INDONESIAONLINE – Sebuah revolusi senyap tengah bergulir di lanskap pendidikan Kota Malang. Para guru, yang identik dengan debu kapur dan spidol, kini menapaki takdir baru sebagai produsen gagasan. Mereka tidak lagi hanya mengajar, tetapi juga menulis, mengabadikan pergulatan dan kearifan ruang kelas ke dalam sebuah warisan abadi bernama buku.
Manifesto intelektual ini terwujud dalam peluncuran antologi “Takdir Pena dan Kapur”, Selasa (24/6/2025). Acara di Aula Disdikbud Kota Malang itu bukan sekadar seremoni, melainkan penanda dimulainya sebuah gerakan ambisius yang digagas Wali Kota Malang, Wahyu Hidayat: “One Teacher, One Book”.
“Tanggung jawab intelektual guru setara dengan dosen. Menulis bukan lagi pelengkap, tapi bagian dari tugas mencerahkan,” tegas Wahyu.
Baginya, ini adalah cara “menguangkan pikiran”—mengubah ide-ide abstrak menjadi aset pemikiran yang konkret dan dapat diakses publik.
Namun, jalan dari papan tulis menuju halaman buku tidaklah mulus. Di balik 19 nama penulis yang karyanya terbit, ada kisah tentang perjuangan menaklukkan keraguan dan keterbatasan. Program ini awalnya diikuti oleh 40 guru SMP, sebuah angka yang menyusut seiring proses kreatif yang menuntut disiplin tinggi.
“Ini bukan hanya soal menyelesaikan tulisan, tapi keberanian memulai dan konsistensi menuliskannya,” ungkap Wahyu.
Keberhasilan 19 guru ini, menurutnya, lahir dari dua kekuatan utama: komitmen personal yang membaja dan kekuatan komunitas yang saling menyemangati saat salah satu hampir menyerah.
Salah satu suara yang paling beresonansi datang dari Heni Yulia Wardhani. Guru SMPN 25 Malang ini menuangkan pengalamannya mengajar di pedalaman Papua, sebuah kisah yang sarat dengan refleksi dan ketangguhan.
“Menulis adalah cara saya berdamai dengan pengalaman dan membaginya sebagai harapan,” ujar Heni.
“Ini bukan sekadar menyusun kata, tapi menyusun ulang cara kita berpikir dan merasakan. Saya ingin semangat ini menular, dari guru ke siswa,”lanjutnhya.
Kisah Heni adalah cerminan dari isi buku itu sendiri: kumpulan suara jujur dari garda terdepan pendidikan. Ada narasi tentang dinamika kelas, inovasi mengajar, hingga solusi-solusi akar rumput yang seringkali tak terdengar di forum formal.
Gerakan “One Teacher, One Book” lebih dari sekadar proyek literasi. Ini adalah strategi jangka panjang untuk menanamkan DNA intelektual baru pada pendidik. Tujuannya jelas: mendokumentasikan praktik baik, meningkatkan otoritas keilmuan guru, dan memperkaya diskursus publik tentang pendidikan.
“Semakin banyak guru menulis, semakin kaya kita dengan perspektif,” tutur Wahyu.
“Dari pena merekalah bisa lahir solusi pendidikan yang selama ini tak kita duga,” pungkasnya.
Pada akhirnya, “Takdir Pena dan Kapur” adalah sebuah deklarasi. Deklarasi bahwa takdir seorang guru tidak hanya terikat pada debu kapur yang mudah terhapus, tetapi juga pada keabadian tinta yang akan terus menginspirasi generasi melampaui dinding kelas. Malang kini bertaruh pada pena para gurunya untuk membangun peradaban (rw/dnv).