INDONESIAONLINE – Di tengah hiruk pikuk dunia seni rupa kontemporer yang terus berinovasi, nama F. Sigit Santoso tetap teguh pada jalur realisme. Lahir di Ngawi, Jawa Timur, 1964, Sigit bukan sekadar pelukis melainkan seorang pencerita visual yang handal.
Karyanya bukan hanya memanjakan mata, tetapi juga mengajak penikmatnya merenungkan makna kehidupan, budaya, dan spiritualitas.
Baru-baru ini, nama Sigit kembali mencuat ke permukaan, bukan hanya di kalangan pecinta seni, tetapi juga di ranah internasional. Lukisan karyanya yang diberi judul Siti Maryam, dipersembahkan Megawati Soekarnoputri, sebagai hadiah istimewa untuk Paus Fransiskus di Vatikan.
![](https://indonesiaonline.co.id/wp-content/uploads/2025/02/artwork-1506232231.jpg)
Dari Ngawi ke Yogyakarta
Perjalanan seni Sigit dimulai dari tanah kelahirannya, Ngawi, sebuah kota kecil yang menyimpan kekayaan budaya Jawa. Bakat melukisnya tumbuh sejak dini, terinspirasi oleh lingkungan sekitar dan imajinasi yang kaya. Namun, Yogyakarta, kota yang dikenal sebagai jantung seni Indonesia menjadi panggung yang mematangkan potensinya.
Pada tahun 1993, Sigit resmi menimba ilmu di Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Di kampus inilah, ia bertemu dengan para maestro seni, berinteraksi dengan beragam aliran dan gagasan, serta mengasah teknik dan konsep artistiknya.
Meski terpapar berbagai perkembangan seni modern, Sigit memilih untuk setia pada realisme, aliran yang menekankan representasi objek secara akurat dan detail.
Realisme dengan Sentuhan Personal
Bagi Sigit, realisme bukan sekadar teknik melukis yang teliti, tetapi juga medium untuk menyampaikan pesan dan emosi. Karyanya tidak hanya tentang mereproduksi visual dunia nyata, melainkan juga menghadirkan interpretasi personal dan sudut pandang yang unik.
Setiap sapuan kuasnya adalah ungkapan perasaan, pemikiran, dan pengamatannya terhadap kehidupan.
Ciri khas lukisan Sigit terletak pada detail yang memukau, komposisi yang seimbang, dan pemilihan warna yang harmonis. Ia piawai menghidupkan objek-objek mati, memberikan jiwa pada potret manusia, dan menciptakan atmosfer yang kuat dalam setiap karyanya.
Meski realis, lukisannya tidak pernah terasa dingin atau kaku. Justru sebaliknya, karya Sigit memancarkan kehangatan, kelembutan, dan kedalaman emosi.
Siti Maryam: Simbol Akulturasi dan Cinta Kasih Universal
Lukisan Siti Maryam yang dihadiahkan kepada Paus Fransiskus adalah contoh sempurna dari gaya realisme Sigit yang kaya makna. Dalam lukisan ini, ia memadukan ikonografi Katolik dengan elemen budaya Jawa, menciptakan harmoni visual yang memukau dan pesan yang mendalam.
Bunda Maria dalam balutan kebaya merah, kain jarik, dan kerudung putih, adalah representasi akulturasi yang cerdas dan sensitif. Kerudung putih yang terinspirasi dari penutup kepala muslimah dan suster, kebaya kutu baru yang merupakan busana tradisional Jawa, dan motif jarik truntum yang melambangkan cinta kasih, semuanya berpadu dalam komposisi yang estetik dan bermakna.
“Saya ingin menampilkan persoalan-persoalan yang bersifat Indonesia, jadilah perpaduan merah-putih,” ungkap Sigit tentang pemilihan warna kebaya dan kerudung.
Simbol-simbol seperti bunga melati yang menggantikan ular di kaki Bunda Maria, juga semakin memperkuat pesan cinta kasih dan penghormatan terhadap perempuan yang ingin disampaikan Sigit.
Dedikasi dan talenta Sigit Santoso dalam dunia seni telah diakui secara luas. Ia telah menggelar dua pameran tunggal di galeri bergengsi Edwin’s Gallery, Jakarta, pada tahun 2005 dan 2023. Selain itu, ia juga aktif dalam pameran bersama, baik di dalam maupun luar negeri.
![](https://indonesiaonline.co.id/wp-content/uploads/2025/02/67a9fde7c0221.jpg)
Prestasi Sigit juga tercermin dari berbagai penghargaan yang telah diraihnya, di antaranya:
Finalis “The 2007 Sovereign Asian Art Prize”, Hong Kong
Finalis “The 2006 Sovereign Asian Art Prize”, Hong Kong
10 lukisan terbaik “The Phillip Morris Group Indonesian Art Awards” (1994)
Karya Terbaik Biennale IV Yogyakarta (1994)
Karya Terbaik Festival Mahasiswa Seni se-Indonesia (1992)
Karya Terbaik Dies Natalis ISI V, Yogyakarta (1990)
Penghargaan-penghargaan ini bukan hanya sekadar pengakuan atas kualitas teknis lukisan Sigit, tetapi juga apresiasi terhadap visi artistik dan kontribusinya dalam dunia seni rupa Indonesia.
Di usia yang tak lagi muda, semangat berkarya Sigit Santoso tak pernah padam. Ia terus melukis, bereksperimen, dan mencari inspirasi dari kehidupan sehari-hari.
Bagi Sigit, melukis bukan hanya pekerjaan, melainkan panggilan jiwa, cara untuk berkomunikasi dengan dunia, dan medium untuk mengabadikan keindahan dan makna kehidupan.