Beranda

Tombak Kiai Upas: Benteng Pelindung Tulungagung

Tombak Kiai Upas: Benteng Pelindung Tulungagung
Tombak Kiai Upas: Benteng Pelindung Tulungagung

INDONESIAONLINE – Kesaktian tombak Kiai Upas tak pernah surut diperbincangkan. Bahkan di saat era modern hingga saat ini, khususnya di Kabupaten Tulungagung.

Hal ini tentunya tak lepas dari sejarah tombak Kiai Upas itu sendiri dengan sejarah Kabupaten Tulungaagung. Di mana, tombak pusaka yang dibawa oleh RMT Pringgodiningrat Bupati Ngrowo (1824-1830) disebut sebagai benteng pelindung Kabupaten Tulungagung, dulu hingga kini.

Konon diceritakan, Tombak Kiai Upas berhasil menyelamatkan Kabupaten Tulungagung dari serangan penjajah Belanda. Bahkan tentara Belanda dibuat kerepotan dan tidak bisa memasuki Kabupaten Tulungagung.

Catatan sejarah lainnya menyebutkan, 1942 Kabupaten Tulungagung tertimpa bahaya banjir yang luar biasa. Pada waktu itu pusaka Tombak Kiai Upas tidak berada di Tulungagung lantaran dibawa ke Surabaya untuk pengayoman dengan tujuan bilamana tentara hingga masuk ke kota Surabaya janganlah sampai timbul pertumpahan darah dan keadaannya lekas menjadi aman.

Banjir tak kunjung surut, Timbullah suatu rabaan dari P.A Sosrodiningrat untuk menangani banjir di Tulungagung. P.A Sosrodiningrat segera pergi ke Surabaya untuk mengambil pusaka Tombak Kiai Upas. Pusaka itu ditaruhnya di dalam mobil, namun mengingat penjangnya landean terpaksa sampai mengorbankan memecah kaca mobil bagian depan dan belakang.

Sasmito yang diterima P.A Sosrodiningrat benar-benar terjadi, setelah pusaka kembali ke Tulungagung, banjirpun berangsur-angsur surut.

Sejarah Tombak Kiai Upas

Di zaman kekuasaan Kesultanan Yogyakarta, di daerah yang saat ini dikenal dengan nama Tulungagung ada dua kabupaten yakni Ngrowo dan Kalangbret. Dua daerah ini kemudian digabung menjadi satu setelah lepas dari wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta dan masuk dalam wilayah pemerintah Hindia Belanda.

Kabupaten baru gabungan Ngrowo dan Kalangbret itu resmi berdiri 1901 dan diberi nama Tulungagung.

Saat Pringgodiningrat diangkat sebagai Bupati Ngrowo pada 1824, dirinya membawa pusaka Tombak Kiai Upas dari Mataram ke daerah Ngrowo tempat dia berkuasa. Di samping pusaka itu ada kelengkapannya yang dalam istilah Jawa disebut “pangiring” berwujud 1 pragi gamelan pelok slendro yang diberi nama “Kiai Jinggo Pengasih” beserta 1 kotak wayang purwo lengkap dengan kelirnya.

Jamasan Tombak Kiai Upas di Tulungagung

Kiai Upas adalah sebuah pusaka berbentuk tombak dengan panjang bilah sekitar 35 cm dengan ditopang landhean (kayu pegangannya) sepanjang 4 meter. Pada bilah bagian bawah terdapat hiasan berbentuk huruf Arab dengan lafal Allah dan Muhammad.

Legenda tombak Pusaka Kanjeng Kiai Upas berawal pada akhir pemerintahan Kerajaan Majapahit. Setelah Majapahit runtuh, banyak punggawa kerajaan yang keluar dari pusat pemerintahan Majapahit, salah satunya Ki Wonoboyo yang membuka hutan di dekat Rawa Pening Ambarawa atau Ambahrawa.

Pada suatu hari Ki Wonoboyo bermaksud mengadakan acara bersih desa. Banyak juru masak dan warga yang membantu dalam kegiatan tersebut. Ada salah satu juru masak perempuan yang menghadap Ki Wonoboyo dengan maksud untuk meminjam pisau. Ki Wonoboyo tidak berkeberatan untuk meminjamkan pisaunya dengan pesan agar tidak diletakkan di pangkuannya.

Sudah takdir Sang Kuasa, perempuan juru masak tadi lupa akan pesan Ki Wonoboyo hingga meletakkan pisau tersebut di pangkuannya. Saat itulah terjadi kejaiban, pisau yang diletakkan di atas pangkuannya hilang dan masuk ke dalam perut perempuan itu hingga kemudian menyebabkan hamil.

Mengetahui kejadian tersebut, Ki Wonoboyo dalam hati merasa sedih dan malu karena juru masak tersebut hamil tanpa ada suami. Untuk mengurangi rasa sedih dan malu itu, akhirnya Ki Wonoboyo melakukan semedi di Puncak Gunung Merapi. Sampai akhirnya waktu kelahiran tiba, namun yang lahir bukan bayi manusia, melainkan seekor ular yang selanjutnya diberi nama Baru Klinthing.

Hari terus berjalan dan Baru Klinthing tumbuh menjadi dewasa, hingga ingin menyusul ayahnya (Ki Wonoboyo, sesuai pesan beliau sebelum meninggalkan desa, jika anak juru masak nantinya menanyakan siapa ayahnya maka agar menyuruhnya untuk mencari Ki Wonoboyo di puncak Merapi dengan membawa lidi dari Ki Wonoboyo sebagai tandanya).

Dalam perjalanannya, lidi tersebut hilang dan sampai akhirnya Baru Klinthing bertemu dengan Ki Wonoboyo di puncak Merapi. Karena Baru Klinthing tidak bisa menunjukkan lidi peninggalan Ki Wonoboyo, maka Ki Wonoboyo tidak mau mengakui Baru Klinthing. Namun Baru Klinthing tetap memaksa dan memohon untuk  diakui sebagai putranya.

Akhirnya Ki Wonoboyo mau mengakui Baru Klinthing sebagai anaknya dengan syarat Baru Klinthing harus bisa melingkari puncak Merapi. Berkali-kali Baru Klinthing berusaha, namun tetap saja kurang sedikit. Akhirnya Baru Klinthing menyiasati dengan menjulurkan lidahnya. Mengetahui hal tersebut Ki Wonoboyo lantas memutus lidah Baru Klinthing dan seketika lidahnya jatuh ke tanah dan berubah menjadi Pusaka Tombak.

Baru Klinthing kemudian melarikan diri dan terjun ke laut Selatan. Keajaiban kembali terjadi, begitu Baru Klinthing terjun ke laut, hilang musnah bentuknya lalu muncullah sebatang kayu yang langsung dipakai oleh Ki Wonoboyo untuk tempat tombak yang kemudian diberi nama Tombak Kanjeng Kiai Upas.

Setelah Ki Wonoboyo wafat, pusaka Tombak Kanjeng Kiai Upas diwariskan kepada putranya yang bernama Ki Ageng Mangir. Merasa memiliki pusaka yang ampuh, dia tidak mau tunduk kepada pemerintahan Kasultanan Mataram yang dipimpin Panembahan Senopati.

Tak hilang akal, Panembahan Senopati kemudian memerintahkan Putri Pembayun yang tak lain putri sulungnya untuk mencari kelemahan Ki Ageng Mangir dengan menjadi penari keliling.

Skenario Panembahan Senopati berjalan sesuai rencana, Ki Ageng Mangir jatuh cinta kepada Putri Pembayun dan akhirnya menikah. Meski sudah sah menjadi isteri Ki Ageng Mangir, Putri Pembayun tetap ingat akan tugasnya. Ia berhasil membawa Ki Ageng Mangir untuk menghadap Raja Mataram Panembahan Senopati yang tak lain adalah mertuanya.

Ki Ageng Mangir dengan hati was-was datang ke Karaton Mataram di Kotagede dengan membawa pusaka Tombak Kiai Upas. Namun karena menghadap raja, maka pusaka tidak boleh dibawa masuk keraton. Saat Ki Ageng Mangir sungkem di hadapan Raja Mataram, Panembahan Senopati langsung membenturkan kepala Ki Ageng Mangir pada dhampar raja yang terbuat dari batu hingga meninggal dunia.

Setelah Ki Ageng Mangir meninggal dunia, pusaka Tombak Kiai Upas disimpan di Karaton Mataram. Namun, keberadaan pusaka tersebut rupanya membawa bencana dan musibah di kerajaan Mataram. Untuk membuang sial, pusaka tersebut dikemudian hari diserahkan kepada salah satu putra Mataram yang menjadi bupati di Kabupaten Ngrowo, Jawa Timur (ar/dnv),

Exit mobile version