Setelah kau catat segala peristiwa turunnya para dewa dan dewi dalam kulit bening Apsu dan Tiamat1 yang melonggarkan dahaga Mesopotamia, kau mulai memecahkan bayangan.
Cahaya yang berkelindan dan jelma kegelapan yang dilahirkan Eufrat dan Tigris dengan mulutmu. Kata-kata yang kau gigit antara sepasang bibirmu, telah menjadi senjata. Mengalir lahir meski tak pernah kau rasa meruncing.
Tetapi itu telah menjadi dengung yang tak dikenal oleh bibirmu sendiri. Menjelma suwung yang terkadang tak terpetakan. Tak terbahasakan. Dan kau pun resah atas segala yang tak pernah bisa dibaca dan diraba. Hingga Indus2 memanggil dan menghiburmu dengan memberikan boneka gajah dan kura-kura raksasa yang menyangga semesta.
Kau terpana sesaat. Di matamu ada yang berkilat. Seperti kerinduan. Lantas hidungmu mencoba merekam kedua boneka itu lewat bau. Mencoba untuk merasakan denyut dalam setiap lipatan kulit yang dijahit dengan gegas. Beku dan kaku.
Kau kunyah boneka itu dengan amarah, yang tersisa adalah serpih sejarah yang bukan miliknya.
“Lantas siapakah yang merangkai peristiwa dengan kata sejarah. Para pesulap, kepak sayap peri, para nabi, para binatang atau kuncup ilalang yang tengadah menyambut pergantian waktu. Bukankah resah yang mencipta sejarah berulang-ulang?”
“Sejarah tak pernah mengulang dirinya. Manusia iya!”
Matamu kembali menagih atas jejak yang kau rasa adalah diri. Jejak yang terus menerus menghuni dalam setiap ketakterjagaan. Mengabarkan bahwa adanya adalah hasil dari persitumbukan yang tak terpahamkan.
Adanya adalah bagian terkecil dari serpih-serpih yang melayang bebas diantara bermiliar benda angkasa yang bernama dan tak bernama. Adanya di picu oleh mesin raksasa yang entah sejak kapan terwujudkan dan mereproduksi setiap gelembung sel yang tak pernah usai didekati jawab.
“Lantas siapakah aku !!!” Kau menghardik garang memuntahkan ribuan kuda perang yang berderap dengan nafas apinya.
Debu mengepul, mencipta seekor ular kobra dengan sisik jelita yang menawarkan ranjang pengantin. Indus beringsut susut diantara remang yang mulai merambat.
“Berhentilah bertanya dan tidurlah.”
“Suatu saat semua akan berhenti dalam titik beku. Tetapi tidak saat ini.”
“Lantas apa yang kau cari ?”
“Aku.”
Maka, seekor ular kobra dengan sisik jelita yang menawarkan ranjang pengantin itu meletus seketika. Menjadi bagian dari bermiliar-miliar atom yang memuat segala tanya. Mencari jawab yang satu. Adakah di mulut Chaos, Gaea, Tartarus dan Eros3, atom-atom yang bunting oleh tanya itu meletus dan berbiak.
“Ya, gelembung-gelembung dari mulutmu itu telah berbiak. Kebanyakan menjelma virus dan bakteri yang memenuhi desa dan kota. Kematian Hitam tahun 1348-1350, Perang Dunia II 1939-1945, peluluhluntakan Hirosima dan Nagasaki atas nama kejayaan ilmu dan teknologi, dan berbagai peperangan antar etnis; adalah gelembung itu.”
“Gelembung itu bukan milikku !”
“Bacalah di wajahmu yang telah menjadi rahim itu. Yang memperanakkan berjuta misteri candi, tugu, bangunan-bangunan tinggi, dan berjuta logam lancip yang memendam gumpal darah manusia. Bacalah di tembok-tembok jiwa para manusia yang terus mengucurkan derita dengan darah yang memenuhi lautan yang ada. Bacalah !”
“Aku tidak bisa membaca. Kalaupun ada gambar-gambar dan berjuta coretan di dinding-dinding atau lembaran kertas yang dijadikan santapan rayap, itu semua tercipta karena rasa khawatirku dalam menghadapi diri, menatap semesta.”
“Bacalah. Bacalah. Bacalah.”
Semesta merunduk dalam khidmat. Segala makhluk yang bergerak membuka dirinya. Memberikan setitik cahaya yang dimilikinya.
Gua Hira dalam kepalanya berdegung-degung dengan irama Konserto Piano Mozart Nomor 21 yang tak pernah dikenalinya.
Ya, sejak dia memahami gerak dan bahasa gurun-gurun yang membentang dengan pijar apinya yang abadi lewat pedang. Sejak darah menjadi arah langkah kaki-kaki kuda perang, kekasihnya dalam merebut setiap jengkal tanah, dia tak pernah sempat memandang irama semesta yang meliukkan berjuta keindahan.
Matanya yang setajam pedang tercacatkan oleh kakinya yang diterjang sepasukan logam dalam deru pertempuran. Kini dia hanya lelaki yang sibuk dengan pertanyaan diri dalam laboratorium mini.
Hanya serpihan tubuh lawan-lawannya dulu, pada masa peperangan, yang dikoleksinya sebagai tanda kemenangan. Tanda yang menautkan kediriannya dengan masa silam.
“Seperti mereka, penduduk asli Amerika, yang dikejar-kejar dan ditembaki lantas dikuliti batok kepalanya untuk diperjualbelikan sebagai souvenir kepahlawanan orang-orang kulit putih, bukan begitu?”
“Seperti anak-anak muda yang mengawini batu di tepi barat dan jalur gaza Palestina yang dihujani logam-logam runcing tak bermata.”
“Seperti para pemburu yang jumawa membawa bangkai singa atau mengalungkan cula badak sebagai ajimat di dada. Mungkin seperti itu.”
“Tetapi kau sendiri.”
Ya, kini lelaki itu sendiri. Merajut setiap helai daging para musuhnya. Dia berharap suatu ketika helai-helai tubuh itu menyatu, menjelma makhluk baru. Sehingga dalam usianya yang mulai meremang senja, dia mampu berkompromi dengan masa lalu.
Bercakap akrab sambil meminum secangkir capucinno di senja yang perawan. Karena itu adalah pintu untuk perjalanan barunya. Perjalanan yang menirkalakan segala materi yang membelenggu. Dia ingin menjadi waktu yang meruang segala materi. Tetapi pertanyaan itu datang, berulang-ulang. Memenuhi dinding kepalanya, menjadi lumut yang mengerak di otak.
Maka senyap dengan keringat yang menggetarkan tubuh membawanya kembali kedalam pelukan selimut semesta. Tak ada kata-kata yang menentramkan dari bibir perempuan yang mencintanya. Karena dia bukan lelaki terpilih itu. Lelaki yang telah disucikan hatinya dari segala debu dan keringnya pasir jazirah Arab.
Hanya dia, sendiri. Lelaki yang diceritakan mendapatkan anugerah atas kejatuhan buah apel. Lelaki yang juga dilemparkan waktu untuk mendorong takdir batu. Lelaki yang telah memutus segala hubungan darah dengan menikahi ibu sendiri. Ya, dialah itu lelaki yang menyandang nama penuh hujat, penuh sanjung.
Lelaki yang ditubuhnya tertatah luka sejarah. Lelaki yang secara terus terang bersaing dengan matahari. Kini dia menunduk rapat di telapak semesta atas perintah yang tak dinyana. Membaca. Mulutnya gagu, tubuhnya yang penuh warna dan rupa disesaki saputan 7 batu semesta4 yang diberikan para dewa. Selimut itu tak mampu meredam gigil tubuh itu.
“Mengembaralah. Kelilingi semesta dengan mata terbuka. Mengembaralah, hingga kau paham makna. Jadilah planet hingga kau mampu menterjemahkan resah karena jiwa harus tenang saat kembali pulang.”
“Jiwa yang tenang?”
“Seperti para lebah yang memendam madu dalam tubuh dan melahirkannya demi kebugaran manusia. Seperti Simurgh yang melesat dalam lingkaran tanya dan membakar semua kata-kata sehingga mampu menjelma cahaya. Laksana Bisma yang menatap runcing mata panah dengan senyum sumringah. Karena di sana, di mata maut yang dilepas Srikandi, ada perempuan yang dicintainya. Perempuan yang menjemput cintanya yang tertunda oleh karma.”
“Jiwa yang tenang.”
“Berputarlah selayak gasing di sumbu jiwamu. Ciptakan lingkaran yang akan memakan ingatanmu tentang masa. Dan pecahlah !”
Maka mengalunlah seruling semesta dengan keindahan musikalnya di tubuhmu yang tak lagi sekedar daging. Maka, jadilah dirimu satu nada dari orkestra yang dipandu oleh sang Musikus Maha Agung.
Lihatlah, semesta yang kau pertanyakan dan menjadi lahan perebutan itu, mengalunkan nada-nada yang berbeda dan bervariasi dengan keindahan tak terperi. Ah, lagu para pengembara semesta itu mengingatkan kita pada suatu sympohi langit Pythagoras.
“Berputarlah di sumbu jiwamu, hei jiwa-jiwa yang tenang.”
Tangan itu membuka lemari es. Di dalamnya sebongkah matahari dengan pijarnya menyala. Menyejukkan segala pernyataan.
“Ya, tidak ada jawaban sampai titik.”
*Penulis: dd nana veno, pecinta kopi pait
1 Pusaran mata air tak berdasar- sebagain kata-kata yang ditemukan dalam mitos tertua yang ditemukan di Mesopotamia. Dimana pertemuan antara Apsu dan Tiamat, melahirkan dinasti dewa-dewi
2 Nama lembah sungai di Mohenjo-Daro atau di Harappa, tempat bangsa india kuno memulai kebudayaan. Bangsa india kuno mempercayai bahwa Bumi yang datar berada di atas punggung beberapa ekor gajah raksasa, dan gajah-gajah itu berdiri di atas punggung seekor kura-kura maha besar.
3empat bentuk asal yang menurunkan semua dewa dan dewi dalam budaya yunani
4 7 benda langit itu adalah Matahari dan Bulan (yang kemudian terbukti bukan planet), Merkurius, Venus, Mars, Jupiter, dan Saturnus.