Kasus penganiayaan santri di Malang membuka kembali perdebatan sengit tentang batas antara disiplin dan kekerasan di lembaga pendidikan. Apakah dalih “mendidik” bisa membenarkan luka fisik?
INDONESIAONLINE – Sebatang rotan di tangan seorang pengasuh pondok pesantren (ponpes) di Pakisaji, Kabupaten Malang, telah menarik garis tegas antara niat mendidik dan realitas kekerasan. Kasus dugaan penganiayaan yang menimpa AZ (14), seorang santri yang kakinya penuh luka lebam, kini tak lagi sekadar isu internal ponpes.
Ia telah bergulir ke meja penyidikan Polres Malang, memaksa publik dan pemangku kebijakan untuk kembali bertanya: di manakah batas antara disiplin yang sah dan penganiayaan yang melanggar hukum?
Insiden ini, yang terjadi pada malam takbiran Idul Adha awal Juni 2025 lalu, bermula dari pelanggaran sederhana. AZ kedapatan keluar dari area pondok tanpa izin.
Namun, sanksi yang diterimanya jauh dari kata sederhana. Menurut laporan, pengasuh ponpes berinisial B memukulnya berulang kali dengan rotan hingga menyebabkan luka serius. Foto-foto luka tersebut kemudian viral, memicu kemarahan publik dan mendorong keluarga korban untuk menempuh jalur hukum pada 20 Juni 2025.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Malang, Arbani Mukti Wibowo, memberikan pandangan tajam terkait kasus ini. Menurutnya, dalih “mendidik” tidak bisa menjadi tameng untuk pembenaran tindak kekerasan.
“Jadi yang namanya kekerasan itu memang sebenarnya sifatnya di situ adalah mendidik atau menghukum. Nah kalau menghukum itu masuk kekerasan. Tapi kalau tujuannya mendidik, Insya Allah itu tidak masuk kekerasan,” ujar Arbani, Kamis (10/7/2025).
Pernyataan Arbani menyoroti sebuah dilema klasik dalam dunia pendidikan, terutama di institusi tradisional. Namun, ia dengan cepat memperjelas bahwa ada batas yang tidak bisa dinegosiasikan.
“Mereka (santri) dititipkan pada pondok, mereka (siswa pelajar) dititipkan pada sekolah kan bukan untuk diajari saja, tapi juga dididik. Nah mendidik untuk disiplin ini kan ada batasannya. Tidak kemudian tiba-tiba dipukul, nah itulah yang jadi kekerasan,” tegasnya.
Bukti objektif, menurut Arbani, menjadi pembeda krusial. “Masalahnya, apakah itu masuk kekerasan atau tidak, harus dibuktikan dengan visum kalau memang masuk pada ranah laporan ke kepolisian,” pungkasnya.
Hasil visum AZ yang menunjukkan luka-luka signifikan menjadi landasan utama bagi polisi untuk menaikkan status kasus dari penyelidikan ke penyidikan.
Data Berbicara: Kekerasan di Satuan Pendidikan Bukan Isu Baru
Kasus di Malang ini bukanlah anomali. Ia adalah cerminan dari masalah yang lebih besar dan sistemik. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) secara konsisten menunjukkan bahwa lingkungan pendidikan masih menjadi salah satu lokasi rawan terjadinya kekerasan terhadap anak.
Berdasarkan catatan KPAI, sepanjang tahun 2023, terdapat puluhan kasus kekerasan fisik dan perundungan yang dilaporkan terjadi di satuan pendidikan, termasuk di lembaga pendidikan berbasis asrama seperti pondok pesantren.
Motifnya seringkali serupa: pelanggaran aturan disiplin yang ditanggapi dengan hukuman fisik yang eksesif.
Secara hukum, Indonesia telah memiliki payung yang kuat untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sangat jelas mengatur hal ini.
Pasal 54 Ayat (1) menyatakan, “Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.”
Pelanggaran terhadap pasal ini diancam dengan sanksi pidana yang tidak main-main, sebagaimana diatur dalam Pasal 80, yang menyebutkan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta bagi pelaku kekerasan terhadap anak. Jika pelaku adalah orang yang seharusnya mengasuh atau mendidik, hukumannya dapat diperberat.
Pergeseran Paradigma Disiplin
Kasus AZ menjadi momentum untuk merefleksikan kembali metode disiplin yang diterapkan di lembaga pendidikan. Psikolog anak dan pendidikan menekankan bahwa hukuman fisik (corporal punishment) lebih banyak mendatangkan dampak negatif jangka panjang, seperti trauma, penurunan rasa percaya diri, kecemasan, hingga siklus kekerasan yang berulang.
Disiplin positif, yang berfokus pada dialog, pemahaman konsekuensi logis, dan pembinaan karakter tanpa kekerasan, kini didorong sebagai alternatif yang lebih manusiawi dan efektif. Tujuannya bukan sekadar kepatuhan sesaat karena takut, melainkan membangun kesadaran internal dan tanggung jawab pada diri anak.
Kini, proses hukum di Polres Malang terus berjalan. Polisi dijadwalkan akan memeriksa saksi-saksi tambahan untuk melengkapi berkas sebelum melakukan gelar perkara. Jika unsur pidana terbukti kuat, B, sang pengasuh ponpes, akan segera menyandang status tersangka.
Kasus ini lebih dari sekadar cerita tentang seorang santri dan pengasuhnya. Ini adalah tentang tanggung jawab kolektif kita untuk memastikan bahwa tempat yang seharusnya menjadi ladang ilmu dan akhlak tidak berubah menjadi arena ketakutan dan trauma, di mana rotan lebih banyak bicara daripada kebijaksanaan (al/dnv).