Jelajahi kisah dramatis pemberontakan Pajang 1617, duel terakhir warisan Majapahit-Demak melawan ambisi Mataram. Mengenal Pangeran Juminah, pilar militer dan spiritual Mataram yang terlupakan, serta nasib tragis Pangeran Benawa II. Sebuah narasi sejarah yang mengubah peta politik Jawa.
INDONESIAONLINE – Pada awal abad ke-17, riak di permukaan politik Jawa perlahan berubah menjadi gelombang besar. Pajang, permata yang pernah bersinar terang pasca-Demak, kini hanyalah gema dari kejayaan lampau. Sejak takhta beralih ke tangan Senapati Mataram pada 1589, Pajang bak bayangan yang memudar.
Namun, pada tahun 1617, seolah menolak padam, bara pemberontakan tiba-tiba menyala, mengancam konsolidasi kekuasaan Mataram yang baru seumur jagung.
Ini bukan sekadar konflik wilayah, melainkan duel epik dua narasi besar Jawa: warisan legitimasi Majapahit-Demak yang diusung Pajang, melawan ambisi Mataram yang sedang mendefinisikan dirinya sebagai hegemon baru. Di jantung pusaran ini, dua nama menyeruak dari tirai sejarah, membawa takdir Jawa ke persimpangan jalan.
Pertama, Pangeran Juminah, seorang bangsawan Mataram yang namanya jarang disebut dalam buku sejarah populer, namun perannya krusial sebagai panglima awal Sultan Agung. Sosok yang kelak menjadi pilar politik, militer, dan spiritual Mataram.
Kedua, Pangeran Benawa II, pewaris terakhir Pajang, yang berusaha menghidupkan kembali kebesaran kakeknya, Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir). Konflik 1617 bukan hanya menorehkan tinta merah pada kanvas sejarah, tetapi juga menandai lenyapnya Pajang dari panggung politik Jawa dan konsolidasi Mataram sebagai kerajaan agraris-militer terbesar di Tanah Jawa.
Senjakala Pajang: Ketika Warisan Memudar dan Benawa II Menggenggam Bara
Krisis suksesi pasca-wafatnya Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) pada 1582 menjadi awal senjakala Pajang. Pangeran Benawa I, putra Jaka Tingkir, tak kuasa mempertahankan takhta dari Panembahan Senapati, pendiri Mataram. Namun, darah Pajang tak sepenuhnya padam.
Benawa I meninggalkan seorang putra, Pangeran Benawa II, yang lahir dari simpul silsilah yang memesona: keturunan Majapahit (Prabu Brawijaya V), Demak (Sultan Trenggana), dan Wali Songo (Sunan Kalijaga). Sebuah legitimasi spiritual dan politik yang kuat, meski ia berada di bawah bayang-bayang Mataram.
Sejak muda, Benawa II ditempa dalam strategi politik, militer, dan spiritualitas Jawa. Ia mengelola Kadipaten Jipang Panolan dan kemudian Pajang sebagai wilayah semi-otonom, membangun basis kekuatan di tengah tekanan Mataram.
Manuskrip lokal, seperti Babad Pajang Kajoran, bahkan menyebutnya dengan berbagai gelar, dari Prabu Wijaya hingga Tumenggung Benowo, menunjukkan posisinya yang unik: bukan raja, tetapi lebih dari sekadar adipati biasa.
Di sisi lain, Mataram di bawah Panembahan Hanyakrawati (1601–1613) dan kemudian Sultan Agung (1613–1646) sedang berambisi menjadi pusat hegemoni Jawa. Hubungan Benawa II dan Sultan Agung adalah labirin kekerabatan, politik, dan klaim legitimasi.
Benawa II adalah cucu Sultan Hadiwijaya, sementara Sultan Agung adalah keponakannya dari pihak ibu (Ratu Mas Hadi, saudari Benawa II, adalah permaisuri Panembahan Hanyakrawati, ayah Sultan Agung). Relasi ini menempatkan Benawa II dalam posisi dilematis: pewaris sah Pajang, kerabat Mataram, sekaligus simbol otonomi yang menolak sentralisasi.
Bara yang Menyala: Mandurareja, Tambakbaya, dan Kuda-Kuda Legendaris
Pemberontakan Pajang 1617 bukan peristiwa tunggal. Ia berakar pada intrik internal Mataram. Adipati Mandurareja, menantu Panembahan Senapati yang merasa tersingkir, bersekutu dengan Tambakbaya, seorang karismatik pemilik kuda-kuda perang legendaris.
Kuda-kuda Tambakbaya, yang menurut Babad Tanah Jawi mampu berlari jauh tanpa lelah, menjadi simbol kekuatan pemberontak dan sempat membuat pasukan Mataram kewalahan.
Dari aliansi inilah Benawa II ditarik kembali ke panggung, mengibarkan panji Pajang sebagai simbol perlawanan. Mereka bertekad mengembalikan kejayaan Pajang, menantang hegemoni Mataram yang terus meluas.
Juminah: Pangeran yang Menjadi Panglima Pembawa Badai
Di titik kritis inilah nama Pangeran Juminah muncul, tampil di garda depan Mataram. Terlahir sebagai Raden Mas Bagus, putra Panembahan Senapati dari Raden Ayu Retno Dumilah, putri Adipati Madiun I. Silsilahnya terhubung erat dengan trah Demak dan bahkan kakek Benawa II, Sultan Hadiwijaya. Juminah adalah paman sekaligus ayah tiri Sultan Agung, sebuah ikatan keluarga yang mengukuhkan posisinya.
Meskipun usianya relatif muda, Juminah adalah seorang bangsawan berpengalaman yang pernah menjabat sebagai Bupati Madiun dengan gelar Kanjeng Pangeran Adipati Juminah. Kenaikan gelarnya menjadi Panembahan didapat setelah menikah dengan Ratu Mas Hadi, ibu Sultan Agung. Ia bukan hanya figur militer, melainkan juga jangkar politik dan spiritual bagi Mataram.
Dalam ekspedisi menumpas pemberontakan Pajang, Juminah memimpin pasukan gabungan dari berbagai daerah bawahan. Strateginya sederhana namun efektif: membiarkan pemberontak bergerak, lalu memukul balik dengan kekuatan besar.
Pasukan Benawa II, yang sempat menduduki daerah sekitar Pajang, akhirnya dipukul mundur. Peran Juminah sangat menentukan, terutama dalam mengamankan logistik dan jalur suplai beras yang krusial.
Pertempuran besar yang terjadi pada pertengahan 1617 digambarkan dalam Babad dengan dentuman meriam, panah api, dan benturan tombak yang memenuhi langit Pajang. Namun, disiplin militer Mataram di bawah komando Juminah membuat perbedaan.
Pasukan Pajang yang mengandalkan serangan kavaleri kuda Tambakbaya, akhirnya terkepung. Setelah pertempuran sengit, Benawa II terpaksa mundur. Juminah tidak hanya mengalahkan musuh, tetapi juga merebut simbol-simbol Pajang: panji, pusaka, dan kuda-kuda perang. Kemenangan ini menegaskan: Pajang tidak akan pernah bangkit lagi sebagai kekuatan politik independen.
Epilog yang Tragis: Depopulasi, Larangan Beras, dan Nasib Benawa II
Kemenangan Mataram atas Pajang datang dengan harga yang mahal. Seperti biasa dalam perang Jawa abad ke-17, rakyatlah yang paling menderita. Daerah Pajang mengalami depopulasi besar-besaran, sawah terbengkalai, desa-desa terbakar, dan penduduk dipaksa pindah (bedhol desa) ke daerah yang lebih mudah dikendalikan Mataram.
Sultan Agung bahkan mengeluarkan larangan ekspor beras ke daerah pesisir yang dianggap tidak loyal, sebuah kebijakan yang melemahkan Surabaya dan sekutunya, namun juga membebani masyarakat pedalaman.
Setelah kalah, Benawa II melarikan diri ke timur, mencari perlindungan ke Surabaya dan Giri. Langkah ini secara politik masuk akal, mengingat Surabaya adalah pusat perlawanan terhadap ekspansi Mataram, dan Giri memiliki legitimasi religius sebagai pusat Islam Jawa.
Namun, aliansi ini juga berarti Benawa II menanggalkan peluangnya untuk merebut takhta Pajang secara independen. Ia hanyalah bagian dari perlawanan yang lebih besar melawan Sultan Agung. Setelah 1617, nama Benawa II perlahan menghilang dari panggung sejarah.
Juminah: Pilar Politik, Militer, dan Spiritual Mataram yang Terlupakan
Pascaperang Pajang, peran Panembahan Juminah tidak berhenti di medan tempur. Krisis politik setelah kegagalan ekspedisi Sultan Agung ke Batavia (1628-1629) menuntut legitimasi baru. Pembangunan kompleks makam raja di Imogiri, sebuah proyek raksasa, dipercayakan kepada Juminah dan Pangeran Balitar.
Penunjukan ini menegaskan posisi strategis Juminah sebagai penghubung politik, militer, dan spiritual. Ia memastikan material terbaik, termasuk kayu wungle dari Palembang, dikerahkan untuk membangun simbol kekuasaan Mataram ini.
Juminah wafat sebelum proyek Imogiri rampung (sekitar 1643-1644 M) dan dimakamkan di Bukit Girilaya atas perintah Sultan Agung. Kematiannya mendorong pembangunan kompleks baru yang lebih tinggi di Imogiri, namun fondasi simbolik dan tata kelola awal tetap berkat perannya.
Kedekatannya sebagai suami kedua Ratu Mas Hadi, ibu Sultan Agung, menjadikannya figur sentral dalam fase awal konsolidasi Mataram, menegaskan legitimasi dinasti melalui simbol spiritual dan politik.
Warisan Panembahan Juminah melampaui simbol. Dari pernikahannya dengan Ratu Mas Hadi, lahir garis keturunan yang menempati posisi penting dalam struktur kekuasaan Mataram dan cabang-cabangnya, seperti Mangkunegaran dan Pakualaman. Salah satu cucunya, Ratu Mas Blitar (permaisuri Pakubuwana I), adalah poros genealogis yang menghubungkan hampir semua penguasa penting Jawa abad ke-18. Dengan demikian, Juminah tidak hanya dikenang sebagai panglima dan pengawas pembangunan Imogiri, tetapi juga sebagai leluhur strategis yang memastikan kesinambungan politik, spiritual, dan militer dinasti Mataram.
Historiografi: Antara Kosmis Babad dan Pragmatis VOC
Sumber utama kisah pemberontakan Pajang 1617 adalah Babad Tanah Jawi dan beberapa catatan Belanda (VOC). Babad melukiskan peristiwa ini dengan nuansa kosmis: Pajang sebagai kekuatan lama yang runtuh, Mataram sebagai kekuatan baru yang naik dengan restu gaib. Sementara catatan VOC lebih pragmatis, melihatnya sebagai bagian dari konsolidasi Mataram sebelum menyerang pesisir utara Jawa, mencatat penguatan kontrol beras dan perpindahan penduduk.
Historiografi modern cenderung memandang pemberontakan ini sebagai benturan dua legitimasi: warisan Pajang versus ambisi Mataram. Dan dalam benturan itu, Pangeran Juminah tampil sebagai aktor militer yang jarang disebut tetapi sangat menentukan.
Sejarah sering menyoroti raja besar, sementara tokoh-tokoh seperti Juminah tersembunyi di balik bayang-bayang mereka. Tanpa Pangeran Juminah, konsolidasi awal Mataram, pembangunan simbol kekuasaan, dan struktur genealogis yang meneguhkan dinasti mungkin tidak akan sekuat dan sejelas itu. Dari medan perang Pajang hingga pembangunan Imogiri, Juminah muncul sebagai pilar yang menyatukan politik, militer, dan spiritualitas Mataram, figur yang memastikan kelangsungan kekuasaan Sultan Agung dan transformasi Mataram menjadi kerajaan terbesar di Jawa.
Referensi:
Ricklefs, M.C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c.1200 (4th ed.). Stanford University Press. (Sumber primer dan sekunder historiografi Jawa, konflik Mataram, VOC).
De Graaf, H.J. & Pigeaud, Th.G.Th. (1974). De Eerste Moslimse Vorstendommen op Java: Studien over de Staatkundige Geschiedenis van de 15de en 16de Eeuw. Martinus Nijhoff. (Memberikan konteks tentang Pajang dan Demak).
De Graaf, H.J. & Pigeaud, Th.G.Th. (1984). Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke-16. (Terjemahan). Grafitipers. (Versi terjemahan dari sumber di atas, relevan untuk silsilah dan latar belakang Benawa II).
Carey, P.B.R. (1992). The British in Java, 1811-1816: A Javanese Account. Oxford University Press. (Meskipun fokusnya berbeda, karya Carey seringkali merujuk pada historiografi Jawa sebelumnya, termasuk Babad, dan memberikan konteks budaya dan politik).
Babad Tanah Jawi, berbagai edisi dan manuskrip (misalnya, edisi Balai Pustaka atau Leiden). (Sebagai sumber naratif utama tentang peristiwa dan silsilah. Penting untuk diingat bahwa Babad memiliki nuansa mitologis dan kronologis yang berbeda dari historiografi modern, namun esensial untuk memahami narasi Jawa).
Prajitno, W. (ed.) (2007). Silsilah Raja-Raja Mataram Islam dan Keturunannya. Yayasan Pustaka Nusatama. (Sumber yang membantu melacak silsilah Juminah dan Benawa II).
Catatan VOC/Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI): Laporan-laporan dan surat-surat dari Batavia, Jepara, dan pos-pos VOC lainnya yang mendokumentasikan interaksi dengan Mataram dan gejolak di Jawa pada awal abad ke-17. (Memberikan perspektif eksternal yang lebih pragmatis tentang peristiwa).