UMKM Jatisari Lawan Minimarket Waralaba

UMKM Jatisari Lawan Minimarket Waralaba
Perwakilan pedagang dan pelaku UMKM saat menyampaikan aspirasi keberatan mereka terkait pembangunan minimarket waralaba di Dusun Tambaksari, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang pada Rabu (10/9/2025) (jtn/io)

UMKM Jatisari, Kabupaten Malang geruduk kantor desa, protes pembangunan minimarket waralaba. Perizinan tak transparan, janji tak ditepati, ancam ekonomi pedagang kecil.

INDONESIAONLINE – Gelombang kekecewaan menyapu Dusun Tambaksari, Desa Jatisari, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang. Pada Rabu (10/9/2025), puluhan pedagang kecil dan pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) kembali mendatangi Kantor Desa Jatisari. Kedatangan kedua kalinya ini bukan tanpa alasan, mereka menuntut transparansi perizinan dan penghentian segera pembangunan minimarket waralaba yang dianggap sebagai ancaman nyata bagi denyut nadi ekonomi rakyat kecil di wilayah tersebut.

Aksi protes yang dipimpin Sarji, salah satu perwakilan UMKM dan pedagang kecil Dusun Tambaksari, adalah cerminan dari frustrasi yang memuncak. Mereka merasa aspirasi mereka diabaikan, bahkan setelah mediasi sebelumnya menghasilkan kesepakatan yang kemudian tak diindahkan.

“Kami menginginkan ini (pembangunan minimarket) dihentikan dan jangan sampai ada yang berdiri di sini,” tegas Sarji dengan nada bergetar, ditemui di sela-sela agenda mediasi yang entah kapan akan menemukan titik terang.

Ancaman Kapitalisme Modern vs. Ketahanan Lokal

Bagi para pedagang dan UMKM, keberadaan minimarket waralaba adalah preseden buruk. Mereka khawatir, gempuran sistem modern yang ditawarkan minimarket – mulai dari pelayanan hingga variasi produk – akan melumpuhkan toko-toko kelontong dan usaha mikro yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian keluarga mereka.

“Kami yang hadir di sini mewakili masyarakat yang menolak. Mereka itu pelaku UMKM, toko kecil. Alasannya, kalau gerai (minimarket) itu kan sistemnya sudah modern. Semuanya bisa dilakukan termasuk pelayanan. Sedangkan kami toko kecil, kami paling pembelinya dari lingkup masyarakat sekitar,” jelas Sarji, membandingkan pertarungan ekonomi yang timpang.

Jeritan hati Sarji mewakili ratusan pelaku UMKM lain yang kini merasa tak terlindungi. “Kalau nanti datang toko besar, menyerap konsumen di sini, terus kami kebagian apa? Secara otomatis jelas mengganggu perekonomian masyarakat yang ada di sekitar sini, pasti. Bagaimana desa bisa melindungi kami selaku UMKM, tapi ternyata kami tidak dilindungi?” protesnya, menyoroti ironi peran pemerintah desa.

Janji yang Menguap di Meja Mediasi

Ini bukan kali pertama warga Tambaksari menyuarakan penolakan. Mediasi sebelumnya, yang disebut Sarji berlangsung “minggu lalu”, bahkan dihadiri oleh Camat Pakisaji, Bhabinkamtibmas, Babinsa, dan perwakilan BPD. Pertemuan itu, menurut Sarji, telah menghasilkan “berita acara” kesepakatan penting: menghentikan sementara proses bangunan fisik minimarket dan segera menggelar mediasi lanjutan dengan manajemen minimarket.

“Dua hal itu yang tertuang di berita acara, tapi tidak dilaksanakan meskipun sudah satu minggu. Itu yang menjadi catatan kami sehingga kami kembali ke sini,” ungkap Sarji dengan nada kecewa.

Kenyataan pahit ini mempertebal rasa pengkhianatan di benak para pedagang. Pembangunan minimarket, yang disebut sudah berlangsung sekitar 10 hari, tetap berjalan tanpa hambatan berarti.

Ketidakpuasan para pedagang juga berakar pada proses perizinan yang dianggap cacat. Sarji mengklaim bahwa perizinan pendirian minimarket tidak melalui sosialisasi menyeluruh kepada warga setempat, terutama para pelaku UMKM yang paling terdampak.

“Secara prosedural, kami masih menanyakan perizinan tersebut, karena perizinan ini tidak melalui sosialisasi kepada warga setempat,” klaimnya.

Ia bahkan menyertakan dokumen yang menunjukkan adanya “sejumlah tanda tangan persetujuan hanya dari perwakilan warga” dan dilakukan dengan cara “dicomot-comot” atau “dicukil”.

Yang lebih mengkhawatirkan, perizinan tersebut, menurut Sarji, sudah mengantongi tanda tangan Kepala Desa (Kades) dan BPD.

“Tetapi perizinan tersebut sudah dikeluarkan oleh pemerintah desa, ada tanda tangan kades, bahkan ada dari BPD untuk mengesahkan perizinan tersebut. Sehingga kami datang ke sini itu mempertanyakan, kenapa itu bisa terjadi?” ujarnya, menuntut jawaban atas kejanggalan administratif ini.

Aspirasi Terkatung, Kades Tak Hadir

Sayangnya, dalam aksi protes kedua ini, Kepala Desa Jatisari tidak berada di tempat. Para pedagang hanya ditemui oleh Sekretaris Desa (Sekdes) Jatisari dan perwakilan BPD, yang menurut Sarji, “tidak bisa memberikan jawaban karena memang bukan kapasitasnya untuk memberikan kepastian tersebut.”

Ketiadaan kepala desa di tengah pusaran konflik ini menambah daftar panjang kekecewaan warga. Mereka merasa diombang-ambingkan oleh birokrasi yang tak responsif dan janji-janji yang tak bertuan. Mediasi masih berlanjut, namun jawaban yang dinantikan tak kunjung tiba.

“Hentikan sementara pembangunan dan segera lakukan mediasi dengan manajemen (minimarket), itu yang kami tuntut. Tapi sampai sekarang kami tidak ada jawaban,” pungkas Sarji, meninggalkan Kantor Desa Jatisari dengan pertanyaan besar yang menggantung: akankah suara UMKM dan pedagang kecil Dusun Tambaksari akhirnya didengar, ataukah mereka harus pasrah menyaksikan ekonomi lokal mereka terkikis oleh laju pembangunan yang tak berpihak?

Konflik ini menyoroti dilema pelik antara investasi, regulasi, dan keberpihakan terhadap rakyat kecil (al/dnv).