Gizi Gratis, Ancaman Tersembunyi: Evaluasi Mendesak Program MBG

Gizi Gratis, Ancaman Tersembunyi: Evaluasi Mendesak Program MBG
Ilustrasi Makan Bergizi Gratis yang berulangkali menimbulkan keracunan bagi siswa di berbagai daerah membuat KPAI dan CISDI (Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives) meminta moratorium program tersebut (io)

Kasus keracunan berulang program Makan Bergizi Gratis (MBG) memicu desakan moratorium total. CISDI dan KPAI menyerukan evaluasi menyeluruh tata kelola dan keamanan pangan demi keselamatan anak.

INDONESIAONLINE – Janji makan bergizi gratis bagi jutaan anak Indonesia kini diselimuti bayang-bayang kelam. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai solusi peningkatan gizi, justru berulang kali memakan korban keracunan di berbagai daerah. Situasi genting ini memicu desakan kuat dari berbagai pihak, termasuk Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), agar pemerintah segera melakukan evaluasi menyeluruh, bahkan moratorium total.

“Kasus keracunan akibat MBG ibarat fenomena puncak gunung es,” tegas Diah Saminarsih, Founder dan CEO CISDI, pada 19 September 2025.

Diah menyiratkan bahwa angka sebenarnya bisa jauh melampaui data yang ada, mengingat ketiadaan dasbor pelaporan publik yang transparan dari pemerintah.

Sejak diluncurkan pada 6 Januari 2025 hingga pertengahan September 2025, CISDI mencatat setidaknya 5.626 kasus keracunan makanan telah terjadi di puluhan kota dan kabupaten di 17 provinsi. Data ini dihimpun dari pantauan pemberitaan media massa dan pernyataan resmi Dinas Kesehatan daerah.

Angka ini mencerminkan krisis tata kelola yang serius, terutama mengingat target ambisius pemerintah untuk menjangkau 82,9 juta penerima manfaat pada akhir 2025.

Terburu-buru Tanpa Payung Hukum dan Pengawasan Memadai

Ambisi besar untuk mencapai target masif itulah yang menjadi pangkal persoalan. “Demi mencapai target yang sangat masif itu, program MBG dilaksanakan secara terburu-buru sehingga kualitas tata kelola penyediaan makanan hingga distribusinya tidak tertata dengan baik,” jelas Diah Saminarsih.

Padahal, program sebesar ini seharusnya dipersiapkan matang, tidak hanya dari aspek regulasi dan keamanan pangan, tetapi juga kecukupan nutrisi serta mekanisme monitoring dan evaluasi yang solid. Setelah delapan bulan berjalan, program yang secara terpusat dikelola oleh Badan Gizi Nasional (BGN) ini belum juga memiliki payung hukum berupa peraturan presiden, apalagi peraturan pelaksana lainnya.

Akibatnya, tata kelola kelembagaan menjadi kabur, mulai dari koordinasi antar-kementerian atau lembaga, hubungan pusat-daerah, hingga pengaturan kerja sama multipihak.

“Klaim pemerintah bahwa program ini dapat disempurnakan sembari berjalan terbukti gagal karena kasus keracunan terus berulang dan bertambah,” tambah Diah.

CISDI pun mendesak moratorium sementara program MBG demi memastikan evaluasi berjalan efektif.

KPAI Turut Bersuara: Keselamatan Anak Taruhan Utama

Desakan serupa datang dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra, menekankan pentingnya evaluasi komprehensif. Jasra mengusulkan agar BGN segera menghentikan sementara program MBG.

“KPAI usul hentikan sementara, sampai benar-benar instrumen panduan dan pengawasan yang sudah dibuat BGN benar-benar dilaksanakan dengan baik,” ujar Jasra.

Kekhawatiran utama adalah keselamatan anak-anak sebagai penerima manfaat. Jika pemerintah bersikukuh melanjutkan MBG tanpa evaluasi total, dikhawatirkan kasus keracunan akan terus berulang dan mengancam kesehatan generasi penerus bangsa. Mirisnya, upaya pemerintah untuk memulihkan hak anak-anak yang menjadi korban keracunan hingga kini masih belum jelas.

Kasus keracunan berulang ini bukan hanya mencoreng citra program, tetapi juga menimbulkan pertanyaan fundamental tentang prioritas pemerintah: efisiensi distribusi atau jaminan keamanan dan kesehatan anak-anak? Moratorium dan evaluasi menyeluruh bukan lagi pilihan, melainkan keharusan mendesak demi mencegah lebih banyak korban dan memastikan program MBG benar-benar menjadi berkah, bukan petaka.