Beranda

Surabaya Melawan Premanisme: Buntut Pengusiran Paksa Nenek Elina

Surabaya Melawan Premanisme: Buntut Pengusiran Paksa Nenek Elina
Warga Surabaya demo tolak premanisme usai nenek 80 tahun diusir paksa (ist)

Warga Surabaya demo tolak premanisme usai nenek 80 tahun diusir paksa. Polisi usut dugaan perusakan tanpa putusan pengadilan dan arogansi ormas.

INDONESIAONLINE – Kota Pahlawan sedang tidak baik-baik saja. Di balik hiruk-pikuk kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia ini, tersimpan sebuah ironi kemanusiaan yang memantik amarah kolektif warganya.

Sebuah video berdurasi singkat yang viral di media sosial menjadi pemantiknya: Elina Widjajanti, seorang lansia berusia 80 tahun, terlihat tak berdaya saat ditarik, diangkat, dan dipaksa keluar dari rumah yang telah dihuninya belasan tahun. Bukan oleh petugas pengadilan yang membawa surat eksekusi resmi, melainkan oleh sekumpulan orang yang diduga oknum organisasi masyarakat (ormas).

Peristiwa di kawasan Dukuh Kuwukan, Kecamatan Sambikerep ini bukan sekadar sengketa lahan biasa. Ia menjadi representasi dari fenomena “pengadilan jalanan” yang kian meresahkan. Ratusan warga Surabaya yang tergabung dalam berbagai elemen masyarakat pun tumpah ruah ke jalanan, menyuarakan satu tuntutan: hukum harus tegak, dan premanisme tidak boleh mendapat tempat di tanah para pejuang.

Kronologi Kelabu: Eksekusi Tanpa Palu Hakim

Insiden yang terjadi pada akhir Oktober 2025 ini menyisakan trauma mendalam bagi Elina. Menurut kesaksian dan laporan polisi, proses pengosongan rumah dilakukan dengan cara-cara yang jauh dari kata manusiawi. Saat kejadian, di dalam rumah tersebut tidak hanya ada Elina, tetapi juga kelompok rentan lainnya: seorang balita lima tahun, bayi berusia 1,5 bulan, dan seorang ibu.

Kuasa hukum korban, Wellem Mintaraja, melukiskan situasi saat itu sebagai bentuk pengeroyokan terorganisir. “Ada 20 sampai 30 orang yang melakukan pengusiran secara paksa. Ini jelas eksekusi tanpa adanya putusan pengadilan,” tegas Wellem.

Secara hukum, prosedur pengosongan lahan sengketa memiliki tahapan yang rigit. Berdasarkan aturan yang berlaku di Indonesia, eksekusi riil terhadap objek sengketa tanah hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri dan dilaksanakan oleh Juru Sita, dengan pendampingan aparat kepolisian sebagai pengaman, bukan pelaksana.

Tindakan sekelompok orang sipil yang mengambil alih peran negara ini dinilai sebagai pelanggaran serius terhadap Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan dan perusakan.

Elina sendiri harus menanggung luka fisik dan batin. “Hidung dan bibir saya berdarah, wajah saya juga memar,” ungkapnya lirih.

Lebih menyakitkan lagi, setelah ia dipaksa keluar, alat berat langsung meratakan bangunan rumahnya dengan tanah. Dokumen-dokumen vital, termasuk sertifikat tanah yang menjadi bukti haknya, diklaim hilang atau tertimbun reruntuhan.

Solidaritas “Arek Suroboyo” dan Kemarahan Publik

Kemarahan publik memuncak bukan hanya karena status Elina sebagai lansia, tetapi karena modus operandi yang digunakan para pelaku. Brian, Kepala Bagian Analisis Kajian Strategis Gerakan For Justice, menyebut aksi turun jalan ini adalah manifestasi dari keresahan warga terhadap arogansi kelompok tertentu yang merasa “di atas hukum”.

“Aspirasinya sudah tersampaikan. Kami menuntut keadilan bagi Oma Elina. Surabaya bukan tempat bagi siapa pun yang ingin main hakim sendiri,” ujar Brian di sela-sela aksi yang sempat memanas tersebut.

Di media sosial, akun @aslisuroboyo turut menggemakan sentimen serupa melalui “Pernyataan Sikap Arek Surabaya”. Narasi yang dibangun sangat kuat: menolak intimidasi dan arogansi seragam ormas.

Slogan “Suroboyo iki kuto pahlawan, duduk kuto preman” (Surabaya ini kota pahlawan, bukan kota preman) menjadi mantra yang menyatukan berbagai elemen warga. Mereka mendesak kepolisian untuk tidak pandang bulu, mengingat pelaku diduga berlindung di balik nama besar organisasi.

Kekhawatiran akan gesekan horizontal sempat muncul ketika sebagian massa bergerak menuju kantor ormas yang diduga terlibat. Namun, aparat kepolisian dan koordinator aksi berhasil meredam potensi konflik fisik, mengarahkan fokus kembali pada proses penegakan hukum.

Data dan Konteks: Lansia dalam Pusaran Konflik Agraria

Kasus Elina bukanlah anomali tunggal dalam lansekap konflik agraria di Indonesia. Mengutip data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), konflik lahan seringkali menempatkan kelompok rentan—termasuk lansia dan perempuan—sebagai korban utama intimidasi.

Dalam banyak kasus sengketa lahan individual maupun korporasi, penggunaan jasa pihak ketiga (preman atau ormas) untuk melakukan land clearing secara paksa masih menjadi praktik gelap yang sulit diberantas.

Ketiadaan surat eksekusi dari pengadilan menjadi poin krusial dalam kasus ini. Wakil Wali Kota Surabaya, Armuji, yang melakukan inspeksi mendadak ke lokasi kejadian, menyoroti cacat prosedur ini.

“Pak RT, Pak RW, Ibu ini kan usia 80 tahun, masak dianiaya seperti itu diam saja. Kan bongkar ini butuh waktu, nggak boleh seperti itu,” tegur Armuji dengan nada tinggi.

Kehadiran pemerintah kota di lokasi menegaskan bahwa tindakan main hakim sendiri telah mencederai ketertiban umum kota Surabaya.

Klarifikasi Madas dan Proses Hukum Berjalan

Di tengah sorotan tajam, Organisasi Masyarakat Madura Asli (Madas)—yang namanya terseret dalam insiden ini—memberikan klarifikasi resmi. Ketua Umum Madas, Moch. Taufik, berupaya menarik garis demarkasi antara institusi yang dipimpinnya dengan para pelaku di lapangan.

Taufik berdalih bahwa insiden tersebut terjadi pada masa transisi kepemimpinan dan dilakukan oleh oknum yang bertindak atas nama pribadi atau sebagai tim pendamping hukum pihak lawan sengketa (Samuel), bukan atas instruksi organisasi.

“Tuduhan yang menyatakan Madas secara kelembagaan terlibat dalam pengusiran itu sama sekali tidak benar,” tegas Taufik dalam keterangan tertulisnya.

Ia mempersilakan Polda Jawa Timur untuk memproses hukum siapa saja yang terbukti bersalah, sebagai bentuk dukungan terhadap supremasi hukum.

Saat ini, bola panas berada di tangan Polda Jawa Timur. Laporan Polisi Nomor LP/B/1546/X/2025/SPKT/POLDA JAWA TIMUR tertanggal 29 Oktober 2025 tengah diproses. Publik menanti pembuktian komitmen kepolisian: apakah hukum tajam kepada pelaku kekerasan yang berlindung di balik massa, ataukah akan tumpul karena tekanan kelompok?

Kasus Nenek Elina menjadi ujian penting bagi penegakan hukum di Jawa Timur. Jika aksi premanisme berkedok sengketa lahan ini dibiarkan tanpa hukuman setimpal, ia akan menjadi preseden buruk bahwa di Surabaya, kekuatan otot bisa mengalahkan palu hakim. Namun, jika keadilan ditegakkan, ini akan menjadi pesan tegas bahwa di Kota Pahlawan, tidak ada tempat bagi arogansi dan intimidasi.

Exit mobile version