Terlibat Perang Berkepanjangan, Apa Kunci Ekonomi Israel Tetap Stabil?

Terlibat Perang Berkepanjangan, Apa Kunci Ekonomi Israel Tetap Stabil?

INDONESIAONLINE – Kecaman dunia terhadap Israel terus berdatangan. Hal itu lantaran Israel terus-menerus melakukan penyerangan terhadap Palestina.

Terbaru, Israel menewaskan puluhan orang melalui serangan bom dan rudal ke kamp pengungsian warga Palestina di Rafah, Minggu (26/5/2024) lalu.

Tak hanya masyarakat sipil. Aksi militer terbaru Israel di kawasan padat penduduk dan zona aman ini juga memanen kecaman dari sederet pemimpin negara. Terlebih, pasukan Benjamin Netanyahu itu semakin masif dalam melanggar hak asasi manusia (HAM) dan hukum humaniter internasional serta mengabaikan perintah dari Mahkamah Internasional.

Banyaknya kecaman yang masuk membuat Israel dimusuhi beberapa negara. Namun, Israel seperti tidak memperdulikan saran dan kritik dan seakan-akan mereka bisa hidup sendiri dengan negaranya.

Jika dilihat, Israel memang tetap berada di perekonomian yang stabil meski mengalami perang selama berbulan-bulan. Mengapa begitu?

Mungkin tak banyak yang tahu bahwa Israel merupakan salah satu negara yang paling maju di dunia. Selama ini orang hanya fokus pada Israel karena konflik berkepanjangan dengan negara tetangganya, Palestina.

Tak seperti negara konflik lainnya yang miskin, Israel nyatanya adalah negara kaya. Negeri Yahudi tersebut terkenal dengan industri manufaktur yang relatif paling maju sejak 1970-an. Israel juga tidak mengandalkan pemasukan dari minyak seperti negara Arab lainnya.

Mengutip BBC, majunya industri di negara itu tak lepas dari banyaknya tenaga ahli yang melakukan eksodus dari negara-negara Eropa selama pecah Perang Dunia II untuk menghindari persekusi. Pada 1970-an, industri-industri yang sudah berkembang pesat di Israel antara lain pupuk, pestisida, farmasi, bahan kimia, plastik, dan logam berat.

Pada 1980-an, banyak orang Yahudi yang bekerja di Silicon Valley pulang ke Israel. Mereka mendirikan pusat-pusat penelitian dan pengembangan untuk perusahaan-perusahaan teknologi AS, seperti Microsoft, IBM, dan Intel.

Kemudian, pada tahun 1990-an, para insinyur terampil juga berdatangan dari negara-negara bekas Uni Soviet untuk bermigrasi ke Israel, membuat negara itu semakin diberkati dengan kelimpahan sumber daya manusia terampil.

Tak heran, perusahaan-perusahaan baru di sektor teknologi terus bermunculan bak jamur di musim hujan. Sektor teknologi yang sebelumnya hanya menyumbang sebesar 37 persen dari produk industri meningkat menjadi 58 persen di tahun 1985, dan kembali meningkat jadi 70 persen pada 2006.

Banyaknya perusahaan besar di bidang teknologi tentu menyumbang pemasukan besar untuk Pemerintah Israel dari sisi pajak, sumber devisa, ataupun penyerapan jumlah tenaga kerja. Ini belum termasuk royalti dari paten-paten yang dibuat di perusahaan Israel.

Negara itu juga menerima banyak pendanaan untuk pengembangan riset dan teknologi dari negara lain, seperti AS, Kanada, Italia, Austria, Perancis, Irlandia, Belanda, Spanyol, China, Turki, India, dan Jerman.

Meski punya sejarah panjang konflik dengan Palestina, Israel justru mesra dengan sejumlah negara Arab lainnya. Salah satunya Uni Emirat Arab (UEA). Belum lama ini, negara Yahudi tersebut menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan UEA.

Pakta tersebut ditandatangani di Dubai setelah berbulan-bulan negosiasi. Perjanjian itu juga menjadi perjanjian dagang terbesar Israel dengan negara Arab. (mut/hel)