Skandal Enemawira: Napi Muslim Dipaksa Makan Daging Anjing

Skandal Enemawira: Napi Muslim Dipaksa Makan Daging Anjing
Ilustrasi kasus di Lapas Kelas III Enemawira, Sulawesi Utara (io)

Kalapas Enemawira resmi dipecat dan diblacklist usai paksa napi Muslim makan daging anjing. Analisis mendalam pelanggaran HAM, aturan Mandela Rules, dan arogansi kekuasaan di balik jeruji besi.

INDONESIAONLINE – Di balik tembok tinggi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas III Enemawira, Sulawesi Utara, sebuah pesta ulang tahun yang seharusnya penuh suka cita berubah menjadi mimpi buruk spiritual bagi warga binaan. Di sana, relasi kuasa yang timpang antara sipir dan narapidana mencapai titik nadir: pemaksaan konsumsi daging anjing terhadap narapidana Muslim.

Kasus ini bukan sekadar pelanggaran etika birokrasi, melainkan sebuah “kekerasaan simbolik” yang menyerang pondasi hak paling mendasar manusia: kebebasan beragama.

Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas) Agus Andrianto bergerak cepat dengan memecat Kalapas berinisial CS dan memasukkannya dalam daftar hitam pejabat struktural. Namun, pertanyaan besarnya tersisa: Bagaimana sistem pengawasan lapas bisa kebobolan oleh arogansi semacam ini?

Pesta Pemicu Petaka

Berdasarkan penelusuran dan konfirmasi resmi Kementerian Imipas pada Jumat (5/12/2025), insiden ini bermula dari acara ulang tahun di lingkungan Lapas. CS, sang Kalapas, diduga menggunakan otoritas mutlaknya untuk memaksa narapidana memakan hidangan yang diharamkan dalam keyakinan mereka.

“Alasannya mereka lagi pesta ulang tahun. Intinya kita tidak menoleransi hal-hal seperti itu. Sudah kita copot, sudah kita catatkan supaya tidak dikasih jabatan lagi ke depan,” tegas Agus Andrianto.

Tindakan tegas ini diambil setelah pemeriksaan maraton yang dilakukan oleh Kantor Wilayah Ditjenpas Sulawesi Utara sejak 27 November 2025.

Rika Aprianti, Kepala Subdirektorat Kerja Sama Pemasyarakatan Ditjenpas, mengonfirmasi bahwa sidang kode etik telah digelar oleh Direktorat Kepatuhan Internal pada 2 Desember 2025.

Pelanggaran Terhadap Nelson Mandela Rules

Kasus Enemawira menjadi cermin retaknya implementasi standar internasional dalam sistem pemasyarakatan Indonesia. Tindakan CS secara telak melanggar The Nelson Mandela Rules (Standar Minimum PBB untuk Perlakuan terhadap Tahanan) yang telah diadopsi dunia internasional.

Secara spesifik, tindakan tersebut menabrak Aturan 22 (Rule 22) dari Mandela Rules yang mewajibkan administrasi penjara untuk menyediakan makanan dengan nilai gizi yang cukup dan “harus menghormati keyakinan agama dan budaya tahanan.”

Lebih jauh, dalam konteks hukum nasional, tindakan ini mencederai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Pasal 9 undang-undang tersebut secara eksplisit menjamin hak narapidana untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya. Memaksa memakan sesuatu yang haram adalah bentuk penghalangan terhadap pelaksanaan keyakinan tersebut.

Krisis Kemanusiaan di Ruang Tertutup

Anggota Komisi XIII DPR RI, Mafirion, menyebut kasus ini sebagai alarm bahaya bagi penegakan HAM di Indonesia. Ia menyoroti bahwa status narapidana tidak serta-merta mencabut hak asasi seseorang sebagai manusia.

“Memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinannya merupakan pelanggaran terhadap martabat manusia. Jangan mentang-mentang dia warga binaan maka Kalapas bisa sewenang-wenang,” ujar Mafirion.

Data menunjukkan bahwa kekerasan di dalam lapas seringkali terjadi akibat “Total Institution” (institusi total), meminjam istilah sosiolog Erving Goffman, di mana penghuni terputus dari dunia luar dan hidup di bawah satu otoritas mutlak. Tanpa pengawasan ketat, otoritas ini mudah berubah menjadi tirani.

Jika terbukti di pengadilan, tindakan CS juga berpotensi menjeratnya ke ranah pidana umum. Pasal 156a KUHP tentang Penodaan Agama mengancam pelaku dengan pidana penjara maksimal 5 tahun bagi siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama.

Langkah Korektif: Cukupkah Sekadar Pecat?

Langkah Menteri Agus Andrianto memberhentikan CS dan menunjuk pelaksana tugas (Plt) dinilai sebagai “tourniquet” (penghenti pendarahan) yang efektif untuk jangka pendek. Namun, pakar pemasyarakatan menilai perlu ada evaluasi psikologis berkala bagi para Kalapas.

Tekanan kerja di lingkungan yang over-kapasitas seringkali menjadi pemicu perilaku abusive. Berdasarkan data World Prison Brief terbaru, tingkat okupansi penjara di Indonesia seringkali melampaui 100% di berbagai wilayah, menciptakan lingkungan stres tinggi baik bagi napi maupun petugas. Namun, stres tidak bisa menjadi pembenaran untuk pelanggaran prinsip dasar kemanusiaan.

Kasus Enemawira harus menjadi titik balik reformasi kultural di tubuh Pemasyarakatan. Bahwa seragam dinas adalah amanah untuk membina, bukan jubah kekebalan untuk memaksa narapidana melanggar perintah Tuhannya.