JATIMTIMES – Jika tak salah mengira, 2012 lalu saya merasakan keramaian Malang Tempo Doeloe di sepanjang Jl Idjen Boulevard. Sudah hampir 10 tahun lamanya, saya masih ingat betul keramaian dan hiruk pikuk yang menyenangkan saat itu.

Di sana, berjejer mobil kuno yang pernah di pakai Bung Karno. Ada juga muda-mudi yang berdandan ala pejuang di depan Museum Brawijaya. Sebagian lagi memilih berdandan layaknya Noni Belanda.

Di sisi yang agak jauh, berjejer aneka olahan jadul yang selalu memberikan kenangan. Ada gulali, permen berwarna coklat yang rasanya sangat manis. Penjual biasanya menambahkan topping ceres di atas gulali cokelat itu. Rasanya enak, dan saya harus mengantre saat membelinya.

Ingatan suara bersautan bom buatan dan tawa pejalan kaki di sekitar jalan besar Idjen Boulevard rasanya membuat ingin kembali ke masa itu. Apalagi, beberapa teman selalu berdandan ala-ala jadul saat datang ke Festival Malang Tempoe Doeloe. Ingat betul, harus ada persiapan sesuai tempo lawas jika akan bermain di MTD.

Kenangan itu semakin meraung, saat saya bertemu dengan pencetus dan penggagas Malang Tempo Doeloe. Dia adalah Dwi Cahyono, sosok pria kalem yang sering kami sapa sebagai Pak Dwi Inggil.

Maklum, di Malang ada dua pesohor bernama Dwi Cahyono yang selalu menjadi langganan kami menggali data tentang sejarah. Untuk membedakannya, kami memiliki sapaan ‘sayang’ yang berbeda.

Pertemuan kami bukan tanpa sengaja, tapi memang sudah dijadwalkan PWI Malang Raya. Seperti biasa, kami bertemu sebagai narasumber dan penggali berita. Bedanya, kali ini saat wawancara kami harus dipantau penguji. Judulnya saja sedang Uji Kompetensi Wartawan, pastinya dipantau ketat lah ya. Tapi, it’s fun, kami tetap ngobrol ngalor ngidul yang mengenyangkan.

Memulai percakapan, Dwi mengajak kami bernostalgia akan masa kecilnya yang selalu tertarik dengan benda-benda budaya yang bernilai tinggi.

”Saya dulu kalau pulang sekolah itu sering lihat prasasti yang ada di pinggir jalan, dan ternyata dulu saya sketsa dan masih saya simpan sampai sekarang,” ceritanya saat membagi pengalaman menggambar sketsa Prasasti Dinoyo yang ada di Kecamatan Lowokwaru.

Bukan hanya Prasasti Dinoyo, Dwi juga pernah melihat langsung Arca Nandiswara, sebuah bukti peradaban yang hanya ada dua di dunia. Arca itu sering ia jumpai di kawasan Senaputra. Dwi kecil merasa hatinya sesak saat beberapa kali melihat kendaraan parkir menubruk arca cantik itu. Bukunya pun tak luput dari sketsa Nandiswara.

Baca Juga  Pengakuan Basuki Bawono, Pelukis Sosok Nyi Roro Kidul yang Legendaris: Istri Saya Dapat Seperti Bisikan

“Waktu saya study di luar negeri, baru sadar saya kalau itu hanya ada dua di dunia, dan satunya di Senaputra itu,” katanya.

Saat kembali ke Malang, keinginan untuk menyelamatkan warisan budaya itu semakin kuat. Dia kembali dan mendapati hanya sekitar 78 arca yang tersisa di Senaputra dari total 200 arca yang pernah ditemuinya waktu kecil, termasuk salah satunya Nandiswara. Entah ke mana sebenarnya ratusan warisan berharga itu menghilang.

Upaya penyelamatan pun terus dilakukan, meski ia tak tahu jika memindahkan benda cagar budaya akan dijatuhi hukuman. Tapi kini, 78 arca berharga itu telah tersimpan di Museum Mpu Purwa, museum yang dikelola Pemerintah Kota Malang dan bisa dinikmati masyarakat serta generasi penerus.

Bukan kali pertama Dwi menyelamatkan warisan budaya yang tak ternilai harganya itu. Bahkan, ia dan beberapa rekannya nekat memindahkan batu dan benda kuno yang ditemukan di pemukiman kawasan Sawojajar, Kota Malang.

Saat itu Dwi sudah tahu hukuman dan aturan pemindahan benda cagar budaya. Kenekatan itu diambil, karena jika tidak warisan budaya itu akan terjun ke sungai karena proses pembangunan rumah yang dilakukan pemilik tanah.

“Saya sama teman-teman nekat saja, kalau di penjara ya dipenjara ramai-ramai. Daripada kehilangan lebih banyak lagi,” terang owner Yayasan Inggil itu.

Usahanya yang dibilang kebanyakan orang melawan arus itu membuahkan hasil. Meski banyak dikritik, lantaran memindahkan benda cagar budaya begitu saja, toh akhirnya Direktorat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menegaskan jika langkah Dwi adalah untuk menyelamatkan benda cagar budaya. Kiprahnya semakin santer, dan diganjar banyak penghargaan skala nasional maupun internasional.

Kecintaannya akan warisan budaya tak berhenti di situ. Dwi mencoba mengajak banyak generasi untuk turut mencintai bukti peradaban yang ada di Indonesia. Salah satunya melalui Festival Malang Tempoe Doeloe, sebuah festival yang memang banyak dikangeni, termasuk oleh saya.

Perjalanan mewujudkan festival itupun ternyata tak mudah. Diawali pada 2004 lalu, di mana Dwi ingin membagikan temuannya tentang Malang tempo dulu dengan konsep festival yang menutup jalan sepanjang dua kilometer di Idjen Boulevard. Percobaan pertamanya gagal, proposal permohonannya ditolak mentah-mentah Pemerintah Kota Malang.

Baca Juga  Eagle Harpy, Elang Raksasa yang Saudaranya Ada Juga di Indonesia

Usahanya berlanjut pada 2005, dan lagi-lagi tak ada hasil atas konsep yang dia suguhkan. Hingga pada 2006, Pemerintah Kota Malang mengiyakan dengan syarat yang dibilang cukup membuat pesimis.

“Pemkot bilang ke saya, kalau festivalnya sepi akan dibubarkan, tapi kalau ramai boleh dilanjutkan,” katanya menirukan perwakilan Pemkot Malang saat itu.

Hasilnya pun bikin melongo, dalam satu hari pengunjung Malang Tempo Doeloe mencapai 500 ribu orang. Artinya, lebih dari 1,5 juta orang berkunjung ke Festival zaman lawas itu.

Kondisi itu bertahan cukup lama, di mana masyarakat bisa menikmati suasana jadul setiap tahunnya. Tapi, lebih tiga tahun belakang festival ini tak lagi menyapa pelancong.

“Kami ini sebatas konsep. Konsep awal kami adalah mengedukasi masyarakat, memperkenalkan budaya dan warisan kita. Saya konsep tidak ada itu yang namanya tiket. Tapi ke belakang malah dibuat karcis dan di lapak berbayar sana-sini, maka saya tidak mau,” tegas Dwi.

Keinginannya untuk membagikan warisan budaya melalui Festival Malang Tempoe Doeloe sebenarnya ingin direalisasikan kembali. Tapi ia memilih tidak hingga pemahaman dan nilai-nilai budaya yang ingin disuguhkan kepada masyarakat bisa dimengerti dan diterima betul oleh Pemerintah Kota Malang.

Setelah Malang Tempoe Doeloe, Dwi juga konsentrasi dengan Museum panji. Lagi-lagi usahanya untuk mewujudkan Museum Panji sempat terganjal banyak argumen.

“Harusnya Museum Panji ini skala nasional, bukan milik saya,” terang Dwi.

Namun, dua tahun belakangan nampaknya pemerintah tergugah. Dimulai saat Malaysia mengajukan Panji Center, dan membuat pemerintah ‘kebakaran jenggot’.

”Kalau sudah diaku negara lain saja baru respons. Tapi waktu itu saya sudah mendirikan Museum Panji di Tumpang,” terangnya sembari tersenyum.

Kini, ada sekitar tiga ribu koleksi tentang Panji yang ada di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Koleksi itu berasal dari banyak sumbangan yang diperoleh dari banyak kolega, termasuk yang ada di Leiden.

“Banyak tentang kita yang ada di Leiden, dan itu menjadi hak kita yang harus diperjuangkan,” tambah Dwi.

Hingga sekarang, Dwi menaruh harapan besar kepada masyarakat dan pemerintah, untuk lebih mencintai warisan budaya dan tak lagi menunggu adanya perselisihan.

“Sesuatu itu memang butuh keberanian dan melawan arus,” ucap pria yang kerap dijuluki sebagai crazy man itu.



Pipit Anggraeni