Oktober 1826: Pertempuran Solo mengungkap retakan ideologi antara Pangeran Diponegoro dan Kiai Mojo, mengubah arah Perang Jawa. Sebuah kisah tentang keyakinan, strategi, dan perpecahan di jantung perlawanan.
INDONESIAONLINE – Oktober 1826. Angin kemarau di Jawa menyisakan debu dan aroma mesiu. Dalam lanskap panjang Perang Jawa (1825-1830) yang bergolak, bulan itu terukir sebagai fase genting, sebuah palung yang menguji bukan hanya kekuatan senjata, melainkan juga pilar-pilar keyakinan dan visi kepemimpinan antara dua tokoh sentral: Pangeran Diponegoro dan Kiai Mojo.
Bukan semata medan perang yang menjadi saksi bisu, tetapi juga riak-riak pemikiran, dogma agama, dan intrik politik yang akhirnya menorehkan garis patah dalam perjuangan suci ini.
Serangan ke Kota Solo, atau Surakarta, yang membara sejak 11 hingga mencapai puncaknya pada 15 Oktober 1826, menjadi sebuah pertaruhan. Ini adalah buah paksaan ideologis dari Kiai Mojo, sebuah tuntutan untuk konfrontasi langsung terhadap jantung kekuasaan Mangkunegaran dan Kasunanan Surakarta yang loyal pada Belanda.
Dalam “Babad Diponegoro”, sebuah otobiografi mahakarya yang menjadi jendela ke dalam jiwanya, sang pangeran mengakui ketidakberdayaannya menentang saran Kiai Mojo. Sebuah keraguan strategis membayang, namun kekuatan moral dan religius Kiai Mojo telah merasuki, tidak hanya mengarahkan pasukan, tetapi juga mengendalikan kehendak sang pemimpin perang.
Solo kala itu, seperti dilansir Peter Carey dalam “The Power of Prophecy” (2007), adalah urat nadi vital bagi Belanda dan para vasal setianya. Keberadaan Sunan Surakarta dan Legiun Mangkunegaran menjadikan kota ini benteng terakhir, tembok kokoh menghadapi gempuran kekuatan militan rakyat Mataram. Menyerbu Solo, dengan demikian, adalah sebuah tindakan nekad, sebuah taruhan besar yang mempertaruhkan segalanya.

Gawok: Titik Patah di Tengah Sawah Basah
Diponegoro dan Kiai Mojo, dengan kekuatan gabungan lebih dari empat ribu jiwa, memusatkan kekuatan di Sukareja dan Gawok. Dari sanalah, strategi dicanangkan: Kiai Mojo dan pasukannya dari Pajang mengambil posisi di Gawok, sementara Pangeran Natapradja dipercayakan mempertahankan Baki.
Tujuan akhirnya: menaklukkan Solo melalui tekanan dari dua arah. Namun, medan dan moral pasukan ternyata tak sepenuhnya selaras. Pasukan Pajang di bawah pimpinan Chasan Besari terpaksa menelan kekalahan lebih awal di Baki.
Dalam laporan Jenderal Van Geen kepada pemerintah kolonial, sebuah dokumen yang kini tersimpan di Arsip Nasional Belanda (ANRI), terungkap bagaimana pada 15 Oktober 1826, sebuah ekspedisi gabungan bergerak dari Kalitan menuju Gawok.
Kolonel Cochius, didampingi infanteri dan kavaleri dari Sunan Pakubuwana VI dan Mangkunegara II, bersatu dengan kolone Le Bron yang telah bergerak lebih pagi melalui rute Klaten menuju Zandzee hingga ke Gawok. Pertempuran sengit pun pecah di Desa Baki dan Sukareja, titik konsentrasi utama pasukan Diponegoro.
Laporan resmi Van Geen mengklaim kemenangan total di pihak Belanda. Pos-pos pertahanan musuh berhasil dipukul mundur dengan taktik pengepungan dua arah yang brutal. Di tengah badai meriam dan rentetan senapan yang mematikan, pasukan Kiai Mojo dan Diponegoro tercerai-berai.
Bahkan, laporan itu dengan tegas menyatakan bahwa Diponegoro sendiri terluka akibat tembakan meriam dan terpaksa mengundurkan diri. Sejumlah pemimpin pasukan dan rakyat pengikutnya gugur, menyisakan jejak duka di tanah yang basah darah.
Namun, “Babad Diponegoro” melukiskan narasi yang lebih dalam, menyingkap ketegangan internal yang mencuat antara sang Pangeran dan Kiai Mojo. Sang Kiai bersikeras melanjutkan serangan, mengabaikan keraguan Diponegoro yang bersandar pada tiga alasan: ketakutan mengulang kutukan nenek moyang, bayang-bayang tangisan istri yang ditinggal, dan keengganan menjadi penyebab kematian sanak kerabat di Solo.
Pertempuran pada 11 dan 12 Oktober adalah sebuah kekacauan di pihak pasukan rakyat. Di sisi barat Gawok, pasukan Suraya, Bulkiya, dan Penilih remuk redam. Di utara, Chasan Besari dan pasukan Pajang tak sanggup menahan gempuran musuh.
Kiai Mojo sendiri digambarkan melarikan diri, datang menghadap Diponegoro dalam balutan kemurungan. Namun, ia tetap mendesak agar serangan besar dilancarkan. Diponegoro akhirnya mengalah, mengutus paman-pamannya dan dua basah untuk bergerak.
Pada 15 Oktober, pertempuran besar pecah. Kolone Le Bron dan Cochius memukul mundur pasukan Diponegoro dari berbagai arah, memanfaatkan medan sawah basah untuk memperlambat laju serangan. Kompi Ambon dan perwira Belanda bertempur habis-habisan. Kendati perlawanan rakyat amat keras, keunggulan logistik dan taktik kolonial akhirnya membawa kemenangan.
Pada titik inilah, ideologi Islam militan yang diusung Kiai Mojo menemukan benturan keras dengan realitas militer. Jalan jihad yang diyakininya sebagai motor kemenangan justru menyeret pasukan ke dalam kekalahan besar. Perbedaan pendekatan antara strategi militer Diponegoro dan idealisme teologis Kiai Mojo menjadi sangat mencolok.
Inilah yang akhirnya meretakkan persatuan. Tak lama setelah peristiwa ini, Kiai Mojo memisahkan diri dan akhirnya menyerah.
Luka di Jiwa, Retak di Perjuangan
Kekalahan di Gawok bukan hanya kekalahan taktis; ini adalah kekalahan spiritual. Rakyat yang telah terseret dalam perlawanan atas nama agama, tanah air, dan keadilan, harus menghadapi kenyataan pahit bahwa mereka dikalahkan oleh senjata, logistik, dan keunggulan taktik lawan.
Lebih menyakitkan lagi, semangat jihad yang selama ini ditanamkan Kiai Mojo menjadi alat yang justru membawa kehancuran. Dalam “Babad Diponegoro”, tertera bahwa Kiai Mojo bahkan sempat bersembunyi ketika musuh menghujani lokasi pasukan dengan meriam.
Di penghujung pertempuran, Diponegoro pun terluka. Kuda tunggangannya, Kyai Wijaya Capa, membawa sang pangeran menjauh dari medan laga. Darah di tubuhnya menjadi simbol pengorbanan fisik dan spiritual yang mencapai batasnya. Dalam narasi babad, luka itu melahirkan kesadaran bahwa ideologi semata tidak cukup untuk menaklukkan kekuatan kolonial yang bersenjata lengkap dan sistematis.
Serangan ke Solo, meskipun dipandang sebagian sebagai tindakan nekat, sejatinya adalah buah dari ketegangan panjang antara kehendak taktis dan kemauan spiritual. Kiai Mojo, sebagai simbol ideologi Islam yang radikal dan utopis, membawa pengaruh besar, tetapi juga risiko yang tak kalah besar.
Jalan jihad yang ia tawarkan mengabaikan kalkulasi taktis, sebuah kebutuhan mutlak dalam perang asimetris seperti Perang Jawa.
Dari titik inilah sejarah mencatat bahwa kekalahan tak hanya datang dari rentetan meriam dan senjata api. Kekalahan juga lahir dari perpecahan internal, pertentangan ideologi, dan ketidakmampuan membaca realitas politik serta kekuatan lawan. Jalan buntu serangan Solo menjadi titik patah semangat perjuangan, membuka babak baru dalam ketegangan antara spiritualitas dan strategi di tubuh gerakan perlawanan rakyat.
Diponegoro terus melanjutkan perang hingga tahun 1830, sementara Kiai Mojo akhirnya menyerah dan dibuang ke Sulawesi. Hubungan keduanya retak dan tidak pernah pulih. Apa yang dahulu menjadi kekuatan besar dalam menyatukan rakyat Mataram, berubah menjadi bukti bahwa perlawanan membutuhkan lebih dari sekadar keyakinan. Ia menuntut kesatuan visi, kecermatan taktik, dan keberanian untuk menimbang ulang ideologi di ujung laras meriam.

Kiai Mojo: Sang Ulama Perlawanan dari Jantung Mataram
Di tengah riuh perlawanan rakyat Jawa terhadap kolonialisme Belanda pada paruh pertama abad ke-19, nama Kiai Mojo menonjol sebagai figur ulama karismatik, ideolog perlawanan, dan pemimpin spiritual.
Lahir pada tahun 1792 di Surakarta dari pasangan Iman Abdul Ngarip dan Raden Ayu Mursilah, ia membawa warisan darah biru dan ruh keulamaan sekaligus. Ayahnya dikenal sebagai Kiai Baderan, seorang ulama besar dari lingkungan keraton, sedangkan ibunya merupakan saudara Sultan Hamengkubuwana III.
Dengan demikian, Kiai Mojo adalah sepupu langsung Pangeran Diponegoro, sebuah fakta yang dicatat oleh G.P. Rouffaer dalam disertasinya tentang sejarah Jawa.
Meski berdarah bangsawan, Kiai Mojo tidak dibesarkan di lingkungan istana. Sejak awal, hidupnya berakar di pesantren dan masyarakat desa. Ia belajar agama langsung dari ayahnya, dan memperdalam ilmu Islam hingga ke Makkah, seperti yang lazim dilakukan ulama Nusantara kala itu (Azra, “The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia”, 2004).
Sekembalinya ke Jawa, Kiai Mojo memimpin pesantren dan menghimpun pengikut, terutama dari kalangan santri, petani, dan ulama pergerakan. Di masa ketika penyebaran Kristen mulai menjangkau kalangan elite Jawa, Kiai Mojo tampil sebagai garda depan gerakan anti-pemurtadan, sebuah misi yang digarisbawahi oleh Dr. Merle Ricklefs dalam “A History of Modern Indonesia” (2001).
Jalinan kekerabatan dengan Diponegoro mempererat relasi personal mereka, namun persekutuan mereka dalam konteks politik dan perang bukan sekadar urusan keluarga. Kiai Mojo percaya bahwa Pangeran Diponegoro adalah sosok pemimpin yang bisa membawa tegaknya pemerintahan syariat Islam di Jawa.
Keyakinan ini menjadi fondasi ideologis yang mendorong Kiai Mojo bergabung dalam Perang Jawa sejak 1825. Dalam pandangan Kiai Mojo, perlawanan terhadap Belanda bukan hanya perang politik, tetapi juga jihad spiritual.
Hubungan keduanya sempat mencapai titik rapuh ketika perbedaan pandangan politik dan ego keulamaan mencuat. Dalam catatan babad karya Pangeran Diponegoro, terlihat bahwa sang Pangeran merasa tersinggung atas sikap Kiai Mojo yang menyiratkan superioritas keulamaan keluarga Baderan atas dinasti Mataram.
Puncaknya terjadi pada Oktober 1826, ketika pasukan Diponegoro menyerbu Surakarta dan mengalami kekalahan besar di Gawok. Kiai Mojo dan kelompoknya dituduh bertindak gegabah dengan memaksakan serangan demi ambisi keluarga mereka, sebuah interpretasi yang juga diangkat oleh M.C. Ricklefs dalam analisisnya.
Kiai Mojo tetap melanjutkan perjuangannya hingga 1828. Ia bahkan berinisiatif melakukan perundingan dengan Belanda tanpa mandat dari Diponegoro. Pada 25 dan 31 Oktober 1828, ia menemui perwakilan Belanda di Mlangi, sebuah peristiwa yang tercatat dalam arsip kolonial.
Ia menyampaikan bahwa jika Diponegoro diberi wilayah kekuasaan, maka perang bisa segera diakhiri. Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa bagi Kiai Mojo, keberlangsungan kekuasaan Islam lebih penting daripada loyalitas kepada figur individual.
Namun, perundingan itu berubah menjadi jebakan. Pada 12 November 1828, di lereng Gunung Merapi dekat Babadan, Kiai Mojo dikepung dan ditangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela. Ia menyerah tanpa perlawanan bersama 400 pengikutnya.
Dalam penahanan di Salatiga, ia meminta agar sebagian besar santrinya dibebaskan dan bersedia menerima nasib apa pun dari pemerintah kolonial. Permintaan itu dikabulkan, namun ia dan sejumlah tokoh penting tetap dibawa ke Batavia.
Pada 17 November 1828, Kiai Mojo resmi diasingkan ke Tondano, Minahasa. Ia menetap di Kampung Jawa, sebuah wilayah yang disiapkan pemerintah Belanda sebagai tempat pembuangan elite pemberontak dari Jawa.
Di pengasingan, Kiai Mojo tidak berhenti berdakwah. Ia membangun komunitas Muslim dan menyebarkan ajaran Islam di wilayah Sulawesi Utara, sebuah fakta yang masih dikenang oleh masyarakat setempat dan didokumentasikan dalam laporan-laporan etnografi (misalnya, J.S. Waworuntu, “Sejarah Tondano”, 1978). Ia wafat pada 20 Desember 1849 dalam usia lima puluh tujuh tahun.

Perjalanan hidup Kiai Mojo merepresentasikan paradoks zaman. Ia adalah ulama berdarah biru, yang memilih jalan jihad melawan penguasa kolonial dan pada saat yang sama bertikai dengan bangsawan sekutunya karena perbedaan ideologis.
Ia menjadi simbol bahwa dalam perang kemerdekaan, keyakinan, spiritualitas, dan cita-cita pemerintahan ilahiah seringkali berhadapan dengan realitas politik dan kepentingan kekuasaan. Dalam dirinya berpadu semangat religius, darah kerajaan, dan dendam sejarah yang diwariskan dari konflik-konflik internal Mataram dan trauma kolonialisme Belanda.
Kiai Mojo bukan sekadar pengikut Pangeran Diponegoro. Ia adalah aktor independen dalam sejarah Jawa, yang dengan caranya sendiri mencoba menegakkan keadilan Islam di tanah yang telah lama dijajah. Warisannya hidup dalam sejarah perlawanan rakyat, dalam masyarakat Tondano yang masih mengenangnya, dan dalam narasi besar tentang jihad dan kekuasaan di Nusantara.
Referensi:
Carey, Peter. (2007). The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855. Leiden: KITLV Press. (Sumber primer dan analisis mendalam tentang Perang Jawa dan Diponegoro)
Ricklefs, M.C. (2001). A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Stanford: Stanford University Press. (Gambaran umum sejarah Indonesia, termasuk konteks Perang Jawa)
Azra, Azyumardi. (2004). The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulama’ in the Seventeenth and Eighteenth Centuries. Honolulu: University of Hawaii Press. (Konteks peran ulama dan jaringan keilmuan Islam)
“Babad Diponegoro”. (Berbagai edisi, khususnya yang diterjemahkan oleh Peter Carey). (Sumber primer otobiografi Pangeran Diponegoro)
Arsip Nasional Belanda (ANRI), koleksi laporan-laporan militer dan administrasi kolonial tentang Perang Jawa. (Sumber data historis resmi Belanda)
Waworuntu, J.S. (1978). Sejarah Tondano. Manado: Balai Penelitian dan Pengembangan Budaya Sulawesi Utara. (Referensi lokal mengenai Kiai Mojo di pengasingan)
Rouffaer, G.P. (Disertasi tentang Sejarah Jawa, berbagai fragmen dan kutipan sering muncul dalam karya Peter Carey). (Sumber historis tentang silsilah dan latar belakang Kiai Mojo)












