Sunan Pakubuwono IV: Pemimpin Religius dan Ahli Strategi

Lukisan Sunan Pakubuwono IV karya Raden Saleh. Sunan Pakubuwono IV dikenal sebagai pemimpin religius dan mahir strategi politik di tengah pergolakan Jawa, Belanda dan Inggris (Ist)

INDONESIAONLINE – Pada tanggal 2 September 1768, lahirlah seorang bayi laki-laki di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Bayi itu diberi nama Raden Mas Subadyo, putra dari Sunan Pakubuwono III dan Gusti Kanjeng Ratu Kencana Kilen.

Ketika Raden Mas Subadyo berusia 20 tahun, tepatnya pada 29 September 1788, ia naik tahta sebagai Sunan Pakubuwono IV, menggantikan ayahnya.

Sunan Pakubuwono IV dikenal sebagai pemimpin muda yang bersemangat dan berani. Di awal pemerintahannya, ia segera menunjukkan dedikasinya terhadap syariat Islam. Sunan memimpin dengan ketat dalam menegakkan hukum Islam di wilayah kerajaannya. Setiap hari Jumat, ia tidak hanya hadir untuk salat Jumat di Masjid Agung Surakarta, tetapi sering kali juga bertindak sebagai imam atau khatib.

Pembangunan Masjid Agung Surakarta menjadi salah satu proyek pentingnya. Dimulai pada tahun 1789, masjid ini menjadi pusat kegiatan keagamaan dan simbol komitmen Sunan terhadap Islam. Karena kedekatannya dengan rakyat dan keilmuan agamanya yang mendalam, Sunan Pakubuwono IV mendapatkan julukan Sinuhun Wali, menunjukkan kedudukan spiritualnya yang tinggi.

Peristiwa Pakepung dan Tantangan Politik

Namun, kepemimpinan Sunan Pakubuwono IV tidak terlepas dari tantangan politik. Salah satu peristiwa terkenal dalam masa pemerintahannya adalah “Peristiwa Pakepung”. Pada tahun 1790, Pakubuwono IV mengangkat lima ulama sebagai penasihat dekatnya. Pengangkatan ini menimbulkan ketegangan dengan pejabat istana yang memiliki pandangan mistik dan sudah lama mapan di Surakarta.

Ketegangan ini memuncak ketika VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) bersama Kesultanan Yogyakarta dan Mangkunegaran merasa terancam oleh pengaruh para ulama ini. Pada November 1790, pasukan gabungan dari ketiga kekuatan tersebut mengepung Keraton Surakarta dari berbagai arah. Peristiwa ini memaksa Pakubuwono IV untuk menyerahkan para penasihat rohaninya kepada VOC demi menghindari konflik yang lebih besar dan memulihkan kestabilan kerajaan.

Di luar tantangan politik tersebut, Sunan Pakubuwono IV memiliki ambisi besar untuk mengembalikan kejayaan Keraton Surakarta sebagai penerus tunggal dinasti Mataram. Ia menerapkan berbagai kebijakan yang ketat untuk menegakkan hukum Islam, termasuk melarang minuman keras dan candu, serta menindak tegas para abdi dalem yang tidak patuh terhadap ajaran Islam.

Selama masa pemerintahannya, Sunan juga melakukan banyak pembangunan yang mendukung kemuliaan Keraton Surakarta dan kesejahteraan rakyatnya. Beberapa proyek penting yang dilakukan antara lain pembangunan Masjid Agung, Regol Srimanganti Ler, pondasi Sitihinggil Kidul, dan penanaman Ringin Kurung Sakembaran di Alun-alun Kidul. Renovasi Sakaguru Dalem Ageng Prabasuyasa dan pembangunan Dalem Ler atau Dalem Panepen juga menjadi bagian dari upayanya untuk memperkuat keraton.

Selain itu, Sunan Pakubuwono IV sangat mencintai kesenian Jawa, termasuk seni pewayangan. Ia memerintahkan pembuatan berbagai koleksi wayang purwa yang diberi nama seperti Kyai Mangu, Kyai Kanyut, Kyai Jimat, dan Kyai Kadung. Kecintaannya pada kesenian memperkaya warisan budaya Keraton Surakarta.

Intrik Politik dan Hubungan dengan VOC dan Yogyakarta

Dalam menghadapi tantangan politik yang kompleks, Sunan Pakubuwono IV dikenal sebagai seorang penguasa yang cerdik dan penuh intrik. Ia harus berhadapan dengan kekuatan kolonial Belanda (VOC) dan menjaga hubungan dengan Keraton Yogyakarta.

Salah satu langkah strategis yang diambilnya adalah menjalin hubungan dengan pasukan sipahi, tentara dari India yang ditempatkan di Jawa oleh VOC. Dengan mempengaruhi dan memenangkan dukungan pasukan sipahi, Pakubuwono IV memperkuat posisi militer keratonnya dan mendapatkan leverage yang signifikan dalam menghadapi kekuatan politik lainnya.

Intrik politik Sunan Pakubuwono IV tidak berhenti di situ. Pada tahun 1811, ketika Inggris menggantikan VOC sebagai kekuatan kolonial utama di Jawa, Sunan memanfaatkan situasi ini untuk menjalankan skema politik yang lebih licin.

Melalui serangkaian korespondensi rahasia dengan Sultan Hamengkubuwono II dari Yogyakarta, Pakubuwono IV berupaya untuk memprovokasi Sultan agar melakukan perlawanan terhadap Inggris.

Dalam surat-surat rahasia tersebut, Pakubuwono IV menawarkan dukungan militer kepada Sultan Yogyakarta, mendorongnya untuk melawan Inggris dengan harapan bahwa tindakan gegabah ini akan menghancurkan kekuatan Yogyakarta.

Sunan berharap bahwa dengan melemahkan Yogyakarta, Surakarta dapat kembali menguat dan mendapatkan posisi dominan di Jawa Tengah.

Pada bulan Maret 1812, kesepakatan ini diratifikasi dalam sebuah perjanjian rahasia. Namun, ketika Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stamford Raffles melancarkan serangan terhadap Yogyakarta pada bulan Juni tahun yang sama, Pakubuwono IV memilih untuk tidak mengirimkan bantuan apa pun kepada Sultan. Sebaliknya, ia menunggu di Surakarta, mengamati perkembangan situasi dengan cermat.

Strategi licin Sunan nyaris membawanya ke dalam masalah besar ketika salinan korespondensi rahasianya dengan Sultan Yogyakarta jatuh ke tangan pasukan Inggris setelah mereka menjarah Keraton Yogyakarta.

Bukti konspirasi ini dan kenyataan bahwa pasukan Surakarta ditempatkan di dekat jalur komunikasi Inggris selama serangan, hampir menyebabkan Raffles untuk menyerang Surakarta dan menggulingkan Pakubuwono IV. Namun, berkat kepiawaiannya dalam berdiplomasi, Sunan berhasil meyakinkan Raffles bahwa dirinya tidak terlibat secara langsung dalam konspirasi tersebut, sehingga keratonnya tetap selamat dari serangan Inggris.

Sunan Pakubuwono IV memimpin Keraton Surakarta selama 32 tahun, hingga wafatnya pada tahun 1820. Warisannya tidak hanya terletak pada upayanya dalam menegakkan syariat Islam dan membangun infrastruktur keraton, tetapi juga dalam kecerdikannya mengelola intrik politik yang kompleks di Jawa pada masa itu. Meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan, Sunan Pakubuwono IV tetap menjadi sosok yang dihormati dan dikenang sebagai pemimpin yang visioner dan penuh strategi (ar/dnv).