditasi angin terakhir yang kita punya.
Ada yang diam, sayang
kenangan.
Nomor 2
Derak itu kering
Membasah anyir di dada
Padahal telah kuusaikan luka.
Siapa yang meruncingkan rencana itu.
Pernikahan telah tercipta
Dalam desiran segala yang melindap
Kita sepaham atas itu, untuk membuka tubuh
Runcing kenangan hanya ejaan abjad, bukan ?
Tetapi serpih kaca berteriak gaduh
Mengeluhkan perceraian tak terduga
Ah, seharusnya memang kita paham
Bahasa kekuasaan tak pernah ternisankan
Masihkah kau membuka tubuh
Atas pintu pernikahan yang kini lusuh
Dituduh rahim para perusuh
Siapa yang meruncingkan rencana
Menjadi lapangan perang.
Derak itu kering
Patah-patah menyapa yang terbuka
Kenapa harus ada anyir di dada.
Bahasa.
Nomor 3
yang lebih terluka
adalah dada yang terbuka
tanpa bahasa
maka, tak perlu aku jayakan nama-nama
dan benda-benda
yang memberi kita luka.
Nomor 4
Lantas harus kubahasakan apa
Langit yang terbuka dengan segala tanda
Bukankah hidup adalah kesementaraan
yang cerewet.
*Penikmat kopi pait dan mantan penjual wingko