Sindikat Kriminal Kuras Bank Rp 200 M, Jejak Hilang di Kripto Global

Sindikat Kriminal Kuras Bank Rp 200 M, Jejak Hilang di Kripto Global
Ilustrasi pembobolan beberapa bank senilai Rp 200 miliar lewat BI Fast yang disinyalir dilakukan sindikat kejahatan internasional (io)

OJK endus jejak sindikat terorganisir di balik fraud bank via BI Fast senilai Rp 200 miliar. Dana dicuci kilat ke aset kripto global, mempersulit pelacakan otoritas.

INDONESIAONLINE – Sektor perbankan nasional sedang menghadapi ancaman nirmuka yang semakin ganas. Hilangnya dana senilai taksiran Rp 200 miliar yang melibatkan beberapa bank melalui kanal transfer BI Fast, bukan sekadar “gangguan teknis” atau ulah peretas amatiran.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencium aroma busuk dari operasi sindikat kejahatan terorganisir (organized crime) yang bekerja dengan presisi tinggi.

Kasus ini menjadi alarm keras bagi industri keuangan Indonesia menjelang akhir tahun 2025. Serangan ini tidak lagi bersifat sporadis, melainkan sistematis, terstruktur, dan melibatkan jaringan lintas negara.

Bukan “Lone Wolf”, Melainkan Korporasi Kriminal

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menegaskan perubahan peta ancaman ini. Menurutnya, pola serangan yang terjadi saat ini jauh melampaui kemampuan individu atau lone wolf.

“OJK menduga bahwa ini adalah organisasi kriminal. Kejahatannya adalah kejahatan yang bisa dikatakan dari organisasi,” ungkap Dian usai peluncuran buku di Jakarta Selatan, Senin (15/12/2025).

Analisis OJK menunjukkan bahwa pelaku memiliki sumber daya mumpuni untuk mengeksploitasi celah keamanan, melakukan eksekusi transfer dalam hitungan detik, dan yang paling krusial: menghilangkan jejak secepat kilat.

Lubang Hitam Bernama Kripto Global

Tantangan terbesar dalam pengungkapan kasus ini bukan hanya pada bagaimana pelaku membobol sistem, melainkan ke mana uang tersebut pergi. Dian menyoroti modus baru yang membuat otoritas keuangan seperti OJK dan Bank Indonesia (BI) “mati kutu”: Pencucian uang via Kripto Internasional.

Dalam skema konvensional, dana curian yang ditransfer antar-rekening bank domestik masih bisa dilacak dan dibekukan (freeze) oleh otoritas. Namun, sindikat ini telah berevolusi. Begitu dana Rp 200 miliar tersebut berhasil disedot, uang itu tidak mengendap di rekening bank, melainkan langsung dikonversi menjadi aset kripto di exchange global.

“Yang paling kita khawatirkan adalah pelarian dananya ini. Kita tidak bisa blok lebih cepat karena sekarang dilarikan ke kripto internasional. Begitu ditransfer ke kripto global, kita seperti kehilangan track (jejak),” beber Dian dengan nada prihatin.

Kripto global, dengan sifatnya yang desentralisasi dan lintas yurisdiksi, menjadi “surga” bagi para peretas. Begitu masuk ke jaringan blockchain internasional, dana tersebut bisa diputar ribuan kali melalui mixer (pencampur aset) digital, membuatnya hampir mustahil untuk dilacak kembali ke sumber asalnya di Indonesia.

Diplomasi Siber: Mendesak Konsensus Global

Menyadari bahwa “tangan” hukum Indonesia tidak bisa menjangkau yurisdiksi kripto global sendirian, OJK dan BI kini menempuh jalur diplomasi. Masalah ini bukan lagi isu domestik, melainkan krisis global.

Dian menegaskan bahwa Indonesia sedang mendorong lembaga-lembaga internasional untuk menetapkan protokol standar dalam menangani kejahatan siber berbasis kripto. Tanpa pertukaran data (data exchange) dan penegakan hukum lintas negara yang cepat, bank-bank di Indonesia akan terus menjadi “ATM berjalan” bagi sindikat internasional.

“Pemberantasannya tidak bisa dilakukan oleh satu negara seperti kita. Itu sudah ada komitmen kita dengan Bank Indonesia untuk mendorong isu ini di forum internasional,” tambahnya.

BI: Benteng Pertahanan Terus Diperkuat

Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) sebagai operator BI Fast—kanal yang disebut-sebut dalam kasus ini—berada dalam sorotan. Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, memastikan bahwa secara infrastruktur, sistem BI Fast telah memenuhi standar keamanan ketat.

Namun, dalam dunia keamanan siber, kerentanan seringkali bukan pada sistem inti, melainkan pada titik akhir (endpoint) atau instruksi transaksi dari bank peserta.

“BI terus berkoordinasi dengan OJK dan penegak hukum untuk memastikan langkah pemulihan. Kami pastikan instruksi transaksi dari bank ke BI telah dilengkapi pengamanan memadai,” ujar Denny.

Kasus Rp 200 miliar ini menjadi bukti nyata bahwa perang melawan kejahatan finansial telah bergeser ke medan tempur baru. Di satu sisi ada regulator yang terikat batas negara, sementara di sisi lain ada sindikat kriminal yang bergerak bebas tanpa paspor di dunia maya.

Bagi nasabah, ini adalah peringatan: keamanan dana kini bukan hanya soal PIN dan password, tapi seberapa tangguh sistem perbankan menahan gempuran mafia digital.