Waspada! Di balik gegap gempita sound horeg, ada ancaman serius bagi kesehatan. Dinkes Kota Batu ungkap risiko tuli permanen hingga penyakit jantung.
INDONESIAONLINE – Getaran bass yang merayap di dada, dentuman musik yang memekakkan telinga. Bagi sebagian orang, inilah puncak kemeriahan karnaval atau perayaan. Fenomena yang dikenal sebagai “sound horeg” ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hiburan rakyat. Namun, di balik euforia sesaat itu, tersembunyi ancaman kesehatan jangka panjang yang mulai disorot serius oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Batu.
Ini bukan sekadar soal kebisingan yang mengganggu. Ini adalah krisis kesehatan publik yang senyap, yang mengintai pendengaran hingga jantung para penikmatnya, bahkan warga sekitar yang tak sengaja terpapar.
“Dampaknya sangat nyata, dari yang paling umum seperti gangguan tinnitus atau telinga berdenging, hingga risiko kerusakan permanen,” tegas Susana Indahwati, Kepala Bidang Pencegahan, Pengendalian Penyakit, dan Penanggulangan Bencana Dinkes Kota Batu, dalam sebuah wawancara.
Dari Telinga Berdenging Hingga Tuli Permanen: Data Bicara
Paparan Susana bukan isapan jempol. Secara ilmiah, telinga manusia memiliki ambang batas aman. Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), paparan suara di atas 85 desibel (dB)—setara dengan suara lalu lintas kota yang padat atau blender—selama lebih dari 8 jam sudah berisiko merusak pendengaran.
Sound horeg, dengan sistem audio raksasa, dengan mudah melampaui angka tersebut, bahkan bisa mencapai 110-120 dB, setara dengan suara mesin jet saat lepas landas. Pada level ini, kerusakan pendengaran bisa terjadi hanya dalam hitungan menit.
“Seseorang bisa mengalami temporary threshold shift (TTS) atau tuli sementara,” jelas Susana.
“Pada tahap ini, telinga stres dan kepekaannya menurun. Jika paparan terus berlanjut, risikonya adalah permanent threshold shift (PTS) atau tuli permanen,” lanjutnya.
Kondisi tuli permanen ini terjadi karena kerusakan sel-sel rambut halus di dalam koklea (rumah siput), bagian vital di telinga dalam. “Kerusakan ini bersifat ireversibel, tidak dapat diperbaiki,” tambahnya.
Data global memperkuat kekhawatiran ini. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam laporannya pada Maret 2022 memperkirakan bahwa lebih dari 1,1 miliar anak muda (usia 12–35 tahun) di seluruh dunia berisiko mengalami gangguan pendengaran akibat paparan suara bising dari sumber rekreasi, termasuk dari perangkat audio pribadi dan tempat hiburan.
Ancaman Tak Terlihat: Jantung dan Pembuluh Darah Jadi Taruhan
Bahaya sound horeg tidak berhenti di telinga. Menurut Susana, efek terparah justru bisa menyerang organ vital lain: jantung dan pembuluh darah.
“Paparan kebisingan kronis memicu respons stres pada tubuh. Ini meningkatkan produksi hormon adrenalin dan kortisol, yang pada gilirannya menaikkan tekanan darah dan detak jantung,” papar perempuan yang akrab disapa Susan itu.
Secara terus-menerus, kondisi ini dapat menyebabkan hipertensi, penyakit jantung koroner, bahkan meningkatkan risiko stroke. Sebuah studi yang dipublikasikan di European Heart Journal secara konsisten menunjukkan korelasi kuat antara paparan bising lingkungan jangka panjang dengan peningkatan insiden penyakit kardiovaskular.
Stres akibat kebisingan juga memicu dampak lain seperti insomnia, sakit kepala kronis, dan penurunan kemampuan konsentrasi.
Regulasi Ada, Implementasi Jadi Tantangan
Menyadari potensi bahaya ini, pihak berwenang di Kota Batu sebenarnya tidak tinggal diam. Polres Batu telah mengeluarkan batasan, seperti penggunaan maksimal lima subwoofer per kendaraan, jenis kendaraan yang dibatasi (maksimal L300), dan batas waktu acara hingga pukul 23.00 WIB.
Pembatasan ini merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 48 Tahun 1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan, yang menetapkan batas maksimal kebisingan di kawasan permukiman hanya 60 desibel. Angka ini jelas sangat jauh di bawah dentuman sound horeg.
Meski regulasi telah ada, tantangannya adalah penegakan dan kesadaran publik. Hingga saat ini, Dinkes Kota Batu mengaku belum menerima laporan keluhan kesehatan resmi dari masyarakat. Namun, ini bisa jadi fenomena gunung es, di mana banyak orang tidak menyadari bahwa gejala yang mereka alami adalah akibat dari paparan bising ekstrem.
“Untuk pencegahan, gunakan pelindung telinga seperti earplug atau earmuff. Jaga jarak aman dan batasi waktu paparan jika berada di dekat sumber sound horeg,” saran Susana.
Pada akhirnya, sound horeg menempatkan masyarakat pada sebuah persimpangan: antara melestarikan tradisi hiburan yang meriah dan melindungi aset paling berharga, yaitu kesehatan. Menemukan harmoni antara keduanya kini menjadi pekerjaan rumah bersama bagi regulator, penyelenggara acara, dan masyarakat itu sendiri (pl/dnv).