Menelusuri jejak ambivalen Sentot Alibasyah Prawirodirdjo: Antara tuduhan pengkhianatan dan strategi “Kuda Troya” melawan Belanda. Sebuah narasi sejarah tentang siasat, diplomasi, dan akhir tragis sang Harimau Madiun.
INDONESIAONLINE – Dalam bentangan historiografi Indonesia, Oktober 1829 sering dibaca sebagai awal dari akhir sebuah epik besar bernama Perang Jawa (1825–1830). Namun, di balik narasi besar tentang kekalahan, terdapat sebuah episode yang jauh lebih rumit dan penuh teka-teki.
Di sanalah berdiri sosok Sentot Alibasyah Prawirodirdjo—seorang panglima muda dengan sorban yang berkibar, menunggangi kuda dengan kegagahan yang membuat serdadu Eropa gentar, namun memilih jalan yang oleh sebagian orang disebut “kompromi”.
Apakah ia menyerah? Atau ia sedang memainkan sebuah babak catur tingkat tinggi yang gagal dipahami oleh zamannya? Kisah Sentot bukanlah sekadar kisah tentang luruhnya semangat juang, melainkan sebuah opera politik tentang bagaimana seorang Harimau Madiun mencoba bertahan hidup di dalam kandang singa, mengenakan seragam musuh, namun tetap menyimpan detak jantung perlawanan di balik lencana kolonialnya.

Diplomat di Atas Pelana Kuda
Pada tanggal 24 Oktober 1829, Sentot Alibasyah tidak masuk ke Yogyakarta sebagai tawanan yang dirantai. Ia masuk dengan kepala tegak, diiringi oleh 600 prajurit setianya, dan disambut dengan penghormatan militer. Ini adalah anomali dalam sejarah penaklukan kolonial.
Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock, arsitek strategi Benteng Stelsel yang terkenal licin itu, memahami satu hal: Sentot terlalu berbahaya untuk dipermalukan, dan terlalu berharga untuk dibunuh.
Dalam surat rahasia De Kock kepada Gubernur Jenderal Du Bus de Gisignies, tersirat pragmatisme kolonial yang kental. De Kock menulis bahwa syarat-syarat penyerahan diri Sentot “tidaklah berlebihan”.
Ia sadar, jika negosiasi ini gagal, Sentot akan kembali ke hutan dan gunung, menyeret pasukan Belanda ke dalam perang gerilya yang mematikan di tengah musim hujan yang sebentar lagi turun. Belanda sudah kehabisan dana; mereka tidak sanggup meladeni fanatisme pasukan Sentot lebih lama lagi.
Maka, terjadilah kesepakatan itu. Sentot dianugerahi pangkat Letnan Kolonel—sebuah pangkat yang sangat tinggi untuk ukuran pribumi saat itu. Ia diberi komando atas legiunnya sendiri yang terdiri dari tiga pangeran, empat tumenggung utama, dan 37 tumenggung bawahan.
Namun, Belanda tetaplah Belanda yang penuh curiga. Mereka menempatkan Mayor De Leau, bukan hanya sebagai perwira penghubung, tetapi sebagai “bayangan” yang bertugas mengawasi gerak-gerik sang panglima.
Transisi ini adalah sebuah masterclass dalam seni bertahan hidup (survival). Sentot tidak menyerahkan pasukannya untuk dibubarkan; ia justru melegalisasi keberadaan pasukan perlawanannya di bawah payung pendanaan musuh. Ia melakukan apa yang dalam teori militer modern disebut sebagai infiltrasi institusional.

Siasat Sang Harimau di Batavia
Setelah penangkapan Pangeran Diponegoro yang dramatis dan licik pada Maret 1830, peta politik berubah drastis. Sentot, yang kini secara teknis adalah perwira Hindia Belanda, mulai merasakan dinginnya isolasi politik.
Pemindahannya ke Salatiga pada Mei 1831, dan rencana selanjutnya ke Batavia, adalah bagian dari strategi de-Javanisasi pengaruh Sentot. Kolonel Cochius, dalam korespondensinya, menegaskan niat untuk menjauhkan Sentot dari basis spiritual dan sosialnya di Jawa Tengah. Sentot menyetujuinya, tetapi dengan syarat transaksional yang cerdas: tunjangan tambahan.
Permintaan ini bukan sekadar soal uang. Dengan menuntut biaya hidup tinggi di Batavia dan menolak pemisahan pasukannya yang dihukum, Sentot sedang menegaskan posisi tawarnya. Ketika ia meminta agar delapan anak buahnya yang divonis pengadilan militer tidak dikirim ke pembuangan di Fort Oranje (Ternate) melainkan tetap bersamanya, dan Gubernur Jenderal mengabulkannya lewat Surat Keputusan 22 Mei 1832, ini membuktikan satu hal: Sentot masih memegang kartu truf.
Di Batavia, Sentot menjadi “selebritas” eksotik. Ia adalah tontonan bagi elit Eropa, sebuah trofi hidup kemenangan Belanda. Namun, di barak-baraknya, ia tetap menerapkan disiplin ketat ala pasukan Diponegoro.
Ia menjaga marwah pasukannya di tengah hedonisme kota kolonial. Ia sedang menunggu momentum, atau mungkin, sedang menyusun rencana yang belum sempat matang.
Laboratorium Perang Sumatera & Tuduhan Makar
Tahun 1832, angin pemberontakan bertiup dari Sumatera Barat. Kaum Padri, yang dimotori oleh ulama-ulama puritan seperti Tuanku Imam Bonjol, memberikan perlawanan sengit yang menguras kas Belanda. Dalam kepanikan, pemerintah kolonial memutuskan untuk mengirim Sentot dan legiunnya ke sana.
Ini adalah keputusan yang didasari oleh dua motif: pertama, memanfaatkan keahlian tempur Sentot; kedua, menjauhkannya sejauh mungkin dari tanah Jawa. Namun, pengiriman ini justru menjadi bumerang.
Setibanya di Sumatera Barat, Sentot tidak berperilaku sebagai “anjing pemburu” Belanda. Laporan Resident Sumatra’s Westkust mencatat keganjilan-keganjilan yang mengkhawatirkan. Sentot terlihat enggan bertempur habis-habisan melawan sesama Muslim. Ia hanya membawa sebagian pasukannya—sebuah indikasi lijdelijk verzet (perlawanan pasif).
Lebih jauh lagi, intelijen Belanda mulai mencium aroma konspirasi. Sentot dicurigai menjalin komunikasi rahasia dengan Tuanku Imam Bonjol. Dalam dokumen Verslag van den Luitenant Kolonel Elout (1833), terungkap tuduhan bahwa Sentot memiliki ambisi besar: mendirikan kesultanan baru di Minangkabau dengan menggabungkan kekuatan Jawa dan Padri.
Ia bahkan disebut-sebut telah mengambil baiat dari para ulama tarekat setempat dan menggunakan gelar “Sultan Alam”.
Apakah ini benar adanya, atau sekadar paranoia Belanda? Jika benar, maka Sentot sesungguhnya sedang menjalankan strategi “Kuda Troya”—masuk ke dalam perut musuh untuk menghancurkannya dari dalam atau menggunakan sumber daya musuh untuk membangun kekuatan baru. Sentot mencoba menyatukan dua poros perlawanan terbesar di Nusantara: Jawa dan Minangkabau.
Darah Maospati yang Tak Pernah Dingin
Untuk memahami keberanian dan kenekatan Sentot, kita harus menengok ke belakang, ke Maospati, Madiun. Sentot lahir pada tahun 1808 dengan nama Raden Bagus Sentot. Darahnya adalah darah pemberontak.
Ayahnya, Raden Ronggo Prawirodirdjo III, adalah Bupati Wedana Madiun yang legendaris. Ronggo III adalah satu dari sedikit penguasa Jawa yang berani menentang Daendels secara terbuka. Kakek Sentot adalah menantu Sultan Hamengku Buwono I. Dengan silsilah ini, Sentot mewarisi beban sejarah ganda: aristokrasi istana yang halus dan militansi pesisir yang keras.
Dididik dalam tradisi pesantren dan istana, Sentot muda adalah perpaduan antara mistisisme Jawa dan semangat jihad. Ketika Perang Jawa meletus, ia baru berusia 17 tahun, namun karismanya sudah mampu menggerakkan ribuan orang.
Ia adalah antitesis dari Diponegoro yang sepuh dan spiritualis; Sentot adalah eksekutor yang pragmatis, taktis, dan penuh perhitungan duniawi.
Warisan “Harimau Madiun” inilah yang membuatnya tidak pernah benar-benar bisa dijinakkan, bahkan ketika ia mengenakan seragam Letnan Kolonel Belanda.
Kesunyian di Bengkulu
Kecurigaan Belanda memuncak pada Maret 1833. Sentot ditarik paksa kembali ke Batavia. Mimpi tentang aliansi Jawa-Padri itu kandas sebelum sempat mekar. Tak lama kemudian, pada Agustus 1833, ia dibuang ke Bengkulu—sebuah wilayah yang saat itu relatif terisolasi dan jauh dari pusat pergolakan politik.
Sebelum berangkat, ia diizinkan menunaikan ibadah haji, sebuah perjalanan yang mungkin menjadi konsolidasi spiritual terakhir baginya. Di Bengkulu, sang panglima perang meletakkan pedangnya. Ia menghabiskan sisa hidupnya bukan sebagai serdadu, melainkan sebagai guru agama.
Sentot wafat pada 17 April 1855 dalam kesunyian pengasingan. Ia tidak gugur di medan laga, tetapi kematiannya adalah puncak dari “perlawanan dalam diam”. Makamnya di Bengkulu kini menjadi saksi bisu dari perjalanan hidup yang penuh liku.
Mendudukkan Sentot dalam Sejarah
Menilai Sentot Alibasyah Prawirodirdjo hanya dengan kacamata hitam-putih adalah sebuah kenaifan sejarah. Ia bukanlah pengkhianat yang menjual perjuangan demi jabatan. Narasi historiografi modern menempatkannya sebagai sosok yang realistis dalam situasi yang mustahil.
Ketika Diponegoro semakin kaku dan pasukan semakin lemah, Sentot mengambil langkah berani untuk menyelamatkan apa yang tersisa. Ia mencoba menggunakan sistem kolonial untuk kepentingannya sendiri. Kegagalannya di Sumatera bukanlah karena kurangnya keberanian, melainkan karena cengkeraman intelijen kolonial yang sudah terlalu kuat.
Sentot mengajarkan kita bahwa perlawanan terhadap kolonialisme memiliki banyak wajah. Ada yang melawan dengan keris terhunus seperti Diponegoro, ada yang melawan dengan pena seperti Tirto Adhi Soerjo kelak, dan ada yang melawan dengan siasat dan diplomasi “dua wajah” seperti Sentot.
Ia adalah manifestasi dari kompleksitas manusia Jawa dalam menghadapi guncangan zaman: adaptif, penuh taktik, namun tetap memegang teguh identitasnya hingga akhir hayat.
Di balik seragam kolonial itu, jantung Sentot Alibasyah selalu berdetak untuk kemerdekaan, dengan caranya sendiri yang sunyi dan misterius.
Referensi :
De Kock, H.M. (1830). Laporan Militer dan Korespondensi kepada Gubernur Jenderal Du Bus de Gisignies (Arsip Nasional Republik Indonesia & Nationaal Archief, Den Haag).
Carey, Peter. (2014). “Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855”. Kepustakaan Populer Gramedia. (Rujukan utama mengenai detail Perang Jawa dan peran Sentot).
Louw, P.J.F. & De Klerck, E.S. (1894-1909). “De Java-Oorlog van 1825-30”. (Sumber data militer Belanda mengenai jumlah pasukan dan pergerakan Sentot).
Radjab, Muhamad. (1964). “Perang Paderi di Sumatera Barat, 1803-1838”. (Mengulas keterlibatan Sentot dalam Perang Padri).
Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tertanggal 22 Mei 1832 No. 2 (Mengenai permohonan Sentot atas pasukannya).













