Jelajahi kisah Panembahan Senapati, dari perebutan tahta Pajang hingga politik gelar simbolis yang meneguhkan Mataram. Temukan bagaimana ia memadukan darah Majapahit dan Giri, serta membentuk fondasi kerajaan Islam terbesar di Jawa.
INDONESIAONLINE – Di penghujung abad ke-16, tirai kekuasaan di Jawa perlahan tersingkap, menampakkan panggung yang nyaris kosong. Demak, bintang kejora Islam pertama, telah meredup. Pajang, pewarisnya, kini terhuyung-huyung di ambang senja.
Langit Jawa mendesau, menanti penata takdir baru. Dari rimba Mentaok yang dipenuhi rahasia, muncullah sesosok bayangan yang kelak dikenal sebagai Panembahan Senapati, sang arsitek Mataram. Ia bukan sekadar prajurit ulung, melainkan perajut takdir dengan benang kekuasaan dan spiritualitas.
Setelah Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) mangkat, tahta Pajang berpindah ke putra mahkota, Pangeran Benawa. Namun, nasibnya pendek. Babad Tanah Jawi (Meinsma, 102) mencatat kekuasaannya hanya seumur jagung, setahun belaka.
Berbeda dengan Serat Kandha yang berbisik, Benawa memilih jalan sunyi, mengundurkan diri untuk bertapa. Jalan itu lapang, terhampar bagi adiknya, Gajah Bumi, atau Raden Bagus Tompe alias Gagak Baning, yang kemudian menjadi Adipati Pajang di bawah naungan Mataram.
Namun, Senapati bukan tipe yang berdiam diri. Di setiap keretakan, ia melihat peluang. Di setiap kekosongan, ia melihat cetak biru kerajaan baru. Ancaman datang dari Arya Pangiri, Adipati Demak, yang dengan cepat menguasai Pajang. Senapati, dengan matanya yang setajam elang, tahu: Mataram tidak akan tegak tanpa menyingkirkan bayang-bayang masa lalu.
Senapati dan Perebutan Legitimasi: Simfoni Antara Pajang, Demak, dan Mataram
Tahun 1587 Masehi menjadi saksi bisu. Pedang Senapati bergemuruh, menumbangkan Arya Pangiri. Ini bukan hanya kemenangan militer, melainkan deklarasi simbolik. Mataram telah mengalahkan Pajang yang dihidupkan kembali oleh Demak.
Seolah-olah, Senapati berkata: “Akulah pewaris sah dari segala yang pernah ada.” Ia kemudian mengembalikan Benawa ke tahta Pajang. Namun, itu hanyalah sebuah formalitas. Benawa adalah sultan di atas kertas, Senapati adalah penguasa sejati.
Tak lama setelah penobatan Benawa, Senapati kembali ke Mataram. Ia menolak gelar Sultan. Rakyatnya, dalam kekaguman, hanya menyebutnya “Panembahan Senapati”.
Sebuah gelar yang melampaui raja, menyentuh dimensi spiritual. Serat Kandha melukiskan adegan dramatis itu: delapan hari setelah kepulangan, Senapati diangkat sebagai Panembahan dalam upacara khidmat di paseban. Ki Juru Martani, penasihat spiritual dan strategi andalannya, duduk di hadapannya.
Momen itu bukan sekadar penobatan, melainkan peneguhan lahirnya sebuah dinasti, sebuah babak baru yang akan membentuk wajah Jawa selama berabad-abad.
Politik Gelar: Rekayasa Simbolik atas Ruang dan Kuasa
Senapati, seorang jenius politik, tahu betul bahwa gelar bukan sekadar kehormatan. Itu adalah alat, strategi, mantra yang mampu membentuk realitas. Ia mengangkat anggota keluarganya, menyematkan nama-nama yang bergetar dengan gema sejarah: Pangeran Singasari, Pangeran Blitar, Pangeran Puger, dan Pangeran Purbaya.
Pangeran Singasari pertama adalah Raden Santri, adik kandung Senapati. Sebuah klaim tegas atas warisan leluhur Majapahit, seolah Mataram adalah penjelmaan dari Singasari yang jauh lebih tua.
Pangeran Blitar pertama adalah Raden Mas Bagus, putra Senapati dari Retno Dumilah dari Madiun. Pangeran Puger pertama, Raden Mas Kentol Kajoran, putra Senapati dari Nyimas Adi Dara. Dan Pangeran Purbaya pertama, Raden Jaka Umbaran, putra Senapati dari Kanjeng Ratu.
Pilihan nama ini bukan kebetulan belaka. Menurut H.J. de Graaf, Blitar dan Puger memang bukan wilayah militer atau politik menonjol pada abad ke-17. Namun, Senapati sedang membangun garis imajiner sebuah kerajaan tiruan di timur Jawa, meniru struktur pusat: Mataram, Pajang, Bagelen.
Namun, lebih dari itu, Blitar pada masa Kediri dan Majapahit adalah sima swatantra, pusat spiritual yang disucikan, penuh candi seperti Candi Simping, tempat pendarmaan Raden Wijaya. Menyematkan gelar “Pangeran Blitar” adalah menarik legitimasi spiritual dan historis dari masa kejayaan, menegaskan Mataram sebagai pewaris sah tradisi lama.
Sementara itu, Puger di Jember, pada masa Majapahit, adalah lumbung pangan strategis. Memilih nama ini menciptakan kesan bahwa Mataram menguasai jalur logistik dan sumber daya ekonomi di timur Jawa, meski secara administratif belum sepenuhnya dikendalikan.
Melalui Blitar dan Puger, Senapati menghidupkan kembali citra masa lalu yang menguntungkan: Blitar sebagai simbol legitimasi spiritual, Puger sebagai simbol kemakmuran ekonomi. Ini adalah politik memori yang membenarkan hegemoni Mataram di Jawa Timur.
Melalui politik gelar ini, Senapati mengirim pesan terselubung kepada penguasa lokal: Mataram bukan hanya kekuatan baru, melainkan pewaris simbolik peradaban Jawa.
Gelar dan Teritorial: Antara Klaim Simbolik dan Realitas Politik
Anehnya, para pangeran ini tidak benar-benar memerintah di wilayah yang namanya mereka sandang. Pangeran Blitar tidak berkuasa di Blitar. Ini menegaskan bahwa gelar adalah ilusi kekuasaan, bukan distribusi administratif.
Menarik pula bahwa tak satu pun menggunakan nama Kediri, wilayah yang saat itu masih dihormati spiritualnya. Mungkin Senapati sedang bermain aman, tidak ingin memprovokasi penguasa Kediri yang masih memiliki pengaruh kuat.
Kasus Pangeran Purbaya pun serupa. “Purbaya” merujuk pada nama kuno Madiun. Senapati memilih nama yang lebih tua, lebih arkais, untuk menciptakan narasi bahwa legitimasi Mataram lebih tua dari wilayah-wilayah yang hendak ditaklukkannya. Langkah simbolik ini menjadi jembatan menuju konsolidasi kekuasaan selanjutnya: diplomasi di timur Jawa.
Setelah fondasi Mataram kokoh, Panembahan Senapati memulai perjalanan ke ujung timur Jawa, dengan dalih ziarah ke Sunan Giri. Namun, di balik ritual spiritual, tersembunyi misi diplomasi: mencari restu dari Giri, pusat otoritas spiritual Islam di Jawa.
Namun, perjalanan ini tidak mulus. Surabaya menyambutnya dengan dingin, bahkan penolakan bersenjata dari elite pesisir menjadi isyarat bahwa klaim hegemoni Mataram belum diterima di wilayah maritim yang berjiwa dagang kuat.
Dalam politik Jawa, penolakan tak selalu berwujud perang terbuka, melainkan isyarat simbolik yang tak kalah tajamnya.
Sementara itu, Senapati tak melupakan sisa kekuasaan Pajang. Setelah Benawa mundur, tahta beralih ke Gagak Baning. Serat Kandha menyebut keraton dipindahkan ke barat, sementara Babad Tanah Jawi ke timur. Pemindahan ini sarat makna spiritual, terutama karena memasukkan makam seorang mukmin Arab ke kompleks keraton—sebuah upaya simbolis untuk meraih berkah dan menautkan legitimasi dengan narasi Islam transnasional.
Setelah Gagak Baning wafat, tahta Pajang dipegang Pangeran Pajang atau Radin Sida Wini, putra Pangeran Benawa. Ia memakai gelar ayahnya, Pangeran Benawa II, hingga 1617. Namun, di mata historiografi Mataram, kekuasaan Pajang saat itu hanyalah bayangan, senja yang perlahan memudar di cakrawala kekuasaan Mataram yang baru.
Panembahan Senapati: Jejak Darah Majapahit dan Giri dalam Fondasi Mataram Islam
Panembahan Senapati, atau nama aslinya Danang Sutawijaya, adalah jembatan antara dua zaman: keruntuhan tradisi Hindu-Buddha Majapahit dan kebangkitan Islam Nusantara. Ia adalah poros transformasi politik dan budaya Jawa akhir abad ke-16.
Ia lahir dari Ki Ageng Pamanahan dan Nyai Ageng Sabinah. Dari sang ayah, mengalir darah Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit, melalui garis Raden Bondhan Kajawan, Ki Ageng Selo, hingga Ki Ageng Henis.
Dari sang ibu, darah Sunan Giri Prabhu Satmoto bergejolak, menghubungkannya dengan poros dakwah Walisongo. Dua warisan besar—Majapahit dan Giri—berpadu dalam dirinya, menciptakan legitimasi yang mengakar dalam kosmologi politik Jawa.
Masa muda Sutawijaya adalah tempaan keras kanuragan, semedi, dan ilmu perang. Ia bukan hanya pewaris tanah Mentaok—hutan lebat yang kelak jadi Mataram, hadiah sayembara menumpas Arya Penangsang—tetapi juga pewaris wahyu kekuasaan yang diramalkan akan bangkit dari tanah itu.
Konon, Sunan Giri Prapen pernah menolak pemberian Alas Mentaok oleh Sultan Pajang, meramalkan dari sanalah akan berdiri kerajaan yang lebih besar.
Ketika Ki Ageng Pamanahan wafat pada 1575, Danang Sutawijaya diangkat menjadi Senapati ing Alaga. Di balik loyalitas simbolik kepada Pajang, hasrat merdeka mulai menyala. Pamannya, Ki Ageng Juru Mertani, menasihatinya agar tidak memusuhi Sultan Hadiwijaya, ayah angkat sekaligus bekas patron politiknya.
Danang memilih jalur doa dan tirakat. Tempat semedinya di Lipura, di atas batu Watu Gilang, menjadi sakral. Di sanalah ia konon menerima “Wahyu Lintang Jauhari”, wahyu langit sebagai tanda kepemimpinan ilahiah.
Tahun 1582, Sultan Hadiwijaya wafat, dan Pajang dikuasai Arya Pangiri. Dalam kekosongan itu, Danang Sutawijaya mendeklarasikan Mataram sebagai kerajaan independen. Pada 1587, ia dilantik dengan gelar lengkap yang menggetarkan: Sampeyan Dalem Ingkang Jumeneng Kangjeng Panembahan Senapati ing Ngalaga Sayidin Panatagama Khalifatullah ing Tanah Jawa. Gelar ini mencerminkan ambisinya sebagai raja dunia sekaligus pemimpin spiritual umat Islam di Jawa.
Ekspansi Mataram dimulai: Pajang (1587), Demak (1588), Madiun (1590), serta Kediri dan Ponorogo (1591). Ini bukan hanya penaklukan politik, melainkan integrasi budaya dan ideologis dalam kerangka Islam sinkretik ala Mataram.
Ia membangun aliansi melalui perkawinan politik, terlihat dari banyaknya permaisuri dan keturunannya yang kelak menjadi adipati di daerah strategis. Di antara putranya yang terkenal adalah Panembahan Hanyakrawati (Raden Mas Jolang), Pangeran Purbaya, dan Pangeran Blitar.
Senapati wafat pada 30 Juli 1601 Masehi di Bale Kajenar. Ia digelari Sinuwun Kangjeng Susuhunan Seda Kajenar, dan dimakamkan di Kotagede, kompleks pemakaman yang kelak menjadi simbol spiritual dan politis Kerajaan Mataram. Dengan wafatnya Senapati, bukan hanya seorang raja yang pergi, tetapi juga fondasi sistem politik baru di Jawa—di mana Islam bukan sekadar agama, melainkan sumber legitimasi kekuasaan dan pengatur harmoni antara dunia dan langit.
Panembahan Senapati adalah jembatan antara dua zaman: keruntuhan Majapahit dan kebangkitan Islam Nusantara. Dalam dirinya menyatu kekuatan dharma raja, semangat wali, dan ketajaman strategi militer. Ia bukan hanya pendiri kerajaan, tapi juga penata zaman.
Catatan Akhir: Hegemoni Gelar dan Lahirnya Dinasti Baru
Apa yang dibangun Panembahan Senapati bukan sekadar kekuatan militer, melainkan juga kekuasaan simbolik. Ia memainkan gelar, sejarah, dan tafsir memori untuk menciptakan dinasti baru yang tidak lagi tunduk pada Demak atau Pajang.
Politik gelar yang ia praktikkan menjadi cara untuk menciptakan ulang struktur sosial Jawa: menentukan siapa yang berhak memerintah, siapa yang layak diakui, dan siapa yang harus dilupakan.
Gelar-gelar seperti Pangeran Blitar, Pangeran Puger, Pangeran Singasari, dan Pangeran Purbaya kemudian diwariskan secara turun-temurun dan melahirkan tokoh-tokoh penting dalam sejarah Jawa. Contohnya, Pangeran Blitar yang menjadi Bupati Madiun pada awal abad ke-17; Pangeran Blitar lain, Raden Mas Sudomo, yang menjadi raja tandingan Mataram sekaligus pemimpin Perang Suksesi Jawa II (1719–1721); serta Pangeran Puger yang kemudian naik tahta sebagai Pakubuwana I pada 1704.
Keturunan Pangeran Blitar, Raden Mas Sudomo, kelak melahirkan tokoh berpengaruh: Raden Ayu Wulan. Ia menikah dengan Pangeran Arya Mangkunegara, putra Amangkurat IV. Anak mereka, Raden Mas Said yang dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa, memimpin perang heroik melawan Kasunanan Surakarta dan VOC selama 16 tahun sebelum akhirnya mendirikan Kadipaten Mangkunegaran pada 17 Maret 1757. Sebuah warisan yang membuktikan betapa jauh jangkauan strategi Panembahan Senapati.
Panembahan Senapati meletakkan dasar bagi kerajaan Islam terbesar di tanah Jawa setelah Demak. Namun warisan terbesarnya bukan hanya benteng atau istana, melainkan kemampuan mengubah tafsir sejarah menjadi kekuasaan yang sah. Dalam dunia di mana darah, gelar, dan spiritualitas membentuk struktur sosial, Senapati berdiri sebagai arsitek utama narasi baru Jawa.
Referensi:
-
Meinsma, J.J. (1874). Babad Tanah Djawi, in Proza. Javaansche Geschiedenis. Leiden: E.J. Brill.
-
De Graaf, H.J. & Pigeaud, Th. G. Th. (1974). De Eerste Moslimse Vorstendommen op Java: Studien over de Staatkundige Geschiedenis van de 15de en 16de Eeuw. Leiden: Brill. (Edisi terjemahan bahasa Indonesia, Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad XV dan XVI)
-
Ricklefs, M.C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c.1200. Stanford University Press. (Edisi Bahasa Indonesia, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008)
-
Serat Kandha.
-
Moedjanto, G. (1987). Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram. Kanisius.