Teror Fajar di Niger: Ratusan Siswa St. Mary Raib Disandera Bandit

Teror Fajar di Niger: Ratusan Siswa St. Mary Raib Disandera Bandit
Ilustrasi penculikan ratusan siswa dan guru di Sekolah St. Mary, Niger, Nigeria (io)

Serangan brutal di Sekolah St. Mary, Niger, mengungkap pola teror bandit yang menculik ratusan siswa demi tebusan. Analisis mendalam mengenai kegagalan intelijen, ekonomi penculikan, dan pertaruhan politik Presiden Bola Tinubu di tengah krisis keamanan Nigeria.

INDONESIAONLINE – Keheningan pukul satu dini hari di Papiri, sebuah wilayah sunyi di Agwara, Negara Bagian Niger, pecah oleh rentetan tembakan yang mengubah institusi pendidikan menjadi ladang teror. Jumat itu, fajar belum menyingsing ketika mimpi buruk paling kelam bagi setiap orang tua di Nigeria kembali terulang dalam skala yang mengerikan.

Bukan lagi sekadar insiden sporadis, penyerbuan terhadap Sekolah Katolik St. Mary menandai eskalasi drastis dalam krisis keamanan Nigeria. Lebih dari 200 siswa—anak-anak yang seharusnya aman di asrama mereka—diseret paksa ke dalam kegelapan hutan oleh gerombolan bersenjata, meninggalkan trauma mendalam dan pertanyaan besar tentang efektivitas negara dalam melindungi warganya.

Malam Jahanam di St. Mary

Kompleks Sekolah St. Mary bukanlah target kecil. Dengan lebih dari 50 bangunan yang membentang dari sekolah dasar hingga menengah berasrama, area ini seharusnya memiliki protokol keamanan.

Namun, antara pukul 01.00 hingga 03.00 pagi, pertahanan itu runtuh total. Pasukan keamanan baru menerima sinyal bahaya pada pukul 02.00, saat para penyerang telah berhasil melumpuhkan penjaga sekolah dengan tembakan fatal dan mulai mengumpulkan “barang dagangan” mereka: manusia.

Asosiasi Kristen Nigeria (CAN) merilis angka yang membuat siapapun menahan napas: 227 orang hilang. Angka ini terdiri dari 215 siswa belia dan 12 guru yang berdedikasi.

Daniel Atori, juru bicara CAN di Negara Bagian Niger, menggambarkan suasana pasca-kejadian sebagai “pemandangan keputusasaan.” Ia menemui orang tua yang histeris, yang baru saja mengantar anak-anak mereka kembali ke sekolah dengan harapan masa depan, hanya untuk mendapati ranjang-ranjang asrama yang kosong dan berantakan.

Tragedi Dauda dan Wajah Kemanusiaan yang Hilang

Di balik angka statistik ratusan korban, terdapat kisah individu yang hancur. Dauda Chekula, pria berusia 62 tahun, berdiri termangu di tengah kekacauan. Baginya, insiden ini bukan sekadar berita nasional, melainkan kiamat kecil bagi keluarganya.

Empat cucunya, yang masih berusia antara tujuh hingga sepuluh tahun—usia di mana mereka seharusnya bermain dan belajar mengeja—kini berada di tangan bandit di antah berantah.

“Kami tidak tahu apa yang terjadi sekarang,” ujar Dauda dengan suara bergetar, merefleksikan ketidakpastian yang mencekik.

Informasi yang ia terima hanyalah bahwa cucu-cucunya digiring seperti ternak menembus semak belukar, menjauh dari peradaban. Kesaksian Dauda mewakili ratusan keluarga lain yang kini hidup dalam ketidakpastian, menunggu telepon dari penculik yang biasanya menuntut tebusan tak masuk akal.

Kegagalan Intelijen: Tragedi yang Bisa Dihindari?

Aspek paling tragis dari penculikan massal ini adalah fakta bahwa hal itu seharusnya bisa dicegah. Investigasi awal menunjukkan adanya kelalaian fatal dalam merespons intelijen. Pemerintah Negara Bagian Niger, melalui Sekretaris Abubakar Usman, mengungkapkan fakta yang menyakitkan: intelijen keamanan sebenarnya telah mendeteksi adanya ancaman serangan di wilayah tersebut.

Namun, sebuah keputusan fatal diambil. Sekolah St. Mary dibuka kembali awal pekan ini tanpa izin eksplisit atau perlindungan tambahan dari otoritas Nigeria.

“Ini menempatkan siswa dan staf pada risiko yang sebenarnya dapat dihindari,” tegas Usman.

Pernyataan ini menyoroti kesenjangan komunikasi yang berbahaya antara aparat keamanan dan institusi pendidikan, sebuah celah yang dimanfaatkan dengan sempurna oleh para bandit.

Pola ini mempertegas laporan Al Jazeera yang menyebut adanya “cetak biru” serangan di barat laut dan tengah Nigeria. Hanya beberapa hari sebelumnya, 25 siswi diculik di Negara Bagian Kebbi. Wilayah perbatasan antara Niger, Kebbi, dan Kwara kini telah berubah menjadi “segitiga bermuda” bagi keamanan sipil, di mana sekolah dan gereja menjadi target empuk.

Ekonomi Penculikan: Ketika Manusia Dihargai Naira

Berbeda dengan narasi pemberontakan ideologis murni seperti Boko Haram di masa lalu, gelombang serangan terbaru ini menunjukkan evolusi motif yang menakutkan: komersialisasi sandera.

Kelompok bersenjata yang secara lokal disebut sebagai “bandit” ini beroperasi dengan motif ekonomi yang kental, meski taktik mereka semakin brutal menyerupai teroris.

Sekolah pedesaan yang minim penjagaan adalah “bank” bagi mereka. Laporan mengenai tuntutan tebusan sebesar 100 juta naira per kepala untuk korban penculikan di gereja Negara Bagian Kwara beberapa hari sebelumnya menunjukkan betapa menguntungkannya bisnis ilegal ini.

Mereka tidak lagi memandang korban berdasarkan agama semata, melainkan berdasarkan nilai tebusan. Meskipun mantan Presiden AS Donald Trump sempat mempolitisasi isu ini dengan narasi persekusi Kristen, realitas di lapangan menunjukkan bahwa umat Muslim juga menjadi mayoritas korban dalam kekacauan hukum ini, membuktikan bahwa bandit tidak memilah agama saat mencari profit.

Tekanan Politik di Pundak Tinubu

Insiden di St. Mary bukan sekadar masalah keamanan, ini telah bermetamorfosis menjadi krisis politik bagi Presiden Bola Tinubu. Lonjakan serangan ini menjadi tamparan keras bagi pemerintahannya yang berjanji memulihkan ketertiban. Dampaknya langsung terasa di panggung internasional; Kepresidenan Nigeria mengumumkan pembatalan perjalanan Tinubu ke KTT G20 di Afrika Selatan.

Keputusan untuk tetap berada di dalam negeri mengindikasikan betapa gentingnya situasi. Tinubu kini berada di bawah mikroskop publik. Apakah ia mampu memobilisasi militer untuk tidak hanya “menyisir hutan” tetapi membongkar jaringan sindikat penculikan ini hingga ke akarnya?

Atau apakah Nigeria akan terus terjebak dalam siklus pembayaran tebusan yang justru membiayai persenjataan para bandit untuk serangan berikutnya?

Saat matahari terbenam di Agwara, ratusan orang tua masih menanti di gerbang sekolah yang kini sepi, berharap anak-anak mereka tidak menjadi sekadar statistik dalam sejarah kelam kekerasan di Nigeria. Bagi mereka, dan bagi Dauda Chekula, setiap detik adalah siksaan, dan diamnya pemerintah adalah suara yang paling menakutkan.