Polres Karawang memburu pemuda D (25) atas dugaan pemerkosaan terhadap nenek R (76) di Cibuaya. Kasus viral ini menyoroti urgensi perlindungan lansia dan penerapan UU TPKS.
INDONESIAONLINE – Di usianya yang telah senja, R (76) seharusnya menikmati masa tua dengan tenang di Dusun Krajan, Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang. Namun, ketenangan itu terenggut paksa pada malam Jumat, 28 November 2025.
Seorang pemuda berinisial D (25), yang tak lain adalah tetangganya sendiri, diduga tega melakukan tindakan asusila yang mencederai rasa kemanusiaan.
Kasus ini bukan sekadar statistik kriminal biasa. Ini adalah alarm keras mengenai kerentanan kaum lanjut usia (lansia) terhadap kekerasan seksual di lingkungan terdekat mereka.
Viral Membuka Tabir
Sebelum laporan resmi mendarat di meja kepolisian, jeritan ketidakadilan ini lebih dulu menggema di ruang maya. Sebuah video berdurasi 60 detik beredar luas, merekam momen ketika aparat desa dan kepolisian mendatangi kediaman R. Dalam rekaman yang menyayat hati itu, R dengan suara parau mengaku telah dipaksa.
Viralnya video tersebut menjadi pemantik. Keluarga korban akhirnya memberanikan diri membuat laporan resmi ke Polres Karawang pada Jumat, 5 Desember 2025, sepekan setelah kejadian pilu itu berlangsung.
Keterlambatan pelaporan ini mencerminkan fenomena gunung es dalam kasus kekerasan seksual, di mana korban atau keluarga seringkali membutuhkan waktu—atau dorongan publik—untuk menempuh jalur hukum.
Pengejaran dan Pendekatan Psikologis
Kasie Humas Polres Karawang, Inspektur Dua Cep Wildan, menegaskan bahwa pihaknya kini bergerak cepat. Tim Satreskrim tidak hanya fokus memburu D yang melarikan diri, tetapi juga memprioritaskan pemulihan R.
“Saat ini, Satreskrim Polres Karawang sedang melakukan pendalaman, mengumpulkan keterangan saksi, dan melakukan pemeriksaan medis terhadap korban,” ujar Wildan.
Namun, tantangan terbesar bukan hanya pada penegakan hukum, melainkan pada pemulihan trauma. Mengingat usia korban yang hampir menyentuh delapan dekade, dampak psikologis dari kekerasan seksual bisa sangat fatal.
“Kami berkoordinasi dengan pihak layanan kesehatan, psikolog, dan unit perlindungan perempuan dan anak (PPA), mengingat kondisi korban yang sudah lanjut usia. Pendampingan psikologis menjadi prioritas utama selain aspek hukum,” tambahnya.
Jerat Hukum dan Kerentanan Lansia
Kasus yang menimpa R menambah daftar panjang kekerasan terhadap kelompok rentan. Berdasarkan data dari Komnas Perempuan (sebagai referensi umum data kekerasan), lansia seringkali menjadi target karena ketidakberdayaan fisik dan isolasi sosial.
Dalam konteks hukum, tindakan yang dilakukan pelaku D, jika terbukti, akan berhadapan dengan pasal berlapis. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), kekerasan seksual terhadap kelompok rentan (termasuk lansia dan penyandang disabilitas) merupakan faktor pemberat pidana.
Pasal 15 ayat (1) huruf h UU TPKS menyebutkan bahwa pidana ditambah 1/3 (satu per tiga) jika dilakukan terhadap korban penyandang disabilitas atau anak, namun dalam yurisprudensi, kerentanan lansia seringkali disetarakan dalam tuntutan jaksa karena ketidakmampuan membela diri.
Kini, masyarakat Karawang menanti kinerja kepolisian untuk segera membekuk D. Penangkapan pelaku bukan hanya soal hukuman, melainkan pesan tegas negara: bahwa tidak ada ruang bagi predator seksual, bahkan di sudut desa yang sunyi sekalipun.
