Beranda

Topeng Suci Pemuka Agama Blitar Robek, Cabuli Anak 2 Tahun!

Topeng Suci Pemuka Agama Blitar Robek, Cabuli Anak 2 Tahun!
Foto berupa ilustrasi (ai/io)

Polda Jatim bongkar kasus pencabulan oleh oknum pemuka agama di Blitar. Pelaku berinisial DBH (67) gunakan modus manipulatif. Simak fakta lengkap dan sorotan relasi kuasa yang menjerat korban.

INDONESIAONLINE – Sebuah topeng kesucian yang dikenakan selama bertahun-tahun akhirnya robek. Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Timur membongkar praktik keji di balik jubah seorang oknum pemuka agama di Blitar yang diduga tega mencabuli anak-anak di bawah umur.

Pelaku, seorang pria lanjut usia berinisial DBH (67), kini harus menanggalkan citra terhormatnya dan mendekam di balik jeruji besi. Ia resmi ditahan di Rutan Polda Jatim sejak 11 Juli 2025.

“Penahanan terhadap tersangka telah dilakukan sejak tanggal 11 Juli 2025,” tegas Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Jules Abraham Abast, dalam konferensi pers yang digelar di Gedung Bid Humas Polda Jatim, Rabu (16/7/2025).

Modus Manipulatif di Balik Kedekatan Palsu

Kasus ini terkuak bukan tanpa sebab. Keberanian orang tua korban untuk melapor menjadi pintu masuk bagi polisi untuk menguak tabir kelam yang terjadi selama rentang waktu 2022 hingga 2024.

Menurut Kombes Pol Abast, DBH menggunakan kedekatannya sebagai figur yang dihormati untuk memanipulasi para korban. “Aksi asusila tersebut diduga berlangsung dalam rentang waktu 2022 hingga 2024 di sejumlah lokasi pribadi,” ujarnya.

Modusnya terlihat begitu “normal” dan tidak mencurigakan. DBH kerap mengajak para korban beraktivitas di luar, seperti jalan-jalan atau berenang. Di balik kebaikan semu itulah, ia diduga melancarkan aksi bejatnya, memanfaatkan kepercayaan yang telah dibangunnya dengan susah payah.

Atas perbuatannya, DBH kini dijerat dengan pasal berlapis. “Tersangka dijerat Pasal 82 Jo Pasal 76E Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda maksimal Rp5 miliar,” pungkas Kombes Abast.

Relasi Kuasa: Senjata Tak Terlihat yang Membungkam Korban

Kasus ini lebih dari sekadar catatan kriminal biasa. Ia menyoroti isu yang lebih dalam dan berbahaya: relasi kuasa.

Asisten Deputi Penyediaan Layanan Anak dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA), Ciput Eka Purwianti, memberikan apresiasi tinggi kepada Polda Jatim. Namun, ia juga menggarisbawahi mengapa kasus seperti ini sering kali sulit terungkap.

“Persoalan yang melibatkan tokoh agama sebagai pelaku adalah salah satu bentuk kekerasan berbasis relasi kuasa,” ungkap Ciput.

Menurutnya, status sosial dan kepercayaan publik yang melekat pada tokoh agama menjadi “senjata” tak terlihat yang membuat korban—terutama anak-anak—takut dan ragu untuk bersuara.

“Banyak sekali unsur yang menyebabkan anak-anak itu tidak berani mengadu lebih cepat. Salah satunya karena banyak orang, termasuk orang tua, yang sulit percaya ketika anaknya mengadu menjadi korban dari seorang tokoh agama,” jelasnya.

Kini, keempat korban telah berada dalam perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta KemenPPA untuk pemulihan trauma. Ciput menekankan sebuah prinsip krusial yang harus dipegang teguh oleh masyarakat dan penegak hukum.

“Perlu kita dorong bahwa, perspektif Undang-Undang TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) itu adalah kita harus meyakini apa yang disampaikan oleh korban. Perspektif korban itu yang terpenting,” pungkasnya.

Kasus ini menjadi pengingat pahit bahwa predator bisa bersembunyi di balik jubah apa pun, dan tugas terberat masyarakat adalah menciptakan ruang aman di mana suara korban didengar, dipercaya, dan dilindungi.

Exit mobile version