*dd nana
-Sebut saja Halte
Hanya mereka yang tersudut cuaca atau
yang menumpang lelah dan tak punya uang untuk menyewa
sedikit kemewahan cafe dan losmen.
Berkumpul di sebuah ruang tunggu dengan paras-paras kosong
serupa kertas-kertas dalam buku gambar kanak-kanak yang lama
tertimbun oleh waktu.
Mereka sembunyikan letih, semburkan sepi
dan menggali lahat lebih dalam
atas hasrat yang tak mungkin terbeli.
“Aku butuh tidur panjang, hingga sampai rasaku yang manusia.”
“Pelukan, pelukan, di mana lengan yang melingkar dan ampuh mengesahkan lapar jiwa.”
“Betapa panjang bayangan cahaya, betapa sepi merangkak sampai ubun kepala. Di manakah Engkau Tuhan?”.
Kata-kata menjadi kalimat-kalimat. Mungkin keluh kesah, mungkin juga doa
memenuhi ruang tunggu yang kau sebut halte itu.
Sedang rindu telah mengakar begitu keparat dan tak bisa menyeberangi
jalan. Di mana, segala yang dirasa ruang nyaman menunggu dengan sorot mata
yang tak bisa kau tuliskan dalam bahasa manusia.
“Mungkin, sesekali menjadi jahanam bisa meremukkan ruang,”
“Mungkin, sesekali menjadi suci bisa menenteramkan,”
“Mungkin, kita sesekali bisa berpura-pura untuk saling mencintai dan saling mengenang. Agar hidup sedikit memberi warna.”
Percakapan-percakapan sepi menggema di ruang tunggu yang kau sebut
halte. Sebelum jemari waktu menghardiknya lagi.
“Waktunya bekerja, layaknya manusia.”
-Sebut saja kamar pengantin
Dibesarkan untuk melesat dan tidak sampai tersesat
kita diajari cara merawat yang belum terlihat
hanya pengetahuan yang diturunkan lewat firman, sabda, atau ocehan
ocehan yang disebut teori yang jadi imam.
Sampai kita masuk di sebuah ruang yang kau sebut kamar
dan kita disematkan kalimat pengantin, sepasang yang saling berikrar
untuk menumbuhkan yang belum terlihat dan membaca yang belum tertera.
Melesatlah dulu, tapi jangan sampai tersesat
Walau tak kau ketahui di mana arah jatuhmu, arah akhirmu.
Dari kamar pengantin mulailah belajar menunggu
sampai waktu menggampit tangan dan mengajakmu
Menemui sesuatu yang mungkin menggetarkan
mungkin menyenangkan
sebagai sebuah ruang bermain
sebagai manusia yang disandingkan dan berdiam dalam kamar
pengantin.
“Tak ada yang pasti walau kesenangan kau teguk di kamar pengantin. Karena sebaik-baiknya tegukkan bukan hanya yang melegakan,”.
-Sebut saja Kepala
Ruang hingar
Ruang sepi
Ruang yang menjadikan kita manusia
Ruang bercinta
Walau usia telah lama memamah raga
Sebut saja ini kepala
Yang kita bawa sampai liang lahat
yang pernah kau lukiskan dalam sebait
Puisi.
Jangan kau definisikan
Sebut saja kepala
Agar kau tidak disebut gila.
*hanya tukang ngopi belaka