Setelah 60 tahun vakum, Wayang Topeng Menak kembali ke panggung Malang. Sebuah misi penyelamatan seni langka yang memadukan kisah Amir Hamzah dengan topeng khas Malangan untuk menolak kepunahan.
INDONESIAONLINE – Sebuah panggilan darurat kebudayaan akhirnya terjawab. Di tengah senyapnya panggung yang ditinggalkan puluhan tahun, Wayang Topeng Menak—kesenian Malang yang berada di ambang kepunahan—akhirnya kembali bernapas. Gema gamelan dan gerak magis para penari topeng memecah keheningan di Pesantren Budaya Karanggenting, Merjosari, pada Sabtu (10/8/2025) malam.
Pementasan yang digagas oleh Lesbumi Nahdlatul Ulama Kota Malang ini bukan sekadar pertunjukan, melainkan sebuah misi penyelamatan kritis. Ini adalah denyut nadi pertama setelah lebih dari 60 tahun kesenian ini mati suri.
“Ibarat kapal yang kondisinya SOS, jika tidak segera ditindaklanjuti, wayang topeng menak akan tenggelam,” tegas sejarawan Kota Malang, Dwi Cahyono.
Pernyataannya bukan isapan jempol. Menurut Dwi, terakhir kali kesenian ini dipentaskan di Malang adalah pada era 1960-an.
Kondisi “darurat pelestarian” ini mendorongnya menggagas gerakan ‘Topeng Malang Menolak Punah’. Jejak kesenian yang memadukan hikayat Amir Hamzah dengan topeng khas Malangan ini, menurutnya, telah ada sejak awal 1900-an.
Sempat populer di masa penjajahan Jepang, kini hanya menyisakan memori dan warisan dari segelintir maestro, seperti Mbah Karimun dari Glagahdowo. Kembalinya Topeng Menak ke panggung adalah jawaban atas sinyal SOS yang telah lama berbunyi.
Inovasi Dakwah: Kisah Nabi dalam Topeng Malangan
Wayang Topeng Menak adalah sebuah anomali yang indah. Jika Serat Menak—kisah kepahlawanan paman Nabi Muhammad SAW, Amir Hamzah—umumnya dibawakan melalui wayang golek, di Malang ia berevolusi. Lesbumi NU berhasil melahirkan kembali inovasi brilian dengan menyajikannya dalam format sendratari topeng panji khas Malangan.
Ketua Lesbumi PBNU, KH Jadul Maula, menjelaskan bahwa adaptasi ini adalah strategi kebudayaan warisan para ulama.
“Para ulama dulu membangun strategi kebudayaan untuk memberikan wawasan luas kepada masyarakat. Ini bukan sekadar hiburan, tapi sarana membangun peradaban,” ujarnya.
Lakon yang dibawakan menarik kisah Amir Hamzah—yang di Jawa dikenal sebagai Wong Agung Menak atau Jaya Ini Rana—menjadi sebuah tontonan yang sekaligus tuntunan.
Dari Panggung Menuju Peradaban Baru
Kebangkitan Wayang Topeng Menak diharapkan bukan sekadar seremoni satu malam. Dwi Cahyono, yang juga dosen di Universitas Negeri Malang, berharap kesenian ini dapat merasuk ke ruang-ruang pendidikan.
“Kami berharap kesenian ini bisa hadir di pondok pesantren, madrasah, dan komunitas muslim,” tuturnya.
Dengan demikian, khazanah topeng Malang tak lagi hanya identik dengan lakon Panji atau kisah Mahabharata-Ramayana. Ada warisan narasi Islami yang kaya nilai, siap memperkuat identitas budaya Malang yang nyaris terlupakan.
Malam itu, Malang tidak hanya merayakan seni, tetapi menghidupkan kembali jiwanya yang hampir hilang.