INDONESIAONLINE – Di tengah gemerlapnya perkembangan zaman, Kota Surakarta menyimpan sejuta cerita dalam keelokan arsitektur bangunan-bangunan bersejarahnya. Salah satu bukti kemegahan masa lampau yang tak terlupakan adalah Stasiun Solo Jebres.
Menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah gemilang Surakarta, stasiun ini bukan hanya tempat berhenti kereta api, melainkan juga saksi bisu perjalanan zaman yang merekam keindahan arsitektur dan berbagai peristiwa bersejarah.
Stasiun Solo Jebres terletak di Jalan Urip Sumoharjo, Purwodiningratan, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Stasiun ini bukan semata sebuah stasiun kereta api. Lebih dari itu, bangunan ini merupakan penanda kuat kejayaan masa lalu.
Stasiun Solo Jebres menjadi saksi bisu dari berbagai perubahan yang terjadi sejak diresmikan pada tahun 1884 oleh Pemerintah Kasunanan Surakarta melalui perusahaan kereta api Hindia Belanda Staats Spoorwegen (SS).
Dahulu, stasiun ini melayani beragam kebutuhan masyarakat, mulai dari beras, padi, kapas, hingga barang dagangan penting lainnya. Tak hanya menjadi pusat lalu lintas barang, Stasiun Solo Jebres juga memiliki kedekatan emosional dengan Keraton Surakarta Hadiningrat, sebagaimana tempat pertemuan antara Raja Surakarta Pakubuwono X dengan gubernur jenderal Hindia Belanda.
Arsitektur megah Stasiun Solo Jebres tak lepas dari pengaruh Indische Empire dengan sentuhan yang kental dari langgam neoklasik. Tampak depannya dipenuhi dengan ornamen Yunani dan Romawi, menjadikan stasiun ini daya tarik wisata sejarah dan edukasi yang unik di Kota Surakarta. Dominasi jendela melengkung, pintu klasik, serta panel-panel Art Nouveau menciptakan harmoni simetri yang memukau, merujuk pada kemegahan kerajaan masa lampau.
Stasiun Jebres diresmikan oleh Pemerintahan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada 1884. Keraton Surakarta atas perintah Sunan Pakubuwono X membangun stasiun ini bekerja sama dengan perusahaan kereta api Hindia Belanda Staats Spoorwegen (SS). Bangunan monumental ini bukan hanya sebuah stasiun kereta api biasa, tetapi pusat kegiatan vital yang membawa berkah bagi masyarakat Kota Solo dan sekitarnya.
Setelah diresmikan, Stasiun Jebres menjadi jantung aktivitas lalu lintas kereta api yang mengangkut beragam kebutuhan pokok seperti beras, padi, kapas, kulit, merica, nila, hingga barang dagangan berharga lainnya.
Heritage KAI menyebutkan bahwa arsitektur Stasiun Jebres mengusung konsep Indische Empire yang memukau dengan detail layaknya bangunan Yunani dan Romawi. Pintu masuknya yang menjulang tinggi disertai ornamen khas yang unik memberikan kesan megah bak kerajaan.
Komposisi simetris dari dua jendela melengkung yang mendominasi ruang tengah, dilengkapi dengan dua pintu klasik di bawahnya, serta detail panel Art Nouveau pada pintu, semuanya menciptakan keharmonisan yang memukau.
Stasiun Solo Jebres tak bisa dilepaskan dari sejarah Keraton Surakarta. Stasiun ini adalah pusat transportasi utama bagi keluarga Keraton Kasunanan yang hendak pergi ke Batavia dan Surabaya. Tidak mengherankan jika di stasiun ini tersedia ruang tunggu khusus untuk raja.
Menariknya, pada awal abad ke-20, rute trem dalam kota melalui Stasiun Jebres yang merupakan jalur penting dari Beteng Vastenburg-Jebres, memperkuat peranan stasiun ini sebagai inti transportasi kota.
Asal usul nama “Jebres” sendiri berasal dari seorang Belanda bernama Van der Jeep Reic yang tinggal di daerah tersebut. Namun, karena kesulitan lidah orang Jawa dalam mengucapkan bahasa Belanda, nama “Jeep Reic” berubah menjadi “Jebres”. Bahkan kediaman Van der Jeep Reic hingga saat ini masih berada di sebelah barat rumah sakit Moewardi Solo.
Bangunan Stasiun Solo Jebres memiliki arsitektur yang khas, dengan fasad berdetail yang dipengaruhi oleh langgam neoklasik. Bentuk simetris dengan penekanan pada pintu masuk utama, kanopi baja yang menandai entrance, hingga lengkungan pada setiap bukaan dengan profil moulding berbentuk busur, semuanya menambah pesona bangunan ini.
Lubang udara di atas pintu atau jendela juga dihiasi tralis besi dengan pola Art Nouveau atau deretan papan bernuansa tradisional, menciptakan harmoni dalam kesatuan warna dan keharmonisan keseluruhan komposisi.
Kekayaan komposisi elemen bangunan Stasiun Solo Jebres juga terlihat pada bagian tengah stasiun, dengan karakter bangunan yang terbentuk oleh fasad segitiga dari atap pelana, lunette atau jendela atas, dan dua pintu lengkung yang semuanya berkesan megah. Meskipun hanya pintu utama yang berbentuk lengkung, tetapi kekayaan komposisi elemen bangunan tetap terjaga dengan pengolahan yang sama. Lapisan keramik pada bagian bawah dinding untuk memudahkan perawatan dan lantai yang ditutup dengan keramik putih menambah keistimewaan arsitektur bangunan ini.
Stasiun Solo Jebres bukan hanya sekadar sejarah, tetapi sebuah warisan budaya yang harus terus dilestarikan. Bangunan ini bukan hanya menceritakan kisah masa lalu, tetapi juga menjadi identitas yang menghubungkan generasi sekarang dengan sejarahnya.
Dalam keindahannya yang megah, Stasiun Solo Jebres mengajak kita untuk mengapresiasi dan merawat warisan budaya yang telah terpatri di dalamnya. Hal ini bukan hanya menjadi tugas pemerintah atau lembaga terkait, tetapi menjadi tanggung jawab bersama untuk menjaga kelestarian Stasiun Solo Jebres agar tetap bersinar dalam gemerlapnya sejarah Kota Surakarta, menjadi saksi bisu dari masa lalu yang menakjubkan untuk dinikmati oleh generasi mendatang.
Namun, Stasiun Solo Jebres tak hanya menjadi objek sejarah yang berhenti pada masa lalu. Melalui Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No:PM. 57/PW.007/MKP/2010 dan Surat Keputusan Bupati No.646/1-R/1/2013, stasiun ini diresmikan sebagai bangunan cagar budaya yang perlu dilestarikan. Upaya revitalisasi pada 2010 dilakukan untuk menghidupkan kembali fungsi stasiun seperti masa kejayaannya, menjadi penghormatan atas warisan budaya Indonesia.
Meskipun peran transportasi Stasiun Solo Jebres berubah seiring waktu dan kini tidak lagi menjadi titik awal atau akhir perjalanan kereta api, stasiun ini tetap memiliki peran vital. Menjadi pemberhentian bagi kereta api penumpang yang melintasi jalur lintas tengah Jawa serta menjadi hub penting bagi kereta komuter atau KRL Jogja-Solo.
Di balik kemegahan dan keindahan arsitektur, Stasiun Solo Jebres memerlukan perhatian untuk mempertahankan kelestariannya. Mempertahankan bangunan bersejarah tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau lembaga terkait, tetapi juga menjadi peran aktif bagi masyarakat. Mengajak kita untuk berperan serta dalam menjaga warisan bersejarah, merawat, dan menghormati nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Pemahaman akan pentingnya warisan budaya dan sejarah yang tersemat dalam setiap detail bangunan seperti Stasiun Solo Jebres dapat menjadi motivasi bagi kita semua. Melalui apresiasi, pemeliharaan, dan pemanfaatan yang bijaksana, kita turut menyumbangkan bagian dari keberlangsungan warisan budaya Indonesia yang tak ternilai harganya.
Sebagai peradaban yang terus berkembang, mari kita jaga agar gemerlap sejarah di Kota Surakarta, termasuk kemegahan Stasiun Solo Jebres, tetap bersinar dan dapat dinikmati oleh generasi-generasi mendatang. Menjaga dan merawat bangunan bersejarah adalah bukti komitmen kita dalam menjaga kekayaan budaya yang menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa. (ar/hel)