Mulai 1 Januari 2026 wisatawan Jember bebas tarif ganda. Tiket integrasi Pantai Papuma dan Watu Ulo resmi diberlakukan hanya Rp 12.500 demi genjot pariwisata daerah.
INDONESIAONLINE – Deburan ombak Selatan Jawa yang menghantam gugusan karang di Pantai Watu Ulo dan hamparan pasir putih Tanjung Papuma adalah dua permata tak ternilai bagi Kabupaten Jember. Selama puluhan tahun, dua destinasi yang terletak berdampingan ini menjadi magnet bagi ribuan pelancong.
Namun, selama itu pula, sebuah “tembok tak kasat mata” bernama tarif ganda (double ticketing) menjadi duri dalam daging bagi industri pariwisata di daerah berjuluk Kota Pandhalungan ini.
Wisatawan yang hendak menikmati keindahan Pasir Putih Malikan (Papuma) di Desa Lojejer, Wuluhan, mau tidak mau harus melintasi gerbang Pantai Watu Ulo di Desa Sumberjo, Ambulu. Konsekuensinya, dompet mereka harus terkuras dua kali.
Fenomena ini bukan sekadar soal nominal rupiah, melainkan soal kenyamanan dan citra ramah wisatawan yang seolah terabaikan karena ego sektoral antar-pengelola lahan.
Namun, kabar angin segar berembus kencang di penghujung tahun 2025. Sebuah sejarah baru terukir pada Jumat, 19 Desember 2025. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jember di bawah kepemimpinan Bupati Muhammad Fawait akhirnya berhasil meruntuhkan ego sektoral tersebut melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dengan PT. Palawi Risorsis dan Perum Perhutani.
Kesepakatan ini bukan sekadar hitam di atas putih, melainkan sebuah revolusi tata kelola wisata: penghapusan tiket ganda mulai 1 Januari 2026.

Akhir Era “Pungutan Berlapis”
Selama bertahun-tahun, keluhan mengenai mahalnya biaya masuk ke kawasan ini mendominasi ulasan di berbagai platform perjalanan digital seperti Google Maps hingga TripAdvisor. Wisatawan harus merogoh kocek di kisaran Rp 30.000 hingga Rp 50.000 per orang hanya untuk tiket masuk, belum termasuk biaya parkir yang kerap kali dipatok tidak wajar.
Angka ini dinilai terlalu tinggi jika dibandingkan dengan destinasi wisata pantai di daerah tetangga seperti Banyuwangi atau Malang Selatan yang lebih kompetitif.
Data dari Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Timur menunjukkan bahwa tren wisatawan pascapandemi cenderung mencari destinasi value for money (bernilai ekonomis) namun dengan pengalaman maksimal. Kebijakan tiket ganda di Jember selama ini menjadi penghambat (barrier to entry) yang membuat angka kunjungan stagnan alias jalan di tempat.
Mulai awal tahun 2026, skema tersebut dirombak total. Bupati Muhammad Fawait, atau yang akrab disapa Gus Fawait, mengumumkan kebijakan tarif tunggal yang sangat radikal namun pro-rakyat. Wisatawan hanya perlu membayar satu kali tiket terintegrasi seharga Rp 12.500. Penurunan harga yang signifikan ini diprediksi akan menciptakan efek bola salju (multiplier effect) bagi ekonomi lokal.
“Hari ini kami melakukan penandatanganan MoU dengan PT. Palawi dan juga Perum Perhutani, secara resmi menyepakati integrasi pengelolaan Pantai Papuma dan Pantai Watu Ulo. Kesepakatan ini sebagai langkah strategis pengembangan pariwisata berkelanjutan,” tegas Gus Fawait usai penandatanganan kesepakatan.
Menata Ulang Ekosistem Wisata
Kebijakan satu tiket hanyalah pintu masuk dari reformasi besar-besaran yang sedang digarap Pemkab Jember. Masalah klasik lainnya yang kerap membuat wisatawan jera adalah pungutan liar (pungli) berkedok parkir dan minimnya infrastruktur penerangan.
Kawasan menuju Watu Ulo dan Papuma dikenal gelap gulita saat malam hari, mengurangi rasa aman dan membatasi jam kunjungan wisatawan.
Dalam kesepakatan teknis yang akan segera dirumuskan sebelum Januari 2026, Gus Fawait menekankan pentingnya standardisasi layanan. Ini mencakup sharing profit yang adil antara Pemkab dan Perhutani, serta yang paling krusial bagi publik: penertiban tarif parkir.
“Untuk hal-hal teknis, akan kami bahas setelah MoU, termasuk biaya parkir yang selama ini oleh pengunjung dinilai masih sangat mahal. Yang jelas untuk parkir nanti, akan kami sesuaikan dan tidak perlu mahal, dan tentunya tidak memberatkan wisatawan,” janji Bupati muda tersebut.
Langkah ini sejalan dengan prinsip Sustainable Tourism Development (Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan) yang mensyaratkan adanya manajemen pengunjung yang baik dan kepuasan pengalaman wisata. Pemkab Jember berkomitmen melakukan perbaikan dan penambahan Lampu Penerangan Jalan Umum (PJU) menuju lokasi wisata.
Dengan akses yang terang, potensi wisata malam atau kuliner pinggir pantai bisa digenjot, memberikan pendapatan tambahan bagi UMKM warga lokal di sekitar Desa Sumberjo dan Lojejer.
Kemenangan Diplomasi dan Kolaborasi
Terwujudnya integrasi ini tidak terjadi dalam semalam. Ini adalah buah dari diplomasi panjang yang melibatkan banyak pihak. Selama ini, kendala utama integrasi adalah perbedaan status kepemilikan lahan. Pantai Watu Ulo dikelola oleh Pemkab Jember, sementara Papuma berada di bawah wewenang Perum Perhutani (melalui anak usahanya, PT. Palawi Risorsis). Menyatukan dua instansi dengan birokrasi berbeda membutuhkan political will yang kuat.
Gus Fawait secara khusus mengapresiasi peran Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TP3D) dan dukungan legislatif dari DPR RI Dapil Jember-Lumajang yang turut memuluskan negosiasi ini.
“Pencapaian ini merupakan hasil kerja keras berbagai pihak. Mulai jajaran Pemkab Jember, Dinas Pariwisata, hingga TP3D yang terus berkoordinasi intensif. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada anggota DPR RI dari Dapil Jember Lumajang,” ungkapnya.
Sinergitas ini menjadi bukti bahwa ketika ego sektoral dikesampingkan demi kepentingan publik, solusi konkret bisa tercipta. Integrasi Watu Ulo dan Papuma diharapkan menjadi pilot project atau percontohan bagi destinasi wisata lain di Indonesia yang mengalami masalah tumpang tindih pengelolaan serupa.
Optimisme di Tahun Baru 2026
Meskipun Gus Fawait mengakui bahwa pada masa transisi awal penerapan mungkin akan terdapat kekurangan teknis, optimisme tetap membubung tinggi. Target utamanya bukan lagi sekadar pendapatan asli daerah (PAD) dari penjualan tiket yang mahal, melainkan volume kunjungan yang masif.
Teori ekonomi pariwisata sederhana menyebutkan: lebih baik 1.000 orang datang membayar Rp 12.500, daripada hanya 100 orang yang datang membayar Rp 50.000. Dengan lonjakan jumlah pengunjung, perputaran uang di sektor informal—seperti warung makan, penginapan homestay, penjual kelapa muda, hingga penyewaan tikar—akan meningkat drastis. Inilah yang disebut kesejahteraan berbasis pariwisata kerakyatan.
Masyarakat Jember dan wisatawan luar daerah kini menanti pembuktian janji manis tersebut pada 1 Januari 2026. Jika eksekusi di lapangan berjalan mulus tanpa ada lagi oknum yang menarik pungutan liar, maka Watu Ulo dan Papuma tidak hanya akan kembali menjadi primadona, tetapi akan menjadi legenda baru kebangkitan wisata Jawa Timur. Laut Selatan Jember siap menyambut wajah-wajah baru dengan senyuman, bukan lagi dengan keluhan soal tiket mahal (mam/dnv).













