Di sebuah ladang ubi Deli Serdang, pencurian sepele berakhir dengan tragedi. Peri Andika (18) dibakar hidup-hidup oleh oknum ASN. Sebuah kisah kelam tentang keadilan yang tersesat dan harga getir yang harus dibayar seorang remaja.
INDONESIAONLINE – Bukan panas matahari Deli Serdang yang memanggang kulit Peri Andika pagi itu. Rabu, 6 Agustus 2025, menjelang fajar menyingsing, udara masih menyimpan embun. Namun, panas yang lain, panas yang lahir dari amarah dan bensin, menjilat wajah, dada, dan kedua tangan remaja 18 tahun itu.
Harga yang harus ia bayar untuk dua karung ubi curian ternyata bukan kurungan penjara, melainkan api yang melahap kulitnya.
Di Desa Bandar Klippa, sebuah ladang ubi menjadi panggung bisu sebuah drama keadilan yang salah arah. Peri dan rekannya, Zepri Susanto (45), tertangkap basah. Niat awal untuk menyelesaikan masalah secara kekeluargaan, seperti yang diusulkan kepala dusun, justru bermuara pada petaka yang akan membekas seumur hidup di tubuh dan jiwa Peri.
Dari Mediasi Menuju Petaka
Siang itu, sekitar pukul 12.00 WIB, Peri datang bersama orang tuanya. Zepri pun hadir bersama sang istri. Mereka datang dengan kepala tertunduk, siap menebus kesalahan dengan permohonan maaf di hadapan pengelola ladang, AMR. Namun, harapan akan sebuah damai pupus seketika. Pukulan demi pukulan mendarat di tubuh mereka.
Suasana semakin mencekam saat HR, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN), dan Bripka EH, anggota Brimob berseragam dinas, tiba di lokasi. Alih-alih mendinginkan suasana, mereka justru ikut melayangkan pukulan.
Puncaknya adalah ketika HR, dengan dingin, menyiramkan bahan bakar dari botol air mineral ke sekujur tubuh Peri dan Zepri. Ancaman menjadi kenyataan.
“Itu lah saya diseret ke gubuk dekat warung itu,” kenang Peri dengan suara bergetar.
“Di situ wajah saya disepak baru dibakar. Saya langsung buka pakaian dan dia (HR) yang pijak-pijak baju saya untuk memadamkan api,” lanjutnya.
Sebuah ironi yang mengerikan: pelaku pembakaran menjadi pemadam api, setelah meninggalkan luka yang tak akan mudah padam.
Di tengah kobaran api tuduhan, pihak berwenang mencoba memilah peran. Kombes Rantau Isnur Eka, Dansat Brimob Polda Sumut, menegaskan bahwa anggotanya, Bripka EH, tidak terlibat dalam aksi pembakaran. Menurutnya, EH berada di markas untuk apel saat insiden puncak itu terjadi.
Namun, pengakuan lain terucap. EH memang sempat “menempeleng” Zepri. Alasannya? Emosi sesaat. “EH kesal karena melihat Z (Zepri) melakukan pencurian lagi,” jelas Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Ferry Walintukan.
Zepri, rupanya, pernah mencuri ban mobil milik EH. Dendam pribadi berkelindan dengan amuk massa.
Kini, polisi telah menetapkan dua tersangka: HR, oknum ASN yang menyulut api, dan AMR, pengelola ladang yang turut mengancam dengan senjata api. Keduanya mendekam di sel Polsek Medan Tembung, sementara asal-usul senjata api itu masih menjadi misteri yang diselidiki.
Surat Damai yang Terbakar Janji
Arianto, Kepala Dusun I, menjadi saksi bagaimana niat baiknya untuk mediasi berujung tragedi. Ia tiba di lokasi saat situasi sudah panas. Di telinganya, ucapan HR terdengar begitu pongah dan mengerikan.
“Namanya nyuri ya harus dibakar,” kata Arianto, menirukan perkataan HR saat itu.
Protes dari Arianto dan warga tak digubris. Namun, setelah api padam dan kulit Peri melepuh, sebuah surat perjanjian damai dibuat.
HR berjanji akan menanggung seluruh biaya pengobatan Peri hingga sembuh total. Namun, janji itu hangus secepat bensin yang disiramkannya. Peri dipulangkan dari rumah sakit dalam kondisi belum pulih. Janji yang diingkari inilah yang mendorong keluarga untuk menempuh jalur hukum.
Kini, Peri terbaring di rumah keluarganya. Tukang bangunan itu tak lagi bisa menggenggam alat kerjanya. Wajah, dada, dan tangannya adalah peta penderitaan. Setiap helaan napasnya adalah pengingat akan api yang hampir merenggut nyawanya.
Harapannya sederhana, selugu kesalahannya mencuri ubi. “Ya harapannya, pelaku dapat dihukum sesuai dengan aturan yang ada,” ujarnya lirih.
Di wajah Peri yang melepuh, tergambar potret keadilan yang turut terbakar. Sebuah potret buram di mana harga dua karung ubi jauh lebih mahal daripada kemanusiaan, dan di mana seragam aparat serta status abdi negara tak mampu mencegah hukum rimba mengambil alih.