Skandal korupsi pengadaan tanah Polinema Rp22,6 miliar memasuki babak persidangan. Mantan Direktur Polinema dan penjual tanah ditahan, mengungkap ironi pendidikan sebagai sarang integritas.
INDONESIAONLINE – Bayangan ideal kampus sebagai menara gading integritas dan pencetak generasi antikorupsi kini terusik. Kasus dugaan korupsi pengadaan tanah untuk perluasan kampus Politeknik Negeri Malang (Polinema) tahun anggaran 2019-2020 telah memasuki babak krusial, membuka tabir ironi di balik dinding-dinding pendidikan tinggi.
Setelah melalui penyidikan maraton, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur resmi melimpahkan dua tersangka beserta barang bukti (Tahap II) kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Malang, Selasa (30/9/2025).
Dua nama yang kini menjadi sorotan adalah Awan Setiawan (66), seorang pensiunan dosen sekaligus mantan Direktur Polinema, dan Hadi Santoso (59), purnawirawan TNI AD yang berperan sebagai pihak penjual tanah. Keduanya diduga kuat bersekongkol dalam perbuatan melawan hukum, menancapkan kerugian fantastis pada kas negara, senilai Rp22,6 miliar.
Sebuah angka yang bukan hanya mengoyak keuangan publik, tetapi juga merobek kepercayaan pada lembaga pendidikan.
Tindakan Tegas dan Harapan Keadilan
Tak menunggu lama, JPU segera menetapkan penahanan terhadap kedua tersangka. Mereka kini mendekam di Rumah Tahanan Negara Klas I Cabang Surabaya di Kejati Jawa Timur selama 20 hari ke depan, terhitung mulai 30 September hingga 19 Oktober 2025. Langkah ini, menurut Kasi Intelijen Kejari Kota Malang, Tri Agung Radityo, adalah keniscayaan hukum.
“Pertimbangan penahanan didasarkan pada kekhawatiran tersangka melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau bahkan mengulangi perbuatannya. Karena itu, JPU memandang perlu melakukan penahanan,” tegas Agung, Rabu (1/10/2025).
Penahanan ini menjadi sinyal kuat komitmen penegak hukum untuk memastikan proses peradilan berjalan tanpa intervensi.
Kasus ini menjerat kedua tersangka dengan jerat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, secara spesifik UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001. Pasal-pasal tersebut menegaskan bahwa setiap individu yang dengan sengaja memperkaya diri sendiri atau pihak lain hingga merugikan keuangan negara dapat diancam pidana berat. Selain itu, penyalahgunaan wewenang yang berpotensi merugikan negara juga menjadi pasal tambahan dengan ancaman hukuman tak kalah serius.
“Target kami, persidangan bisa segera berjalan sehingga publik mendapat kepastian hukum,” imbuh Agung, menggambarkan urgensi untuk segera membawa perkara ini ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi setelah JPU rampung menyusun surat dakwaan.
Pendidikan dalam Pusaran Korupsi
Kasus Polinema ini bukan anomali. Data dari Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan bahwa sektor pendidikan, meski sering dielu-elukan sebagai harapan bangsa, tidak sepenuhnya imun dari praktik korupsi. Laporan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia seringkali menyoroti celah-celah pengawasan dalam pengadaan barang dan jasa di berbagai lembaga negara, termasuk perguruan tinggi.
Kerugian negara akibat korupsi di sektor pendidikan, meskipun angkanya fluktuatif, pernah mencapai miliaran rupiah dalam berbagai kasus yang diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan di tahun-tahun sebelumnya.
Sebagai perbandingan, Transparency International’s 2023 Corruption Perception Index (CPI) menempatkan Indonesia pada peringkat 115 dari 180 negara dengan skor 34, di bawah rata-rata global. Ini mengindikasikan bahwa masalah korupsi masih menjadi pekerjaan rumah besar, dan kasus seperti Polinema adalah salah satu manifestasinya.
`
Menurut survei KPK tahun 2021, salah satu modus korupsi yang paling umum di sektor pengadaan adalah mark-up harga dan kolusi antara pejabat dan penyedia barang/jasa. Modus operandi ini, yang diduga kuat terjadi dalam pengadaan tanah Polinema, seringkali sulit dideteksi tanpa investigasi mendalam.
Peringatan Keras dan Harapan Perubahan
Skandal Rp22,6 miliar di Polinema ini menjadi peringatan keras bagi seluruh institusi pendidikan. Dana negara yang dipercayakan untuk pengembangan kampus dan peningkatan kualitas pendidikan seharusnya dijaga dengan integritas tertinggi, bukan malah menjadi bancakan oknum-oknum tak bertanggung jawab.
Kasus ini juga menyoroti urgensi reformasi tata kelola di perguruan tinggi. Penguatan sistem pengawasan internal, peningkatan transparansi dalam setiap proses pengadaan, serta edukasi antikorupsi yang berkelanjutan bagi civitas academica adalah langkah-langkah mutlak yang harus diambil. Jika lembaga pendidikan, yang seharusnya menjadi benteng moral, justru tercemar korupsi, maka fondasi integritas bangsa akan semakin rapuh.
Publik kini menanti keadilan. Hasil persidangan kasus Polinema bukan hanya tentang menghukum para pelaku, tetapi juga tentang menegaskan kembali komitmen negara terhadap pemberantasan korupsi, sekaligus mengembalikan kepercayaan masyarakat pada institusi pendidikan sebagai pilar utama pembangunan bangsa. Mampukah kampus biru kembali menjadi teladan, ataukah noda korupsi ini akan terus membayangi citranya? Hanya waktu dan proses hukum yang akan menjawabnya (hs/dnv)