Beranda

Unsoed Jadikan PKKMB Benteng Budaya Banyumas untuk Gen Z

Unsoed Jadikan PKKMB Benteng Budaya Banyumas untuk Gen Z
Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unsoed mengambil langkah strategis. PKKMB 2025 diubah menjadi benteng kearifan lokal Banyumas untuk menanamkan jati diri pada 1.164 mahasiswa baru Gen Z (Ist/io)

Di tengah dominasi budaya global, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unsoed mengambil langkah strategis. PKKMB 2025 diubah menjadi benteng kearifan lokal Banyumas untuk menanamkan jati diri pada 1.164 mahasiswa baru Gen Z, sebuah jawaban konkret atas tantangan UU Pemajuan Kebudayaan.

INDONESIAONLINE – Di era di mana algoritma media sosial lebih sering menyajikan K-Pop dan serial Netflix ketimbang tarian lengger atau filosofi Begalan, sebuah kampus di Purwokerto memilih untuk melawan arus. Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) secara sadar mengubah momen Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) 2025 menjadi sebuah manifesto kebudayaan.

Ini bukan sekadar acara penyambutan. Bagi 1.164 mahasiswa baru yang didominasi Generasi Z, PKKMB bertema “Bumi Budaya” yang digelar pada 15-16 Agustus ini adalah suntikan identitas lokal di tengah gempuran homogenitas global.

Langkah ini menjadi krusial. Data dari GoodStats pada 2023 menunjukkan bahwa 69% Gen Z di Indonesia menggemari musik K-Pop, sementara budaya pop Barat juga mendominasi preferensi tontonan mereka. Di sisi lain, implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan masih terseok.

Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek, Hilmar Farid, dalam berbagai kesempatan mengakui tantangan terbesar adalah menerjemahkan mandat UU ke dalam aksi nyata di akar rumput.

FIB Unsoed, tampaknya, tidak mau menunggu. Mereka menjemput bola, menciptakan ekosistem yang memaksa generasi baru untuk menoleh kembali pada akarnya.

Benteng Budaya di Tengah Gempuran Global

Tema “Bumi Budaya” bukan sekadar slogan. Menurut Ketua Panitia PKKMB 2025, Iqbal Bayu Satrio, ini adalah strategi pertahanan budaya yang terinspirasi dari kearifan lokal.

“Di tanah ini, kita tumbuh bersama. Melalui berbagai budaya, kita menyatu sebagai keluarga,” ungkap Iqbal, menjelaskan gagasan di baliknya.

“Kami mengadopsi filosofi Banyumas: ‘Berbudi, Berbudaya, dan Berdampak’. Tujuannya jelas, membentuk intelektual yang tidak tercerabut dari akar budayanya.” lanjutnya.

Filosofi ini diterjemahkan ke dalam serangkaian acara yang sarat makna. Mahasiswa baru tidak hanya dikenalkan pada struktur akademik, tetapi juga “dipaksa” mengalami langsung denyut nadi budaya Banyumas yang dikenal dengan karakter cablaka (lugas dan jujur) serta semangat gotong royong.

Puncak dari gerakan kultural ini terjadi pada hari kedua melalui prosesi adat “Ngunduh Kaluwargi Ingkang Rawuh” (Mengunduh Keluarga yang Hadir). Prosesi ini bukan sekadar pertunjukan, melainkan sebuah kelas budaya massal.

Rangkaian acara dibuka dengan Cucuk Lampah, sebuah tarian penuntun jalan yang secara simbolis mengarahkan mahasiswa baru ke gerbang kehidupan intelektual yang berbudaya. Suasana dicairkan dengan adu pantun jenaka, sebelum akhirnya masuk ke inti acara: Prosesi Begalan.

Begalan, seni tutur tradisional Banyumas yang biasanya ditampilkan dalam upacara pernikahan, diadaptasi secara cerdas. Dialog kocak antara dua penampilnya bukan sekadar hiburan. Di dalamnya tersimpan petuah tentang perjalanan hidup, tantangan, dan bekal yang harus dimiliki. Peralatan dapur yang dibawa—seperti cething (wadah nasi) sebagai simbol kebersamaan dan iliran (kipas anyaman) sebagai lambang kemampuan menyejukkan masalah—menjadi media pembelajaran yang efektif.

“Awalnya saya kira hanya acara formal biasa, tapi ternyata setiap gerakannya punya arti yang dalam dan sangat terasa budaya Banyumas-nya. Ini pengalaman pertama saya,” ungkap Sarah, seorang mahasiswa baru asal Jakarta.

Tak hanya seni pertunjukan, sastra juga diberi panggung utama. Proyek “Persembahan 1000 Puisi”—di mana setiap mahasiswa baru wajib menyumbangkan satu karya—menjadi bukti bahwa literasi adalah medium modern untuk melestarikan tradisi lisan.

Kehadiran budayawan dan novelis asal Purbalingga, Agus Sukoco, memperkuat narasi ini. “Kebudayaan tidak akan mati jika generasi muda diberi ruang untuk menafsirkannya kembali. Puisi-puisi ini adalah bukti bahwa mereka adalah pewaris sekaligus pencipta budaya di masa depan,” ujarnya.

Integrasi Isu Lingkungan: Budaya Menghargai Semesta

Inisiatif FIB Unsoed tidak berhenti pada seni dan sastra. Isu krisis lingkungan yang menjadi perhatian utama Gen Z diintegrasikan secara halus. Kewajiban mengenakan batik dan membawa tumbler (botol minum pribadi) adalah cerminan filosofi Banyumas yang menghargai harmoni antara manusia dan alam (Memayu Hayuning Bawana).

“Ini bukan sekadar kampanye mengurangi sampah plastik. Ini tentang menanamkan kebiasaan yang selaras dengan nilai luhur kita. Budaya sejati adalah tentang bagaimana kita merawat semesta,” tegas salah seorang panitia.

PKKMB FIB Unsoed 2025 adalah anomali yang positif. Di saat banyak institusi pendidikan masih terjebak pada seremoni formal, Unsoed menunjukkan bahwa orientasi mahasiswa baru bisa menjadi laboratorium kebudayaan yang efektif. Mereka tidak hanya melahirkan sarjana, tetapi juga penjaga warisan bangsa yang siap berdampak, dengan karakter kuat yang berakar pada bumi pertiwinya.

Exit mobile version