Yogya 1827: Darah, Dendam, dan Benteng Paku Alam

Yogya 1827: Darah, Dendam, dan Benteng Paku Alam
Ilustrasi pertempuran pasukan Pangeran Diponegoro melawan kompeni Belanda di Yogyakarta tahun 1827 (deepai/io)

Menguak serangan berdarah di Yogyakarta pada Agustus 1827. Bukan sekadar perang, ini adalah kisah dendam sejarah dan pengkhianatan di jantung Mataram, saat Dalem Paku Alam menjadi benteng simbolis yang digeruduk laskar Diponegoro.

INDONESIAONLINE – Langit Yogyakarta pada Agustus 1827 tidak lagi biru. Ia kelabu oleh asap mesiu dan merah oleh bara api dendam. Di tengah gelegar Perang Jawa (1825-1830), jantung kebudayaan Mataram itu berubah menjadi medan tempur urban yang brutal.

Ini bukan sekadar pertempuran antara penjajah dan pribumi, melainkan sebuah babak kelam perang saudara, di mana loyalitas diuji dan darah bangsawan tumpah oleh tangan kerabatnya sendiri.

Pusat dari badai ini adalah Dalem Paku Alam, sebuah istana yang baru seumur jagung namun telah menjadi simbol paling dibenci: arsitektur pengkhianatan yang dibangun di atas kesetiaan kepada kolonial.

Serangan Fajar di Jantung Kota

Pagi buta, 7 Agustus 1827. Sekitar enam ribu laskar pendukung Pangeran Diponegoro merangsek masuk Yogyakarta dari tiga penjuru. Serangan simultan ini dirancang untuk melumpuhkan saraf kekuasaan Belanda.

Letnan-Kolonel Cochius, komandan militer Belanda, dalam laporannya kepada Jenderal de Kock, menggambarkan kepanikan yang melanda garnisun. Pasukannya terpecah untuk mempertahankan tiga titik vital: Keraton Yogyakarta, pemukiman Eropa dekat Tugu Putih, dan episentrum kebencian, Dalem Paku Alam.

“Situasi sangat genting,” tulis Cochius.

Di dalam benteng Vredeburg, Residen Yogyakarta, Frans Gerardus Valck, gemetar. Sultan Hamengkubuwana V yang masih kanak-kanak dievakuasi ke benteng, simbol telak runtuhnya wibawa keraton. Namun, ibunda Sultan, Ratu Kencana, menolak pergi, memilih bertahan di istana yang telah menjadi sangkar emas tanpa kuasa.

Kepanikan Belanda bukan tanpa alasan. Kekuatan laskar Diponegoro tidak hanya terletak pada jumlah, tetapi pada ideologi yang menggerakkan mereka: jihad fi sabilillah melawan thaghut (kekuatan zalim), yang dalam pandangan mereka tidak hanya mencakup Belanda, tetapi juga elite Jawa yang berkolaborasi.

Akar Kebencian: Politik Darah dan Pengkhianatan 1812

Untuk memahami mengapa Dalem Paku Alam menjadi target utama, kita harus kembali ke tahun 1812. Saat itu, Jawa berada di bawah kendali Inggris. Sultan Hamengkubuwana II (Sultan Sepuh) yang anti-kolonialisme bersitegang dengan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles.

Di tengah krisis inilah, Pangeran Notokusumo—adik tiri Sultan Sepuh dan paman kakek Diponegoro—memainkan peran kunci. Menurut sejarawan terkemuka Perang Jawa, Peter Carey, dalam bukunya Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855), Notokusumo bersama Kapten Tan Jin Sing menjadi informan utama Inggris.

Mereka membocorkan strategi pertahanan keraton, yang berujung pada penyerbuan brutal Inggris ke Keraton Yogyakarta pada Juni 1812, sebuah peristiwa yang dikenal sebagai Geger Sepehi.

Sebagai imbalan atas “jasanya”, Raffles menganugerahkan Notokusumo sebuah wilayah otonom dan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam I pada 17 Maret 1813. Kadipaten Pakualaman lahir dari puing-puing kehormatan Keraton Yogyakarta. Ia menjadi client state atau negara boneka kolonial, lengkap dengan tentara dan hak pajak sendiri.

Ikatan darah pun terkoyak oleh pilihan politik. Diponegoro, yang neneknya (Ratu Ageng Tegalrejo) adalah permaisuri utama, memandang dirinya sebagai pewaris sah tradisi perlawanan Mataram. Sementara Paku Alam I, yang lahir dari selir, memilih jalan pragmatisme dengan bersekutu dengan kekuatan asing. Serangan pada Agustus 1827 adalah puncak dari dendam sejarah tersebut.

Benteng Paku Alam Terkepung

Antara 11 hingga 14 Agustus, serangan frontal terhadap Dalem Paku Alam mencapai puncaknya. Laskar rakyat menyerbu dari arah jembatan Kali Code, sementara pasukan lain mengepung Tugu Putih. Meski pertahanan yang diorganisir Kapten Insinyur Keer berhasil memukul mundur mereka, laporan militer Belanda mencatat satu hal unik: para penyerang tampak seperti “penduduk desa tanpa kepemimpinan strategis.”

Namun, di balik serangan yang tampak acak itu, ada tangan tak terlihat dari Selarong. Jenderal de Kock sempat mengirim surat kepada Diponegoro dan pamannya, Pangeran Mangkubumi, memohon gencatan senjata. Jawabannya adalah sebuah pesan simbolik yang dingin: surat itu dirobek oleh Mangkubumi di hadapan utusan Belanda. Perang harus terus berjalan.

Krisis logistik memaksa Letkol Cochius membuat keputusan kontroversial. Pada 12 Agustus, ia menarik pasukannya kembali ke markas utama di Surakarta, meninggalkan Yogyakarta dalam kondisi rentan.

Residen Valck (pengganti Smissaert) murka. “Saya harus mengurus keraton dan Dalem Paku Alam, yang setiap saat diancam karena kebencian mereka terhadap Pangeran tua itu!” tulisnya memohon pasukan.

Operasi Penyelamatan dan Kemenangan Semu

Merespons krisis, Jenderal de Kock segera mengirim bala bantuan. Pada 19 Agustus, Letnan-Kolonel Achenbach tiba dengan 350 prajurit gabungan dari Legiun Mangkunegaran, pasukan Sumenep, dan artileri Eropa. Instruksinya jelas: amankan benteng, keraton, dan terutama, bentengi Dalem Paku Alam.

Achenbach tidak membuang waktu. Pada 30 Agustus, ia menempatkan satu detasemen khusus di Paku Alaman: 25 infanteri Eropa, 25 prajurit Sumenep, 50 prajurit Mangkunegaran, kavaleri, dan dua meriam kecil. Dalem Paku Alam resmi berubah dari kediaman pangeran menjadi pos militer.

Secara taktis, strategi Achenbach berhasil. Serangan lanjutan pada 22 dan 24 Agustus berhasil dipatahkan. Jalur logistik dibuka, dan patroli mulai mengamankan desa-desa sekitar. Yogyakarta “aman” kembali.

Namun, kemenangan ini adalah kemenangan semu. Peristiwa Agustus 1827 telah merobek selubung harmoni palsu di Yogyakarta. Ia membuktikan bahwa Perang Jawa bukan hanya perang melawan Belanda, tetapi juga perang memori, perang simbol, dan perang atas tafsir siapa pewaris sejati tanah Jawa.

Dalem Paku Alam selamat, namun wibawanya sebagai pusat kebudayaan telah runtuh, berganti menjadi monumen pengingat perpecahan yang dijaga oleh bayonet dan artileri. Seperti yang ditulis seorang pejabat Belanda kala itu, “Di balik ketenangan ini, api dendam masih menyala di luar tembok.” Perang masih jauh dari usai (ar/dnv).