(1) Kelopak Bunga Satu Tangkai

-dd nana veno

Kini kufahami makna air mata para perempuan yang mencinta. Menjaga segala yang retak agar tidak berserak.

-Muasal-

Setelah suntuk ditikam waktu yang itu-itu jua. Di parak pagi, aku merindumu. Perempuan yang dianugerahi resah tanya. Perempuan yang diam-diam, menancapkan karat belati sejarah. Tepat di otakku. padahal kau tahu aku tidak suka sejarah.

Aku masih mengingat. Waktu itu, gerimis. Kita, saling menatap, abai dengan semesta. Padahal kita tahu, Desember adalah bulan yang begitu basah.

Kau, berkata sepelan gerimis, dengan ritmis. Lelaki, dendangkan sejarah diriku. Sejarah kita. Tanah yang mendarahdagingkan kita. Di parak pagi ini, aku semakin mengenangmu. Meraba dirimu yang tak lagi di sisiku.

-Aku-

Awalnya, nama. Yang istirah dalam kepompong hening. Nang, ning, nung. Tanpa bunyi, aksara, rasa, warna, kehendak. Sekedar ada. Karena telah dicipta. Menunggu. Laik embrio atau kupu-kupu. Serupa dengung doa. Dilafalkan bersama-sama. Tanpa jeda, entah oleh siapa.

Dan, Yang Maha Pencipta tak pernah abai atas ciptaannya. Maka, nama-nama dilepaskan dari sangkar hening. Ia, menyertai nama-nama dengan kehendak. Maka, nama-nama berbiak kehendak. Meminta segala makna atas segala yang dibawa. Sumpah, berkah, darah. Kelak, tanah yang akan menampung semua. Tanah, tumpah kehendak. Tumpah darah. Merah.

Baca Juga  (5) Kelopak Bunga Satu Tangkai

Sebelumnya, semua adalah dengung serupa doa. Dilafalkan bersama-sama. Tanpa jeda, entah oleh siapa. (Kelak, saat kita menginjak tanah, pengetahuan membuka dirinya).

Ia, dengung serupa doa, berkelindan dengan semestanya. Yang tersembunyi. Tak terterakan. Tak bisa dibayangkan (karena setiap reka, bayang hanya ada di atas tanah). Dan, di atas tanah, apa-apa yang serupa selalu mengusik para lelaki resah.

Para lelaki (satu mungkin kelak adalah ayah kita, kekasih) yang mengasah segala, begitu kilau. Begitu ranjau. Dan, kau tahu, segala kilau selalu menyilaukan mata. Mengalfakan. Mengundang kepurbaan manusia. Ingin. Memiliki. Menguasai.

Maka, tanah (mungkin seperti kita, kekasih) mulai mengenal rasa makna gumpal darah. Warna merah. Dan, Tuhan sedang mencatat jilid kedua manusia (ah, betapa kita pongah mengartikan-Nya). Merancang ruang bernama sejarah. Di titik ini, Tuhan menitahkan kita (apakah kita telah saling menyapa saat itu,kekasih). Sepasang yang entah ke belantara tanah. Tanah yang telah sedia memberi ruam aroma dan keanasirannya. Untuk daging, untuk tubuh. Ngembara, melintasi lapisan cahaya. Mencari ketaksempurnaan di tubuh-tubuh berdaging. Tubuh yang mudah rusak. Tubuh yang mudah disulut api kehendak (ah, kekasih, betapa seringnya kita salah menafsir).

Baca Juga  Puisi: Hal-Hal 'Cekak' di Kepala

Aku mengingatnya (sudahkah ingatan menguasai kita, kekasih), saat kita lepas dari tangkai yang lambai. Memasuki rahim-rahim perempuan yang terbuka. Rahim yang kita pilih sendiri. Kau duluan singgah. Menjadi banyak rupa, peristiwa, luka. Terkadang menjadi ibu, seperti kini.

Dan-aku- harus menunggu dalam hitungan yang masak dengan tubuhmu yang siap, sebelum memasukimu (tidakkah kita lelah, kekasih, bertukar peran dalam masa yang terus berputar). Kalender menunjuk perhitungan 1602. Tahun yang sesak dengan suara-suara asing dan kematian.

Kini, aku, Merah. Lahir dari perpaduan rupa gunung dan sepia kamboja kubur. Ayahku petani yang kadung murka atas peristiwa yang menimpa. Jelma harimau gunung. Pintar mengaum, cerdik beradu siasat. Dan, di setiap senja yang perlahan pergi, ibu bercerita.

Ayahmu,nak, lelaki sederhana yang baik (bersambung).

*penikmat kopi pait