INDONESIAONLINE – Renovasi Stadion Kanjuruhan yang menelan biaya fantastis sebesar Rp357 miliar menuai kritik tajam. Di tengah ketidakpastian pemenuhan hak-hak korban tragedi Kanjuruhan 2022, proyek ini justru terkesan sebagai pemborosan anggaran dan mengabaikan rasa keadilan.
Menjelang peresmian oleh Presiden Prabowo Subianto, tuntutan akan transparansi anggaran dan keadilan bagi korban semakin menguat.
Gilang Dalu, Koordinator BEM Malang Raya, menyoroti ketidakproporsionalan anggaran dengan hasil yang diharapkan.
“Renovasi ini lebih terlihat seperti pemborosan uang rakyat, yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan lebih mendesak. Masyarakat sudah muak dengan pencitraan yang hanya mengejar kemegahan tanpa memedulikan kualitas,” tegasnya.
Tuntutan BEM Malang Raya
BEM Malang Raya mengajukan sejumlah tuntutan terkait selesainya renovasi Stadion Kanjuruhan:
Transparansi Anggaran: Pemerintah, khususnya Kementerian PUPR, dituntut untuk membuka secara detail penggunaan anggaran Rp357 miliar. Publik berhak mengetahui alokasi dana untuk pengadaan material, tenaga kerja, dan pos-pos pengeluaran lainnya.
Audit Independen: Mendesak dilakukannya audit independen yang menyeluruh terhadap semua tahapan proyek, melibatkan lembaga yang kredibel dan berintegritas. Hal ini untuk memastikan tidak ada penyelewengan dana.
Penyelesaian Restitusi: Menuntut agar anggaran yang lebih besar dialokasikan untuk pemenuhan hak-hak korban tragedi Kanjuruhan 2022. Restitusi harus menjadi prioritas utama, mengingat dampak yang ditanggung korban dan keluarga.
Evaluasi Kelayakan Proyek: Meminta evaluasi menyeluruh terhadap proyek renovasi. Pemerintah harus memastikan proyek ini memberikan dampak positif bagi masyarakat, bukan hanya pencitraan.
Gilang Dalu juga membandingkan anggaran renovasi Stadion Kanjuruhan dengan stadion lain yang dibangun dengan biaya lebih rendah namun memiliki fasilitas lebih baik. Stadion Manahan di Solo (Rp300 miliar) dan Stadion Gelora Bung Tomo di Surabaya (anggaran hampir setara) dikemukakan sebagai contoh.
Renovasi Stadion Kanjuruhan, dengan anggaran yang sebenarnya cukup untuk membangun stadion baru, justru menjadi sorotan sebagai simbol pemborosan dan ketidakadilan. Pemerintah didesak untuk memprioritaskan penyelesaian hak-hak korban dan transparansi anggaran sebelum berfokus pada proyek yang terkesan hanya untuk pencitraan.
“Pemerintah harus memprioritaskan kemaslahatan rakyat, bukan memperkaya segelintir pihak. Stadion ini seharusnya menjadi sarana untuk masyarakat, bukan untuk kepentingan politik atau citra semata,” tegas Gilang.
Minimnya Perhatian bagi Korban
Di kesempatan lain, Haris Maulana Koordinator Kontras wilayah Jawa Timur, menegaskan bahwa anggaran restitusi yang disiapkan sangat tidak sebanding dengan trauma yang ditanggung keluarga korban.
“Tidak ada harga yang bisa menggantikan nyawa, tetapi dengan angka yang sangat minim ini, jelas menunjukkan bahwa korban tidak mendapat perhatian yang semestinya,” ungkapnya.
Renovasi Stadion Kanjuruhan seharusnya tidak hanya berfokus pada aspek fisik bangunan, tetapi juga mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan keadilan bagi para korban tragedi. Kemegahan stadion tidak akan berarti apa-apa jika luka dan trauma masa lalu belum tertangani dengan baik (hs/dnv).