Beranda

Surabaya Membara: Teriakan Ojol Menggema Seharian

Surabaya Membara: Teriakan Ojol Menggema Seharian
Ribuan pengemudi ojek online (ojol) yang datang dengan satu suara: menuntut keadilan dari sistem yang mereka anggap kian mencekik di Surabaya, Jatim (jtn/io)

INDONESIAONLINEMentari Selasa (20/5/2025) belum lagi tinggi di langit Surabaya, namun deru knalpot dan lautan jaket hijau sudah mulai mengepung jantung Kota Pahlawan.

Ini bukan parade biasa. Ini adalah gelombang protes ribuan pengemudi ojek online (ojol) yang datang dengan satu suara: menuntut keadilan dari sistem yang mereka anggap kian mencekik. Surabaya, hari itu, seolah menjadi panggung raksasa bagi pekik perjuangan mereka.

Sejak fajar menyingsing, kawasan Frontage Ahmad Yani, dekat ikonik Bundaran Waru, telah berubah menjadi lautan manusia. Mereka datang bergelombang, bukan hanya dari Surabaya, tapi juga dari Gresik, Sidoarjo, bahkan hingga Malang.

Wajah-wajah lelah namun penuh tekad itu tergabung dalam Front Driver Online Tolak Aplikator Nakal Jawa Timur (Frontal Jatim). Pukul 9.30 WIB, mesin-mesin itu serentak meraung, membelah jalanan, memulai perjalanan panjang menyuarakan aspirasi yang telah lama terpendam.

Aplikasi dimatikan serentak. Hari itu, mereka memilih berpanas-panasan di aspal jalanan daripada mengais rupiah di bawah bayang-bayang potongan aplikasi yang dianggap tak manusiawi. Spanduk-spanduk gigantik dibentangkan, poster-poster berisi curahan hati diacungkan tinggi-tinggi.

Pesannya jelas: turunkan potongan aplikasi menjadi 10 persen! Sebuah angka yang bagi mereka adalah napas, bukan sekadar nominal.

Namun, tuntutan tak berhenti di situ. Kenaikan tarif penumpang roda dua dan empat menjadi gema berikutnya. Mereka juga mendesak regulasi yang jelas untuk pengantaran makanan dan barang, serta penetapan tarif bersih yang transparan.

Puncaknya, sebuah harapan besar: pemerintah harus segera menerbitkan Undang-Undang Transportasi Online Indonesia. Ini bukan sekadar permintaan, tapi sebuah deklarasi bahwa mereka adalah pekerja yang layak dilindungi.

“Ini bentuk keprihatinan kami yang mendalam,” seru Tirto Achmad, Ketua Dewan Presidium Frontal Jatim, suaranya lantang dari atas mobil komando yang membelah kerumunan.

“Kami tidak hanya menuntut keadilan, tapi kami perlu keberpihakan dari pemerintah terhadap nasib pengemudi online yang sudah terlalu lama diabaikan!” Teriakan itu disambut gemuruh massa, seolah memecah kebuntuan yang selama ini mereka rasakan.

Perjalanan mereka menyisir titik-titik vital. Kantor Dinas Perhubungan (Dishub) Jatim, Kantor Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Jatim, hingga Mapolda Jatim menjadi saksi bisu orasi-orasi yang membakar semangat. Di depan Kantor Diskominfo Jatim, emosi sempat memuncak. Asap hitam dari ban yang dibakar mengepul, mengirim sinyal bahwa kesabaran mereka ada batasnya.

Di tengah kepulan asap itulah, sebuah dialog terjadi. Kabid Aptika Diskominfo Jatim, Gugik A Wicaksono, menemui massa.

“Kami siap mendukung upaya pembuatan regulasi yang lebih adil,” ujarnya dari atas mobil komando, bahkan melontarkan ide perlunya aplikasi transportasi lokal yang dikelola pemerintah daerah. Sebuah janji yang disambut tepuk tangan, meski masih menyisakan tanya akan realisasinya.

Panas terik tak menyurutkan langkah. Selepas tengah hari, sasaran berikutnya adalah “rumah” para aplikator. Di depan Kantor Gojek, Jalan Ngagel, Koordinator Regional Gojek Jatim, Sarwo Adi, menemui mereka.

“Kami menerima segala perjuangan rekan-rekan. Mari kita sama-sama hormati proses audiensi yang sedang berjalan,” ujarnya, merujuk pada pertemuan yang telah dijadwalkan.

Namun, pemandangan berbeda tersaji di Kantor Grab, Jalan Ketabang Kali. Pintu seolah tertutup rapat. Tak ada perwakilan perusahaan yang terlihat menemui gelombang massa yang datang. Kecewa? Mungkin. Tapi semangat tak padam.

Pukul 12.30 WIB, konvoi raksasa itu bergerak menuju titik akhir, tujuan utama hari itu: Kantor Gubernur Jawa Timur di Jalan Pahlawan. Di sanalah, sebuah audiensi krusial antara perwakilan driver, aplikator, dan Pemprov Jatim dijadwalkan.

Nasib tuntutan mereka, harapan akan perubahan, kini bergantung pada apa yang terjadi di balik dinding kantor gubernuran. Surabaya, yang seharian menjadi saksi bisu teriakan mereka, kini menanti hasil dari perjuangan panjang di hari yang membara itu.

Exit mobile version