Luka Tahta Mataram: Gema Pengasingan dan Kepulangan Sunyi Trah Amangkurat III dari Tanah Selong

Luka Tahta Mataram: Gema Pengasingan dan Kepulangan Sunyi Trah Amangkurat III dari Tanah Selong
Makam Sunan Amangkurat III di Situs Setono Gedong, Kediri. Di sinilah sejarah dan spiritualitas bertemu, menghadirkan memori seorang raja yang dipandang sebagai wali oleh masyarakat setempat (jtn/io)

Menelusuri babak terlupakan sejarah Mataram. Kisah pengkhianatan, eksil politik Amangkurat III ke Sri Lanka, dan rekonsiliasi getir di bawah Pakubuwana II. Sebuah narasi tentang dendam, pusaka, dan dua makam yang membelah ingatan Jawa.

INDONESIAONLINE – Sejarah bukan hanya catatan para pemenang; ia adalah mozaik yang kepingannya terserak dalam babad, arsip kolonial, dan bisik-bisik lisan yang diwariskan dalam senyap.

Di balik kemegahan tahta Mataram pada abad ke-18, tersimpan sebuah riwayat luka—sebuah drama pengkhianatan, pembuangan, dan dendam yang menyeberangi lautan hingga kembali lagi untuk menagih takdir. Inilah kisah pemulangan keturunan Amangkurat III dari pengasingan di tanah Selong (Ceylon/Sri Lanka), sebuah peristiwa yang lebih dari sekadar diplomasi, melainkan upaya keraton menyembuhkan borok yang menggerogoti jiwanya.

Akar Prahara: Kudeta Berdarah dan Intervensi VOC

Kisah ini bermula pada tahun 1704, ketika api Perang Suksesi Jawa Pertama membakar jantung Mataram. Raden Mas Sutikna, putra tunggal Amangkurat II, baru saja naik takhta dengan gelar Amangkurat III. Namun, kekuasaannya rapuh. Pamannya sendiri, Pangeran Puger, yang merasa lebih berhak atas mahkota, menantangnya.

Menurut sejarawan M.C. Ricklefs dalam karyanya A History of Modern Indonesia Since c. 1200, konflik ini menjadi pintu masuk bagi Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) untuk menancapkan pengaruhnya lebih dalam.

VOC melihat Pangeran Puger sebagai sekutu yang lebih akomodatif. Dengan dukungan penuh militer dan logistik Kompeni, Pangeran Puger mengkudeta keponakannya dan menobatkan diri sebagai Susuhunan Pakubuwana I.

Perang yang berlangsung hingga 1708 itu berakhir tragis bagi Amangkurat III. Terdesak hingga ke Jawa Timur, ia akhirnya menyerah dan ditangkap. Dalam laporan resmi Belanda, pengasingannya ke Ceylon pada 1708 disebut sebagai “tindakan yang diperlukan demi stabilitas dan ketertiban di Tanah Jawa.”

Bersama keluarga inti dan ratusan pengikut setianya, sang raja yang juga dijuluki “Amangkurat Mas” itu dibawa ke negeri asing, memulai babak sunyi dalam sejarah dinastinya.

“Pengasingan adalah cara VOC mematikan lawan politik secara perlahan tanpa menumpahkan darah di depan umum. Mereka dipisahkan dari tanah, basis kekuatan, dan memori kolektif rakyatnya,” jelas Dr. Haryadi Baskoro, sejarawan dan filolog dari Universitas Gadjah Mada dalam sebuah wawancara.

Di Ceylon, nama Mataram menjadi tabu, dan harapan untuk kembali hanyalah mimpi yang disimpan dalam diam.

Kartasura Bergolak: Jalan Pulang yang Terbuka oleh Intrik Istana

Lebih dari tiga dekade berlalu. Di Keraton Kartasura, tahta telah beralih ke Pakubuwana II (memerintah 1726–1749). Ia adalah seorang raja muda yang mewarisi kerajaan yang terbelit utang politik kepada VOC dan dikendalikan oleh faksi-faksi elite istana yang saling bersaing.

Tokoh paling berpengaruh saat itu adalah Patih Danureja, seorang politisi licin yang memegang kendali pemerintahan efektif. Menurut catatan Babad Tanah Jawi, Danureja adalah salah satu penentang utama ide rekonsiliasi dengan trah Amangkurat III, yang dianggapnya sebagai ancaman laten.

Namun, roda politik berputar. Dominasi Danureja akhirnya memicu perlawanan dari raja dan para bangsawan lain. Titik baliknya terjadi dalam sebuah pertemuan dramatis di Semarang pada 1737.

Di hadapan Gubernur Jenderal VOC Adriaan Valckenier, keris Patih Danureja dicabut secara paksa dari pinggangnya—sebuah gestur simbolik yang menandai akhir kekuasaannya. Peristiwa yang terjadi pada hari Kamis Manis, 17 Sura, tahun Jimakir (1737) itu membuka jalan bagi perubahan.

Danureja ditangkap, hartanya disita, dan ironisnya, ia diasingkan ke tempat yang sama dengan musuh-musuh politiknya: Ceylon.

Lengsernya Danureja menjadi momentum bagi Pakubuwana II untuk mengonsolidasikan kekuasaannya. Ia mengangkat Tumenggung Natawijaya sebagai patih baru dengan gelar Natakusuma. Sosok moderat inilah yang menjadi arsitek di balik proyek besar penebusan luka dinasti: memulangkan para sentana (kerabat raja) dari garis Amangkurat III.

Diplomasi di Batavia dan Kembalinya Pusaka yang Hilang

Atas titah raja, sebuah delegasi tingkat tinggi yang dipimpin Patih Natakusuma berangkat ke Batavia. Misi mereka jelas: meminta Gubernur Jenderal VOC untuk memulangkan keturunan Amangkurat III. Lebih dari itu, mereka juga meminta kembalinya pusaka-pusaka keraton yang ikut terasing, termasuk sebuah bende (gong kecil) sakral bernama Ki Bicak.

“Bagi masyarakat Jawa, pusaka bukan sekadar benda. Ia adalah medium kekuatan kosmis dan legitimasi. Kembalinya Ki Bicak sama pentingnya dengan kembalinya darah Mataram itu sendiri,” ujar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Probo Kusumo, seorang budayawan keraton.

Setelah negosiasi yang alot, VOC setuju. Lebih dari 200 pria dan wanita keturunan Amangkurat III diberangkatkan dari Ceylon ke Batavia. Di antara mereka terdapat nama-nama penting: Pangeran Tepasana, Pangeran Mangkunagara, Pangeran Pakuningrat, dan Pangeran Emas. 

Mereka adalah generasi yang lahir dan besar dalam pengasingan, yang hanya mengenal Jawa dari cerita orang tua mereka.

Prosesi kepulangan mereka diatur layaknya ritual kenegaraan. Dari Semarang, mereka dijemput oleh para tumenggung dan dibawa menghadap Pakubuwana II di Keraton Kartasura. Suasana haru menyelimuti pisowanan agung (audiensi agung) saat surat dari Gubernur Jenderal dibacakan.

Tiga hari kemudian, momen puncak pun tiba. Pusaka-pusaka yang telah terpisah dari tanahnya selama puluhan tahun diserahkan kembali kepada raja. Peristiwa sakral ini ditandai dengan sengkalan (kronogram) “Janma Kawayang Karengeng Bumi”, yang secara numerik menunjuk tahun 1664 Jawa (sekitar 1739 M).

Sebagai imbalannya, Pakubuwana II menganugerahkan gelar, tanah lungguh (apanase), dan jabatan kepada para pangeran yang baru kembali, mengintegrasikan mereka ke dalam struktur kekuasaan Kartasura.

Rekonsiliasi atau Kalkulasi Politik?

Dari permukaan, pemulangan ini tampak seperti sebuah rekonsiliasi mulia. Pakubuwana II berhasil menampilkan citra sebagai raja yang bijaksana, yang menyatukan kembali dinasti yang retak. Secara spiritual, kembalinya pusaka dianggap memulihkan harmoni kosmis kerajaan.

Namun, di balik narasi resmi ini, tersembunyi kalkulasi politik yang dingin. VOC mendukung pemulangan ini karena mereka tahu para eksil tersebut tidak lagi memiliki kekuatan militer atau basis politik.

Mereka kembali sebagai kerabat yang bergantung pada kemurahan hati raja, bukan sebagai pesaing. Dengan demikian, VOC berhasil menghilangkan potensi ancaman di Ceylon sambil memperkuat stabilitas di Kartasura di bawah kendali mereka.

Luka yang Kembali Bernanah: Riwayat Amangkurat III dan Dua Makamnya

Rekonsiliasi ini ternyata rapuh. Luka sejarah terlalu dalam untuk disembuhkan hanya dengan upacara. Beberapa tahun kemudian, prahara Geger Pecinan (1741-1743) meletus, dan ironisnya, pemberontakan ini dipimpin oleh Raden Mas Garendi (Sunan Kuning), yang tidak lain adalah cucu Amangkurat III dari garis Pangeran Tepasana. Pemberontakan ini seakan menjadi bukti bahwa dendam pengasingan tidak pernah benar-benar padam.

Kisah ini juga meninggalkan jejak paling misterius dalam ingatan kolektif Jawa: riwayat Amangkurat III sendiri. Versi resmi yang didukung arsip VOC dan catatan keraton Surakarta menyebutkan ia wafat di Ceylon pada tahun 1734 dan jenazahnya dipulangkan untuk dimakamkan di kompleks pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri.

Namun, sebuah narasi tandingan hidup kuat di Kediri, Jawa Timur. Menurut tradisi lisan yang dijaga turun-temurun, Amangkurat III tidak pernah meninggal di pembuangan.

Ia berhasil kembali ke Jawa secara rahasia, melepaskan atribut duniawi, dan hidup sebagai seorang sufi hingga akhir hayatnya. Makamnya diyakini berada di Setono Gedong, Kediri, sebuah situs keramat yang hingga kini diziarahi banyak orang.

“Bagi kami, Amangkurat III di Setono Gedong adalah simbol perlawanan. Ia adalah raja yang menolak tunduk pada Kompeni dan memilih jalan spiritual,” tutur Mbah Sutrisno, juru kunci kompleks makam Setono Gedong.

Dua makam ini—satu di Imogiri sebagai simbol rekonsiliasi dengan kekuasaan, dan satu di Kediri sebagai monumen perlawanan dalam ingatan rakyat—menjadi metafora sempurna bagi sejarah Amangkurat III dan keturunannya.

Mereka dipulangkan ke tanah air, tetapi jejak pengasingan mereka abadi, mengingatkan kita bahwa dalam politik Jawa, tahta dan luka adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Sejarah boleh ditulis oleh penguasa, tetapi ingatan selalu menemukan jalannya sendiri untuk tetap hidup (ar/dnv).