Beranda

Sisi Gelap Mata Elang: 95 Persen Target Ternyata Bukan Debitur Asli

Sisi Gelap Mata Elang: 95 Persen Target Ternyata Bukan Debitur Asli
Ilustrasi perampasan kendaraan di jalanan (io)

Menguak fakta di balik aksi Mata Elang. Industri Leasing sebut 95 persen kendaraan yang ditarik telah dipindahtangankan secara ilegal, memicu konflik data pribadi dan kekerasan jalanan.

INDONESIAONLINE – Pemandangan keributan di pinggir jalan antara sekelompok orang berbadan tegap dengan pengendara motor atau mobil kerap kali viral di media sosial. Narasi yang terbangun hampir selalu seragam: perilaku debt collector atau “mata elang” (matel) yang merampas kendaraan rakyat kecil secara sepihak.

Namun, investigasi lebih dalam menyingkap sebuah anomali struktural dalam ekosistem pembiayaan kendaraan di Indonesia. Konflik jalanan ini ternyata bukan sekadar urusan telat bayar cicilan, melainkan puncak gunung es dari sindikat jual beli kendaraan ilegal yang masif.

Data dari pelaku industri pembiayaan (leasing) mematahkan anggapan umum bahwa matel selalu menyasar debitur yang sedang kesulitan ekonomi.

Ronald (nama samaran), seorang direktur perusahaan leasing terkemuka, mengungkapkan fakta mengejutkan. Berdasarkan data lapangan, mayoritas kendaraan yang menjadi target eksekusi di jalan raya sesungguhnya sudah tidak lagi dikuasai oleh peminjam (debitur) asli.

“Perlu dipahami, 95 persen lebih eksekusi itu terjadi karena kendaraannya sudah bukan di tangan debitur, tetapi di tangan pihak ketiga,” ujar Ronald.

Pasar Gelap “STNK Only”

Akar masalah dari kekerasan di jalanan ini bermuara pada praktik jual beli kendaraan “putus kredit” atau yang populer dengan istilah “STNK Only” di forum-forum jual beli media sosial. Debitur nakal menjual kendaraan yang masih berstatus kredit kepada penadah atau pihak ketiga tanpa Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB). Ketika kendaraan berpindah tangan, jejak pembayaran terhenti, dan alamat debitur menjadi fiktif.

Kondisi inilah yang memicu agresivitas di lapangan. Pihak ketiga yang merasa telah “membeli” unit tersebut—meski secara ilegal—kerap melakukan perlawanan sengit saat unitnya hendak diamankan sesuai perjanjian fidusia.

“Kendaraan masih status kredit, tapi dijual begitu saja. Ini melawan hukum. Ketika kemudian dicari dan ditemukan, yang memegang unit merasa sebagai korban. Padahal akar masalahnya ada di penjualan ilegal itu,” tambah Ronald.

Dampak dari fenomena ini sangat sistemik. Perusahaan leasing kini memperketat keran kredit secara drastis pada tahun 2025. Tingkat persetujuan aplikasi kredit anjlok. Jika sebelumnya 7-8 dari 10 pengajuan disetujui, kini hanya 4-5 aplikasi yang lolos verifikasi ketat. Masyarakat umum yang jujur akhirnya turut terkena imbas sulitnya mendapatkan fasilitas pembiayaan akibat ulah sindikat ini.

Kebocoran Data di Ujung Jari

Di sisi lain, cara kerja mata elang dalam melacak unit yang hilang juga menyimpan bom waktu terkait privasi. Penelusuran awak media menemukan penggunaan aplikasi pelacak seperti “Dewa Matel”.

Aplikasi ini memungkinkan pengguna memasukkan nomor polisi dan seketika mendapatkan data detail: nomor rangka, nomor mesin, nama pemilik, hingga nama leasing.

Pengamat keamanan siber, Alfons Tanujaya, menyoroti bahaya aplikasi semacam ini. Ia menilai penggunaan data nasabah secara terbuka di aplikasi pihak ketiga adalah pelanggaran berat terhadap Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).

“Data kendaraan pelat nomor, nomor rangka, nomor mesin, nama pemilik, lembaga pembiayaan itu semua data pribadi. Hanya dengan memasukkan pelat nomor, data bisa keluar. Dari sisi privasi, itu pelanggaran,” tegas Alfons.

Kebocoran ini disinyalir terjadi dari berbagai celah, mulai dari oknum internal perusahaan pembiayaan hingga vendor outsourcing yang tidak memiliki tata kelola data yang aman.

Benang Kusut Penegakan Hukum

Meskipun industri berdalih bahwa target mereka adalah unit yang digelapkan, aparat kepolisian tetap berpegang pada hukum positif bahwa eksekusi paksa di jalan raya tidak dapat dibenarkan. Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Utara, Kompol Onkoseno Gradiarso Sukahar, menegaskan bahwa penarikan unit harus melalui prosedur hukum yang benar, bukan hukum rimba.

“Kalau bermasalah, seharusnya dibawa ke kantor leasing. Kalau ada unsur pidana, laporkan ke polisi. Kalau perdata, ajukan gugatan,” ujar Onkoseno.

Lanjutnya, pelaku perampasan di jalan dapat dijerat Pasal 368 KUHP tentang pemerasan.

Namun, kriminolog Haniva Hasna menilai fenomena ini tidak akan selesai hanya dengan menangkap matel di jalanan. Ada kegagalan sistemik dalam pencegahan dan penegakan hukum fidusia.

“Ini bukan hanya kegagalan hukum, tapi kegagalan pencegahan. Penegakan hukum tidak konsisten, sanksi menyasar eksekutor kecil, sementara aktor struktural relatif aman,” kritiknya.

Pada akhirnya, mata elang hanyalah gejala dari penyakit kronis dalam sistem kredit kendaraan bermotor. Selama pasar gelap jual beli kendaraan kredit tidak diberantas dan perlindungan data nasabah masih lemah, aspal jalanan akan terus menjadi arena pertarungan antara penagih dan pemegang unit ilegal.

Exit mobile version