Terkuak! Dana Gelap di Balik Provokasi Digital

Terkuak! Dana Gelap di Balik Provokasi Digital
Ilustrasi aliran dana yang disebut Komdigi untuk mendanai aksi demo rusuh beberapa hari lalu (ai/io)

Menteri Komdigi Meutya Hafid mengungkap aliran dana signifikan di balik konten provokatif online, dari ajakan penjarahan hingga isu SARA.

INDONESIAONLINE – Di era digital yang serba cepat, informasi bergerak layaknya gelombang tsunami, mampu menenggelamkan kebenaran dan menggiring opini publik ke arah yang berbahaya. Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid, melalui akun Instagram resminya @meutya_hafid pada Senin (1/9/2025), membongkar fenomena yang meresahkan: adanya indikasi aliran dana dalam jumlah besar yang secara sistematis membiayai penyebaran konten provokatif di platform digital Indonesia.

Dana ini terpantau terkait erat dengan ajakan penjarahan, penyerangan, hingga isu-isu sensitif berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), yang memicu eskalasi demonstrasi di berbagai kota.

“Kami menemukan adanya informasi keliru yang disebarkan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, dengan kecepatan penyebaran yang sangat tinggi, mirip banjir bandang yang menenggelamkan informasi yang benar,” ungkap Meutya, menyoroti urgensi situasi ini.

Modus Operandi: Dari Live Streaming Anarkisme hingga Dana Hadiah Tak Wajar

Pengungkapan Meutya Hafid bukan sekadar peringatan biasa. Ia merinci modus operandi yang terorganisir di balik fenomena ini. Komdigi mencatat lonjakan laporan masyarakat terkait provokasi di ruang digital, yang bukan hanya mencakup penyebaran isu SARA, melainkan juga ajakan eksplisit untuk tindakan anarkis.

1. Monetisasi Konten Kekerasan dan Anarkisme

Salah satu temuan paling mengejutkan adalah monetisasi konten kekerasan dan anarkisme. Meutya menjelaskan, konten kekerasan dan anarkisme disiarkan secara langsung (live streaming) dan dimonetisasi lewat fitur donasi maupun gifts bernilai besar.

“Beberapa akun yang terlibat terhubung dengan jaringan judi online. Ini mengindikasikan adanya skema keuntungan finansial langsung dari penyebaran kekerasan, mirip model bisnis dalam kejahatan terorganisir,” ucapnya.

2. Kampanye Provokasi Maraton dan Insentif Tidak Wajar

Selain itu, Meutya mengidentifikasi upaya terorganisir untuk memanfaatkan media sosial sebagai sarana provokasi massa. Akun-akun tertentu terpantau menayangkan konten provokatif secara maraton dan menerima insentif dengan jumlah yang tidak wajar.

Ini menunjukkan adanya “operator” atau koordinator yang secara aktif menggerakkan kelompok-kelompok tertentu menuju titik-titik demonstrasi, lalu membiayai aktivitas mereka melalui platform digital.

“Pemerintah mencatat adanya kelompok yang sengaja digerakkan melalui media sosial, menuju titik-titik tertentu, menayangkan konten secara maraton, dan menerima insentif dalam jumlah tidak wajar,” tegas Meutya.

Aliran dana gelap di balik provokasi digital ini bukan hanya menciptakan kekacauan di jalanan, tetapi juga merusak fondasi demokrasi digital.

Pencemaran Ruang Digital: Konten provokatif dan disinformasi menggeser ruang digital dari wadah produktif menjadi medan perang narasi yang destruktif. Aktivitas bermanfaat seperti pembelajaran, UMKM, dan diskusi konstruktif tergerus oleh “banjir bandang” informasi palsu.

Ancaman terhadap Persatuan Bangsa: Isu SARA yang sengaja disebarkan memiliki potensi memecah belah masyarakat, mengancam harmoni sosial dan persatuan bangsa. Data dari lembaga riset seperti Hootsuite dan We Are Social (2024) menunjukkan rata-rata pengguna internet di Indonesia menghabiskan lebih dari 8 jam sehari online. Tingginya penetrasi digital ini menjadi lahan subur bagi penyebaran informasi yang tidak bertanggung jawab.

Manipulasi Opini Publik: Dengan dana yang besar, provokator dapat memanipulasi algoritma media sosial, membuat konten mereka menjangkau audiens lebih luas, dan membentuk opini publik sesuai agenda tersembunyi.

Hubungan dengan Kejahatan Siber: Keterkaitan dengan jaringan judi online menunjukkan adanya simbiosis antara kejahatan finansial dan agenda provokasi. Hal ini memperumit upaya penegakan hukum dan keamanan siber.

Data Pendukung dan Konteks Lebih Luas

Fenomena ini bukanlah hal baru. Berbagai studi telah menunjukkan tren peningkatan disinformasi dan campur tangan asing dalam urusan domestik melalui media sosial.

Laporan Komdigi menyatakan, data internal pihaknya menunjukkan bahwa dalam setahun terakhir, jumlah aduan terkait konten negatif, termasuk hoaks dan provokasi, meningkat signifikan.

Sedangkan Survei Literasi Digital juga mencatat, Indeks Literasi Digital Nasional yang dirilis Kementerian Kominfo bekerja sama dengan Katadata Insight Center pada tahun 2023 menunjukkan bahwa meskipun penetrasi internet tinggi, tingkat kecakapan digital (digital skills) dan etika digital (digital ethics) masyarakat masih perlu ditingkatkan. Hanya 3.54 dari skala 5 untuk etika digital, menandakan kerentanan terhadap provokasi.

Laporan lain dari Council on Foreign Relations (2024) menyoroti bagaimana aktor negara dan non-negara menggunakan platform digital untuk menyebarkan disinformasi, memecah belah masyarakat, dan mengganggu stabilitas politik di berbagai negara, termasuk monetisasi konten melalui skema “click-farming” atau donasi.

Meskipun menghadapi tantangan ini, pemerintah tetap menghormati hak masyarakat untuk menyampaikan aspirasi secara tertib. Namun, Meutya Hafid menekankan pentingnya kewaspadaan publik.

“Kami mengimbau masyarakat untuk tetap berhati-hati. Jangan mudah terpancing provokasi, jangan ikut menyebarkan informasi yang belum terverifikasi, dan biasakan melakukan pengecekan silang. Gunakan sumber terpercaya, termasuk media yang berpegang pada kode etik jurnalistik,” pesannya.

Membangun Ruang Digital yang Sehat: Tanggung Jawab Bersama

Pengungkapan Meutya Hafid menjadi pengingat keras bahwa ruang digital bukanlah zona tanpa hukum. Pergerakan dana gelap dan eksploitasi fitur monetisasi untuk tujuan provokatif adalah ancaman nyata yang harus ditangani secara serius.

Sebagai masyarakat, literasi digital menjadi benteng pertahanan utama. Kemampuan memilah informasi, memverifikasi sumber, dan menahan diri dari penyebaran konten yang meragukan adalah kunci.

Sementara itu, pemerintah melalui Komdigi terus berupaya memperkuat regulasi, meningkatkan patroli siber, dan bekerja sama dengan platform digital untuk memblokir akun-akun yang terbukti menyebarkan provokasi.

“Ruang digital adalah milik kita bersama. Mari kita jaga agar tetap sehat, aman, dan tidak diperalat untuk kepentingan pihak-pihak yang ingin memecah belah,” pungkas Meutya Hafid.