Beranda

31 Desember 1830: Srengat Jatuh, Kabupaten Blitar Berdiri

31 Desember 1830: Srengat Jatuh, Kabupaten Blitar Berdiri
Pendapa Agung Ronggo Hadinegoro Kabupaten Blitar. (yunan/io)

INDONESIAONLINE – Sejarah adalah tentang perubahan, kekuatan, dan identitas yang terus bergulir. Kabupaten Blitar, yang kini menjadi salah satu wilayah penting di Jawa Timur, memiliki akar sejarah yang penuh dinamika.

Pembentukannya pada 31 Desember 1830 bukan hanya sebuah keputusan administratif, melainkan hasil dari pergolakan politik, konflik sosial, dan strategi kolonial yang tajam. Dalam narasi ini, kita akan menyelami bagaimana Blitar bangkit dari bayang-bayang kejatuhan Srengat dan menjadi simbol transformasi Jawa Timur pada abad ke-19.

Kemunduran Srengat dan Transformasi Jawa Timur

Pada awal abad ke-19, Kabupaten Srengat berada di puncak kejayaannya. Dipimpin oleh bupati-bupati seperti R. Ngabehi Suro Lenggowo, Srengat berperan penting dalam struktur politik regional. Namun, setelah Perang Diponegoro (1825-1830), perubahan besar mulai melanda Jawa. Belanda, dengan kerugian besar akibat perang, memutuskan untuk menata ulang wilayah administrasi guna memperkuat kendali atas Jawa Timur.

Bupati Srengat saat itu, Mertodiningrat II, adalah salah satu tokoh yang menolak keras kebijakan kolonial. Ia absen dalam Perjanjian Sepreh di Ngawi pada Juli 1830, yang bertujuan menundukkan para bupati di bawah kekuasaan residen Belanda. Keteguhannya menyebabkan pemecatan dirinya, dan Kabupaten Srengat akhirnya kehilangan statusnya. Pada tahun 1834, Srengat resmi diturunkan menjadi distrik dengan wedana sebagai pemimpin tertinggi.

Peran Strategis Blitar dalam Administrasi Kolonial

Sebaliknya, Blitar yang sempat terpuruk setelah kematian Arya Balitar mulai menapaki jalan kebangkitan. Belanda menyadari pentingnya Blitar sebagai pusat kendali di kawasan Mancanegara Timur. Dengan menghapuskan Srengat sebagai kabupaten, Belanda mendirikan Kabupaten Blitar pada 31 Desember 1830, sebagai bagian dari Residentie Kediri yang baru dibentuk.

Mas Bei Partowijoyo diangkat sebagai bupati persiapan pertama Blitar, didampingi oleh tokoh-tokoh penting seperti Mas Merta Dhiwerio sebagai jaksa dan Kasan Suhada sebagai penghulu. Pusat administrasi dibangun di sekitar Candi Blitar, memperlihatkan bagaimana simbol-simbol lokal digunakan untuk memperkuat legitimasi pemerintahan kolonial.

Ronggo Hadi Negoro: Pilar Utama Blitar Baru

Transformasi Blitar tidak lepas dari peran Ronggo Hadi Negoro, bupati pertama Kabupaten Blitar setelah masa persiapan. Ia memimpin dengan visi yang memperkuat posisi Blitar di bawah administrasi kolonial. Di bawah kepemimpinannya, Blitar mulai dikenal sebagai pusat ekonomi dan politik regional. Strategi Belanda yang memperkenalkan Asisten Residentie juga memastikan bahwa kontrol atas wilayah ini tetap berada di tangan mereka.

Pada masa Ronggo Hadi Negoro, berbagai infrastruktur mulai dibangun, termasuk masjid besar dan tata kota baru di sekitar alun-alun. Dengan penempatan pasar di sisi selatan dan penjara di sisi timur, tata letak ini mencerminkan perpaduan antara tradisi lokal dan kebutuhan kolonial.

Peninggalan Srengat: Jejak Kejayaan yang Tak Terhapus

Meski Srengat kehilangan status kabupatennya, jejak kejayaannya tetap dapat ditemukan hingga hari ini. Candi-candi di Gunung Pegat dan situs Waleri di Bagelenan menjadi saksi bisu masa keemasan wilayah ini. Warisan budaya ini tidak hanya memperkaya sejarah lokal, tetapi juga menjadi pengingat akan masa-masa ketika Srengat memainkan peran penting di Jawa Timur.

Kabupaten Blitar: Simbol Ketahanan dan Kebangkitan

Pada 1 April 1863, Blitar resmi menjadi kabupaten penuh. Pembangunan berbagai infrastruktur, seperti Pengadilan Negeri (Landraad) dan tata kota modern, mencerminkan peran Blitar sebagai pusat dinamika sosial dan politik di Jawa Timur. Setelah masa kepemimpinan Ronggo Hadi Negoro, Blitar terus berkembang di bawah bupati-bupati berikutnya, seperti KPH Warsokoesoemo, KPH Sosrohadinegoro, hingga Raden Darmadi yang menjabat setelah Indonesia merdeka.

Blitar juga menjadi rumah bagi beragam etnis, termasuk komunitas Madura yang memainkan peran penting dalam pembangunan kota. Keberadaan mereka di Kampung Meduran hingga kini menjadi bagian integral dari identitas Blitar.

Patih Djojodigdo: Bapak Pembangunan Blitar

Salah satu tokoh penting dalam sejarah pembangunan Kabupaten Blitar adalah Patih Raden Ngabehi Bawadiman Djojodigdo. Djojodigdo menunjukkan visi luar biasa dengan memanfaatkan kerja sama strategis bersama pemerintah kolonial untuk membangun jalan, jembatan, dan fasilitas lainnya. Warisan pembangunan yang diletakkannya menjadi fondasi penting bagi perkembangan Kabupaten Blitar hingga kini, menjadikannya sebagai figur yang dihormati dalam sejarah daerah tersebut.

Raden Ngabehi Bawadiman Djojodigdo adalah figur yang tak hanya dikenal sebagai patih Kabupaten Blitar, tetapi juga sebagai sosok yang meletakkan dasar-dasar pembangunan modern di wilayah ini. Lahir pada 29 Juli 1827 di tengah gejolak Perang Jawa, Djojodigdo membawa warisan kebangsawanan dari Keraton Mataram dan semangat pembaruan yang kuat. Menjabat sebagai patih pada 1877, ia mendampingi KPH Warsokoesoemo, bupati Blitar kala itu, dan bersama-sama mereka berhasil membangkitkan Blitar dari keterpurukan akibat skandal pemerintahan sebelumnya.

Sebagai administratur tertinggi di bawah bupati, Djojodigdo memainkan peran strategis dalam membangun infrastruktur penting di Blitar. Salah satu karyanya yang monumental adalah Stasiun Kereta Api Blitar yang diresmikan pada 16 Juni 1884. Proyek ini tidak hanya menjadi simbol kemajuan, tetapi juga membuka akses ekonomi dan mobilitas bagi masyarakat Blitar. Djojodigdo dikenal cerdas dan visioner, mampu bekerja sama dengan pemerintah kolonial untuk membangun daerah tanpa kehilangan identitas lokalnya.

Warisan Patih Djojodigdo tetap dikenang hingga kini, baik melalui cerita lisan maupun penghargaan resmi seperti Achievement Award Blitar Land of Kings. Masyarakat Blitar sering mengenang Djojodigdo sebagai sosok legendaris dengan kemampuan luar biasa, termasuk ajian pancasona yang lekat dalam cerita rakyat. Makamnya di Jalan Melati, Blitar, menjadi tempat ziarah yang ramai dikunjungi hingga saat ini, menegaskan bahwa jasa dan ketokohannya tetap hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Blitar.

Refleksi Sejarah: Pelajaran dari Srengat dan Blitar

Kisah Srengat dan Blitar adalah cerminan dari bagaimana politik kolonial membentuk wajah Jawa Timur. Srengat, yang pernah berjaya, kini hanya menjadi sebuah kecamatan, tetapi warisan sejarahnya tetap hidup. Sementara itu, Blitar, yang bangkit dari keterpurukan, terus memainkan peran strategis dalam sejarah Jawa Timur.

Pada akhirnya, pembentukan Kabupaten Blitar pada 31 Desember 1830 adalah simbol bagaimana perubahan, baik yang dipaksakan maupun yang alami, dapat menciptakan peluang baru. Di tengah tantangan zaman, Blitar berhasil menemukan jalannya untuk menjadi bagian penting dari narasi sejarah Indonesia.

Exit mobile version