Beranda

Jejak Ratu Jalu: Darah Demak yang Mengalir di Nadi Pakubuwana II

Jejak Ratu Jalu: Darah Demak yang Mengalir di Nadi Pakubuwana II
Ilustrasi Pangeran Demang (io)

Menguak kisah Pangeran Demang Ratu Jalu di Setono Gedong Kediri. pewaris darah Demak dan Sunan Kudus yang mewujud dalam diri Pakubuwana II pendiri Surakarta.

INDONESIAONLINE – Di bawah naungan langit kelabu yang menggantung di atas Setono Gedong, waktu seolah berhenti. Kompleks pemakaman tua di jantung Kota Kediri ini bukan sekadar tumpukan batu bata kuno atau nisan bisu. Di balik hiruk-pikuk Jalan Dhoho yang modern, tanah ini mendekap rahasia tentang bagaimana kekuasaan di Jawa tidak pernah benar-benar mati, melainkan hanya berpindah rupa; dari pedang menjadi doa, dari istana menjadi pesantren.

Di sinilah bersemayam Ratu Jalu, atau yang dalam lidah rakyat lebih akrab disebut Pangeran Demang. Ia adalah jembatan sunyi yang menghubungkan dua era raksasa: kejayaan Kesultanan Demak Bintoro dan kemegahan Keraton Surakarta Hadiningrat.

Pelarian Sang Darah Biru

Kisah ini bermula dari tragedi. Tahun 1549, darah tumpah di Demak. Sunan Prawoto, raja yang saleh itu, dibunuh oleh utusan Arya Penangsang. Kematiannya menandai retaknya pilar kekuasaan pesisir.

Di tengah kekacauan itu, Panembahan Wirasmoro—putra Sunan Prawoto—memilih menepi. Ia membawa serta sisa-sisa kewibawaan Demak ke pedalaman, menuju Kediri, dan wafat di sana.

Dari rahim pengasingan inilah lahir Ratu Jalu. Ia bukan sekadar bangsawan pelarian. Dalam dirinya mengalir darah penakluk dari Sultan Trenggana, sekaligus darah ulama dari garis ibunya yang merupakan putri Panembahan Kudus. Ratu Jalu adalah hybrid sempurna antara kekuasaan politik dan legitimasi spiritual.

Ketika Pangeran Surabaya melantiknya sebagai Adipati Kediri pada 1586, Ratu Jalu mencoba membangun kembali “Demak kecil” di tanah Kediri. Ia menjadikan wilayah ini sebagai episentrum Islam Mataraman, sebuah oase spiritual di tengah vakumnya kekuasaan pusat.

Pengkhianatan dan Runtuhnya Benteng

Namun, sejarah politik Jawa adalah sejarah tentang aliansi yang rapuh. Kekuasaan Ratu Jalu diuji bukan oleh musuh asing, melainkan oleh kerabat sendiri. Saudara-saudara Pangeran Mas—pendahulu Ratu Jalu—seperti Senapati Kediri, Saradipa, dan Kentol Jejanggu, menolak tunduk pada Surabaya. Bagi mereka, Ratu Jalu adalah “orang luar” yang dipasang oleh kekuatan wetan.

Senapati Kediri memilih jalan pragmatis yang mengubah takdir Jawa: ia membelot ke Mataram, menyerahkan kesetiaannya pada Panembahan Senapati.

Pertempuran pun pecah di Krakal. Ratu Jalu, sang pemimpin spiritual itu, terdesak mundur ke dalam bentengnya. Mataram menang secara militer. Senapati Kediri yang terluka dibawa ke Kotagede, diangkat anak oleh raja Mataram, dan bahkan menjadi arsitek Kuta Bacingah—tembok benteng Mataram yang legendaris, yang dibangun tanpa lubang senjata sebagai simbol superioritas spiritual.

Secara politik, Ratu Jalu kalah. Namun, sejarah membuktikan bahwa kekalahan politik Ratu Jalu hanyalah awal dari kemenangan biologis dan kultural yang panjang.

Sungai Darah yang Bermuara di Kartasura

Makam Ratu Jalu di Setono Gedong mungkin tampak sunyi, namun garis keturunannya bergerak liar dan subur di bawah tanah, menembus tembok-tembok keraton.

Silsilahnya bagaikan akar pohon beringin yang mencengkeram kuat. Pangeran Demang memiliki putra Pangeran Rajungan. Dari garis ini, lahir Pangeran Sarêngat (Pangeran Kudus) yang berkiprah di era Amangkurat. Darah ini terus menetes ke Raden Bagus Lêmbu (Raden Martapura), hingga melahirkan Raden Ayu Pandansari.

Takdir mempertemukan Raden Ayu Pandansari dengan Panembahan Purbaya, putra Sunan Amangkurat II. Dari rahim Pandansari lahirlah Kangjêng Ratu Mas, yang kelak menjadi ibunda dari seorang bayi laki-laki bernama Bendara Raden Mas Gusti Prabusuyasa.

Dunia kelak mengenal bayi itu sebagai Susuhunan Pakubuwana II.

Di sinilah ironi sejarah menemukan puncaknya. Mataram, yang dulu menghancurkan kekuasaan politik Ratu Jalu di Kediri, pada akhirnya justru dipimpin oleh cicit Ratu Jalu sendiri.

Pakubuwana II, raja terakhir Kartasura yang lahir pada 8 Desember 1711, adalah personifikasi dari rekonsiliasi sejarah. Dalam dirinya menyatu darah Majapahit, darah Campa, darah Sunan Kudus, dan darah Demak yang pernah “terbuang” di Kediri.

Warisan Abadi: Dari Keraton hingga Pesantren

Ketika Geger Pecinan menghancurkan Kartasura, Pakubuwana II-lah yang mengambil keputusan monumental memindahkan keraton ke Desa Sala pada 17 Februari 1745, mendirikan Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Tanpa disadari, perpindahan ini membawa serta “berkah” para leluhur, termasuk doa-doa dari Setono Gedong.

Namun, warisan Ratu Jalu tidak hanya berhenti di singgasana raja. Jalur keturunannya yang lain memilih jalan sunyi pesantren. Cucunya, Syekh Abdul Mursyad, menjadi paku bumi spiritual di Kediri. Dari garis ini pula lahir Kiai Muhammad Hasan Besari, pendiri Pesantren Tegalsari Ponorogo, yang menjadi kiblat intelektual Islam Jawa abad ke-18.

Hari ini, jika kita berdiri di depan makam Pangeran Demang di Setono Gedong, kita tidak sedang menziarahi kekalahan. Kita sedang menyaksikan sebuah survival sejarah. Bahwa Ratu Jalu, sang pangeran yang terusir dari panggung politik, justru berhasil menanamkan benihnya di puncak kekuasaan Jawa.

Melalui Pakubuwana II, darah Demak dan Kediri kembali bertahta. Sejarah tidak bergerak lurus; ia berputar, dan pada akhirnya, sang pelarian itu “pulang” ke istana dalam wujud keturunannya.


Referensi:

  1. Genealogi: Silsilah Sunan Prawoto hingga Pakubuwana II merujuk pada Babad Tanah Jawi dan catatan silsilah Keraton Surakarta yang memvalidasi hubungan antara Trah Demak, Kudus, dan Mataram.
  2. Konflik Kediri-Mataram: Detail pertempuran Krakal, pembelotan Senapati Kediri, dan pembangunan Kuta Bacingah bersumber dari kajian H.J. de Graaf dalam Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati.
  3. Tokoh Ulama: Koneksi antara Pangeran Demang dengan Syekh Abdul Mursyad dan Kiai Hasan Besari (Tegalsari) merujuk pada historiografi jaringan ulama Jawa Timur dan catatan silsilah Pesantren Tegalsari.
  4. Peristiwa Kunci: Tanggal perpindahan keraton (17 Februari 1745) dan kelahiran Pakubuwana II (8 Desember 1711) adalah data historis standar dalam sejarah Mataram Islam.
Exit mobile version