INDONESIAONLINE – Pengusutan Tragedi Kanjuruhan hingga saat ini masih terus menjadi perhatian. Kali ini, yang menjadi sorotan adalah proses persidangan tragedi nahas tersebut yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. 

Sorotan tersebut termasuk dari sejumlah lembaga hukum beserta kelompok masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil. Yang menilai bahwa persidangan tragedi tersebut banyak terdapat kejanggalan. 

Koalisi Masyarakat Sipil terdiri dari berbagai lembaga, mulai LBH Malang, LPBH NU Kota Malang, LBH Surabaya, YLBHI, Kontras, IM57 Institute, Lokataru, ICW, ICJR, PBHI dan AJI. 

Beberapa fakta yang dinilai terdapat kejanggalan disampaikan oleh Perwakilan LBH Malang Daniel Siagian. Mulai dari dibatasinya media pers dalam melakukan siaran langsung selama persidangan hingga proses persidangan yang dilakukan di luar wilayah TKP. 

Selain itu, adanya seorang perwira polisi aktif dari Polda Jatim sebagai penasehat hukum dari 3 polisi yang menjadi terdakwa juga ia nilai janggal. Pasalnya, hal tersebut dinilai dapat menimbulkan konflik kepentingan dan bertentangan dengan UUD tentang Advokat dan Polri.

“Lalu puluhan saksi yang dihadirkan di persidangan justru banyak yang berasal dari pihak kepolisian. Mulai dari jajaran Polres Malang hingga Polda Jatim,” ujar Daniel, Senin (27/2/2023).

Baca Juga  Keluarga Yosua Bakal Hadiri Sidang Vonis Ferdy Sambo-Putri Candrawathi

Dari informasi dan pantauannya, dalam persidangan, jumlah korban dan keluarga korban juga minim yang dihadirkan sebagai saksi. Dia juga menilai bahwa Hakim dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) cenderung bersikap pasif dalam menggali dan menguji kebenaran materiil dari keterangan saksi di persidangan. 

Selain itu juga ada beberapa fakta yang menurutnya tak ada dalam persidangan. Seperti laporan Komnas HAM tentang penggunaan gas air mata berlebihan di area tribun yang menjadi pemicu jatuhnya korban jiwa pada tragedi 1 Oktober 2022 itu. 

Selain itu juga soal laporan dari Tim Gabungan Independent Pencari Fakta (TGIPF). Dimana dalam hal ini TGIPF menyimpulkan bahwa aparat keamanan tidak mempedomani tahapan pengamanan sesuai Perkapolri dan melakukan penembakan gas air mata secara membabi buta ke arah lapangan, tribun hingga luar lapangan. 

“Atas fakta kejanggalan itu, kami menyatakan sikap, mendesak majelis hakim untuk menjatuhkan vonis seberat beratnya dan seadil adilnya untuk mewujudkan keadilan bagi keluarga korban,” jelas Daniel. 

Baca Juga  Pengacara Keluarga Brigadir Yosua Sebut Vonis Ricky Rizal Lebih Berat dari Kuat Makruf

Untuk itu, pihaknya mendesak agar komisi yudisial, komisi kejaksaan untuk bersikap proaktif. Terutama dalam memeriksa dugaan pelanggaran kode etik pada hakim dan JPU di persidangan Tragedi Kanjuruhan.

Selain itu juga mendesak Komnas HAM agar lebih proaktif untuk mendalami dugaan keterlibatan pelaku level atas dalam tragedi itu. Terlebih dalam pertanggungjawaban komando pelanggaran HAM hingga terjadi tragedi memilukan itu. 

“Kami juga mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit tidak berhenti mengusut dan lebih serius dalam menyidik anggota yang terlibat penembakan gas air mata yang menyebabkan 135 korban jiwa melayang,” terang Daniel. 

Diketahui, tersangka Tragedi Kanjuruhan yakni Abdul Haris yakni Panpel Arema FC dan Suko Sutrisno yakni Security Officer Arema FC dituntut 6,5 tahun. Sedangkan 3 tersangka dari kepolisian yakni AKP Hasdarmawan, Kompol Wahyu S Pranoto dan AKP Bambang Sidiq dituntut 3 tahun penjara.

Namun untuk satu tersangka dari PT LIB yakni Ahmad Lukito hingga saat ini masih belum diadili. Pasalnya, penyidik dari Polda Jatim belum bisa menyelesaikan dan melengkapi berkas penyidikannya.