Profil  

Di Balik Gelar Bapak Pramuka: Kisah Diplomasi Sri Sultan Hamengkubuwono IX Satukan Kepanduan Indonesia

Di Balik Gelar Bapak Pramuka: Kisah Diplomasi Sri Sultan Hamengkubuwono IX Satukan Kepanduan Indonesia
Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Bapak Pramuka Indonesia (Ist)

Selami kisah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Bapak Pramuka Indonesia. Temukan bagaimana visi dan kelihaian diplomasi sang Sultan berhasil menyatukan ratusan organisasi kepanduan yang terpecah menjadi Gerakan Pramuka yang solid dan berkarakter. Artikel sejarah yang unik dan mendalam.

INDONESIAONLINE – Setiap 14 Agustus, bendera tunas kelapa berkibar gagah, mengiringi gema “Salam Pramuka” di seluruh penjuru negeri. Peringatan Hari Pramuka Nasional ini menjadi momen untuk mengenang kembali spirit kepanduan.

Namun, di balik seragam cokelat dan Dasa Darma, ada satu nama yang tak terpisahkan: Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Beliau bukan sekadar Ketua Kwarnas pertama, melainkan seorang arsitek dan diplomat ulung yang berhasil meredam perpecahan dan menyatukan jiwa-jiwa muda Indonesia dalam satu wadah bernama Gerakan Pramuka.

Kisah ini bukanlah sekadar catatan biografi, melainkan sebuah epik tentang bagaimana seorang raja, negarawan, dan visioner menggunakan pengaruhnya untuk membangun fondasi karakter bangsa.

Dari Pecah Belah ke Visi Persatuan: Potret Kepanduan Pasca-Kemerdekaan

Gerakan kepanduan (scouting) sejatinya telah berakar di Hindia Belanda jauh sebelum kemerdekaan. Organisasi seperti Nederlandsche Padvinders Organisatie (NPO) dan Jong Indonesische Padvinderij Organisatie (JIPO) menjadi cikal bakal kepanduan di tanah air.

Bahkan, Bapak Pandu Dunia, Lord Baden-Powell, sempat menyambangi Batavia, Semarang, dan Surabaya pada 3-7 Desember 1934, melihat langsung antusiasme para pandu lokal.

Namun, pasca-kemerdekaan, semangat ini justru terfragmentasi. Kongres Kesatuan Kepanduan Indonesia di Surakarta pada 27-29 Desember 1945 memang sempat melahirkan Pandu Rakyat Indonesia sebagai satu-satunya wadah. Akan tetapi, agresi militer dan instabilitas politik membubarkannya.

Akibatnya, di era 1950-an, lebih dari 100 organisasi kepanduan tumbuh subur, masing-masing berafiliasi dengan partai politik, golongan agama, dan ideologi tertentu. Persatuan Kepanduan Indonesia (Perkindo) yang menaungi mereka tak cukup kuat untuk meredam ego sektoral. Presiden Soekarno resah. Ia melihat perpecahan di kalangan pemuda ini sebagai ancaman bagi persatuan bangsa yang baru seumur jagung.

Sang Diplomat di Medan Kepanduan: Peran Sentral Sultan Hamengkubuwono IX

Di tengah kegelisahan itu, mata Presiden Soekarno tertuju pada satu sosok: Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Lahir dengan nama Raden Mas Dorodjatun pada 12 April 1912, Sultan bukan hanya pemimpin Kesultanan Yogyakarta (1940-1988) dan Gubernur DIY pertama, tetapi juga seorang negarawan yang dihormati.

Kecintaannya pada kepanduan telah tertanam sejak belia, saat ia menjadi anggota Welp (Siaga) pada tahun 1921.

Pada 9 Maret 1961, di Istana Negara, Presiden Soekarno mengumpulkan para tokoh kepanduan. Beliau menyatakan pembubaran semua organisasi kepanduan yang ada dan meleburnya menjadi satu. Untuk memimpin proses krusial ini, Soekarno menunjuk HB IX sebagai “Pandu Agung” atau pemimpin gerakan.

Penunjukan ini bukan tanpa alasan. HB IX memiliki modal diplomasi yang kuat. Sebagai Sultan, ia adalah simbol persatuan budaya. Sebagai pejabat negara, ia dihormati oleh semua golongan politik. Kelihaiannya dalam bernegosiasi terbukti mampu merangkul semua pihak, meyakinkan mereka untuk melepaskan panji-panji kelompok demi bendera Merah Putih yang lebih besar.

Salah satu kontribusi jenius HB IX adalah pemilihan nama. Beliau mengusulkan nama ‘Pramuka’, yang terinspirasi dari istilah dalam kemiliteran era Mataram, “Poromuko”, yang berarti pasukan terdepan atau barisan pelopor dalam pertempuran.

Namun, HB IX dengan brilian melunakkan makna militeristik tersebut menjadi akronim yang mendidik: Praja Muda Karana, yang berarti “jiwa muda yang gemar berkarya”. Nama ini secara resmi dilegitimasi melalui Keputusan Presiden RI No. 238 Tahun 1961. Perubahan filosofis ini mengubah citra kepanduan dari sekadar baris-berbaris menjadi sebuah gerakan untuk kreativitas dan pembangunan karakter.

Warisan yang Hidup: Dari Salam Pramuka hingga Pengakuan Dunia

Pada 14 Agustus 1961, momentum puncak tiba. Bertempat di Istana Merdeka, Presiden Soekarno secara resmi melantik Majelis Pimpinan Nasional (Mapinas), Kwartir Nasional (Kwarnas), dan Kwartir Nasional Harian (Kwarnari).

Sri Sultan Hamengkubuwono IX dilantik sebagai Ketua Kwarnas pertama. Pada hari itu pula, dilakukan penganugerahan Panji Gerakan Pramuka dan defile akbar untuk memperkenalkan Pramuka kepada masyarakat. Tanggal inilah yang hingga kini kita peringati sebagai Hari Pramuka.

Selama menjabat sebagai Ketua Kwarnas selama empat periode (1961-1974), HB IX menelurkan banyak warisan ikonik:

  • Panggilan “Kakak-Adik”: Ia memperkenalkan sistem panggilan “Kak” untuk pembina dan “Adik” untuk anggota, demi menciptakan suasana kekeluargaan yang egaliter dan menghapus sekat senioritas feodal.

  • Salam Pramuka: Salam hormat dengan tiga jari yang terbuka (simbol Tri Satya) dan dua jari terlipat (simbol Dwi Darma) menjadi identitas yang melekat hingga kini.

  • Pengakuan Internasional: Dedikasinya diakui dunia. Pada tahun 1973, ia menerima Bronze Wolf Award, penghargaan tertinggi dan satu-satunya dari World Organization of the Scout Movement (WOSM), yang diserahkan langsung di Nairobi, Kenya. Ia juga menjadi anggota komite WOSM, sejajar dengan tokoh dunia lainnya, termasuk Raja Swedia Carl XVI Gustaf.

Legitimasi Sejarah: Pengukuhan Gelar dan Akhir Pengabdian

Meski telah menjadi “roh” bagi Gerakan Pramuka selama puluhan tahun, gelar “Bapak Pramuka Indonesia” baru dilekatkan secara resmi dalam Musyawarah Nasional (Munas) Gerakan Pramuka tahun 1988 di Dili, Timor Timur (kini Timor Leste). Pengukuhan ini tertuang dalam Surat Keputusan No. 10/MUNAS/88.

Tak lama setelah itu, pada 1 Oktober 1988, Sri Sultan Hamengkubuwono IX wafat di Washington DC, Amerika Serikat. Jasadnya dibawa pulang dan dimakamkan di pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri.

Meskipun raganya telah tiada, warisannya sebagai Bapak Pramuka Indonesia tetap hidup. Ia bukan hanya penggagas, tetapi juga seorang diplomat ulung yang berhasil mengubah potensi konflik di kalangan pemuda menjadi energi positif untuk membangun bangsa.

Dialah sang Poromuko, pelopor sejati yang visinya terus menginspirasi jutaan Praja Muda Karana di seluruh Indonesia (bn/dnv).