INDONESIAONLINE – Jakarta tempo dulu memiliki berbagai kisah unik sekaligus kontroversi. Salah satunya kisah mengenai Oey Tambah Sia. Tokoh yang meninggalkan jejak mencolok dalam sejarah Batavia (sekarang Jakarta) pada abad ke-19.
Terlahir dalam kekayaan berlimpah membuat Oey Tambah Sia menghabiskan hidupnya dalam gaya hidup glamor yang diwarnai oleh skandal dan kontroversi. Salah satunya kebiasaanya membersihkan (cebok) kotoran BAB-nya dengan uang kertas. Setelahnya uang kertas yang dipakai untuk cebok tersebut jadi rebutan orang-orang miskin di sekitarnya.
Sejarah Oey Tambah Sia
Oey Tambah Sia lahir pada tahun 1827 dan mewarisi kekayaan besar dari ayahnya, Oei Thoa. Oei Thoa adalah seorang pengusaha tembakau sukses yang juga dikenal sebagai pemilik toko kelontong terbesar di Batavia pada tahun 1830-an.
Dianggap sebagai pribadi yang dermawan, Oei Thoa sering memberikan sedekah kepada orang-orang miskin di sekitarnya. Sikapnya berbeda jauh dengan anaknya Oey Tambah Sia yang memilih memanfaatkan harta yang diwarisinya dengan cara yang flamboyan dan sering kali kontroversial. Dia dikenal karena kebiasaannya dalam berjudi, sabung ayam, dan penggunaan narkoba.
Salah satu kebiasaan paling mencolok dari Oey Tambah Sia adalah gaya hidupnya yang penuh dengan tindakan ekstrem. Sebagai contoh, ada cerita terkenal bahwa dia menggunakan uang kertas untuk membersihkan diri setelah buang air di pinggir kali. Uang kertas tersebut kemudian diambil oleh orang-orang miskin, menjadi simbol dari kemewahan dan keangkuhannya yang tidak peduli terhadap orang lain.
Selain itu, Oey Tambah Sia dikenal sebagai seorang playboy yang sering gonta-ganti pasangan. Dengan penampilannya yang tampan dan gaya hidupnya yang fashionable, ia mudah mendapatkan perhatian wanita.
Ia memiliki bungalow di kawasan Ancol sebagai tempat beristirahat bersama wanita-wanita yang ditemuinya. Jika tidak berhasil menemukan wanita yang diinginkannya, Tambah akan meminta bantuan germo atau bahkan memaksa wanita untuk bersamanya.
Namun, kehidupan glamour Oey Tambah Sia tidak bertahan lama. Skandal besar terjadi ketika dia terlibat dalam kasus pembunuhan.
Cerita dimulai ketika Oey Tambah Sia jatuh cinta pada Mas Ajeng Gunjing, seorang pesinden. Setelah membawa Ajeng ke Jakarta, dia jatuh sakit dan dibawa ke rumah Tambah di Tangerang.
Mas Ajeng dikunjungi oleh saudaranya, Mas Sutejo, dan hubungan mereka yang akrab membuat Tambah cemburu. Dalam kemarahan dan cemburunya, Tambah memerintahkan anak buahnya untuk membunuh Sutejo.
Setelah membunuh Sutejo, Tambah juga membunuh anak buahnya untuk menutupi jejaknya dan menuduh pesaingnya, Liem Soe King, sebagai pelaku.
Namun, tindakan licik Tambah tercium oleh pihak kepolisian yang telah lama mengawasi tingkah lakunya. Polisi berhasil mengumpulkan bukti dan mengungkapkan bahwa Tambah adalah pelaku sebenarnya. Pada tahun 1851, Oey Tambah Sia diadili dan dijatuhi hukuman mati.
Oey Tambah Sia dijatuhi hukuman gantung yang dilaksanakan di depan Balai Kota Jakarta, kini kawasan Kota Tua. Eksekusi ini disaksikan oleh banyak warga dan menjadi momen penting dalam sejarah sosial Batavia.
Hukuman mati ini bukan hanya menandai akhir dari kehidupan Tambah, tetapi juga menjadi pengingat bahwa kekayaan dan kekuasaan tidak dapat melindungi seseorang dari konsekuensi perbuatan buruk.