Kisah Darah Terbuang dan Api Pemberontakan di Jantung Jawa

Kisah Darah Terbuang dan Api Pemberontakan di Jantung Jawa
Ilustrasi kecamuk kerajaan Dinasti Mataram (ai/io)

Menyelami palung sejarah Jawa abad ke-17 dan 18, dari intrik Mataram Kartasura hingga kebangkitan Amangkurat V (Sunan Kuning) dan jejak Supriyadi. Sebuah narasi tentang darah, dendam, dan perlawanan abadi.

INDONESIAONLINE – Abad ketujuh belas melingsir, memuntahkan abad kedelapan belas yang tak kalah beringas. Di jantung Jawa, tegaklah Kartasura, istana yang dibangun di atas onggokan dendam dan darah.

Dinasti Mataram, yang konon megah oleh warisan Sultan Agung, nyatanya adalah seekor naga tua yang memakan ekornya sendiri. Kekuasaan itu, sejak mula, adalah jalinan intrik yang tiada henti, kompromi busuk dengan kekuatan asing yang merayap bagai benalu: Kompeni Belanda, VOC.

Di balik dinding-dinding keraton yang termegah, bersembunyi luka-luka tak tersembuhkan, diwariskan dari satu generasi ke generasi lain. Pengkhianatan berulang, pengasingan paksa, dan pencabutan legitimasi dengan restu bangsa-bangsa Eropa. Sejarah bukanlah sekedar dongeng indah. Ia adalah catatan tentang bagaimana kekuasaan meracuni, membusukkan, dan menciptakan barisan ingatan yang traumatik.

Dan dari pusaran itu, dari lumpur pengasingan yang pekat, muncullah kembali satu garis darah yang semula hendak dikubur hidup-hidup: keturunan Amangkurat III.

Amangkurat III, anak sulung yang malang, Raden Mas Sutikna namanya. Ia naik takhta pada 1703, namun takdir telah menggariskan jalannya penuh duri. Takdir, dan tentu saja, siasat Kompeni. Kekuasaannya rapuh bagai daun kering, diembus intrik keluarga, persaingan istri-istri, dan dendam lama trah Mataram.

Pamannya sendiri, Pangeran Puger, dengan hidung mengendus kelemahan, bersekongkol dengan Kompeni. Dengan bedil-bedil dan tentara bayaran, ia menggulingkan keponakannya, merebut tahta pada 1705, dan menabalkan diri sebagai Sunan Pakubuwana I. Inilah Perang Suksesi Jawa I, perang saudara yang menjadi saksi bisu bagaimana VOC menyuntikkan racunnya hingga ke sumsum dinasti.

Bahkan sejak kanak, Sutikna dipandang cacat, terlaknat. Ia dinikahkan dengan Raden Ayu Lembah, putri Pangeran Puger, demi mengikat simpul retak. Namun, seperti yang sering terjadi dalam drama istana, perkawinan itu justru membuka pintu tragedi.

Lembah jatuh cinta pada Raden Sukra, seorang bangsawan lain. Perselingkuhan itu terbongkar. Sutikna yang murka, menghukum Sukra dengan kejam: matanya dijejali semut hingga berdarah, sebagaimana dituturkan Babad Tanah Jawa.

Lembah, sang putri, meregang nyawa di tangan ayahnya sendiri, demi menjaga kehormatan palsu. Tapi dendam adalah api yang tak pernah padam. Terutama dendam keluarga Sindureja.

Puger, sang paman mencoba menutupi luka dengan menikahkan putrinya yang lain, Raden Ayu Impun kepada Sutikna. Namun, lagi-lagi, kebahagiaan adalah fatamorgana.

Sutikna, yang keras kepala, malah menceraikan Impun dan mengangkat seorang selir dari Onje sebagai permaisuri. Penghinaan ini membakar emosi keluarga Puger, memicu pemberontakan Raden Surya Kusuma, yang bahkan berani menobatkan diri sebagai raja tandingan, Susuhunan Waliullah Panatagama.

Intrik rumah tangga, bukan sekadar urusan ranjang. Ia adalah bara politik, perpanjangan permusuhan lama antara trah Ratu Wetan dan Ratu Kulon, dua garis keturunan Amangkurat I yang tak pernah akur, selalu berebut kekuasaan.

Ambisinya, konon, begitu gelap. Raden Mas Sutikna diduga mempercepat kematian ayahnya, Amangkurat II. Dalam keadaan sakit parah, sang ayah ditikam dengan keris pusaka Kyai Balabar. Amangkurat II, di ambang mautnya, menjatuhkan kutukan: “Tidak akan selamat anak cucumu kelak.” Kutukan itu terus bergaung sepanjang sejarah.

Penobatannya sendiri diliputi kejanggalan. Busana sakral keraton, baju gondhil, enggan melekat pada tubuhnya. Sebuah pertanda bahwa wahyu raja tak sudi turun sepenuhnya. Pemerintahannya tak berlandaskan wibawa, melainkan ketakutan. Bangsawan terbelah, sebagian besar mencondongkan hati pada Pangeran Puger.

Ketika Surya Kusuma memberontak, Amangkurat III menyekap Puger dan keluarganya di keraton, bahkan berniat membunuh mereka. Rencana itu digagalkan oleh Patih Sumabrata, tetapi jurang permusuhan justru kian menganga. Surya Kusuma akhirnya ditangkap dan dihukum mati. Darah terus mengalir di Mataram.

Pangeran Puger, licin bagai belut, berhasil melarikan diri ke Semarang pada 1704, dengan dukungan adipati-adipati pesisiran dan, tentu saja, Kompeni. Di sana, ia ditabalkan sebagai raja tandingan dengan gelar panjang yang mentereng: Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Ratu Prabhu Pakubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayidin Panatagama.

Penobatan ini disaksikan oleh para pejabat VOC, adipati pesisiran, dan ulama terkemuka. Sebuah ironi, seorang raja Jawa ditabalkan oleh kekuatan asing.

VOC, dengan mata rakusnya, mendukung Puger bukan karena cinta keluarga, melainkan demi menancapkan cengkeraman atas jantung Jawa. Dengan raja yang bergantung pada mereka, Kompeni memperoleh pijakan politik dan ekonomi yang kokoh.

Sejak itu, Kartasura menjadi medan perang. Pasukan Semarang, VOC, dan adipati pesisiran, diperkuat oleh Cakraningrat dari Madura, menggempur loyalis Amangkurat III. Ungaran, Salatiga, Asem, semua menjadi saksi pertempuran. Pada 1705, Kartasura jatuh. Amangkurat III melarikan diri ke timur, membawa serta pusaka-pusaka agung Mataram.

Pelarian dan Pengasingan: Darah yang Dibuang

Dalam pelariannya, Amangkurat III mencari perlindungan kepada Adipati Wiranagara, yang tak lain adalah Untung Surapati, di Pasuruan. Sebuah aliansi yang mempertemukan sisa dinasti Mataram dan perlawanan lokal Jawa Timur, sama-sama membenci VOC. Namun, kekuatan mereka tak sebanding dengan gabungan Kompeni, Surabaya, dan Madura.

Pertempuran besar di Bangil dan Malang menjadi kuburan perlawanan mereka. Pada 1706, Amangkurat III menyerah di Dungul. Ia ditawan ke Batavia, lalu diasingkan ke Ceylon, tanah asing yang jauh. Di sana ia wafat pada 1734, meninggalkan nama sebagai raja yang naik takhta dengan darah, namun jatuh dalam kehinaan.

Pengasingan ke Sri Lanka, bukan sekadar pembuangan fisik. Dalam pandangan Jawa, itu adalah pemutusan hubungan kosmis dengan tanah leluhur. Raja adalah penghubung antara jagad alit dan jagad gede. Dengan diasingkannya Amangkurat III dan seluruh keturunannya, seolah wahyu keraton dicabut, agar tak pernah kembali.

VOC, dalam laporan resminya, sesumbar bahwa langkah itu diambil demi “stabilitas di Jawa.” Namun, dengan mata telanjang seorang pengamat sejarah, alasan itu jelaslah muslihat kolonial: menyingkirkan semua potensi oposisi dinasti, dan memastikan tahta Mataram hanya bisa bertahan melalui kompromi dengan kekuatan asing.

Kartasura di Bawah Bayang VOC: Natakusuma dan Jalan Pulang

Naiknya Pakubuwana II ke tahta pada 1726 membuka babak baru, namun raja muda ini segera dikepung oleh konservatisme istana dan tekanan Kompeni. Kekuasaan sehari-hari dikendalikan oleh Patih Danureja, birokrat senior yang keras, penjaga tatanan politik pasca-kudeta.

Di bawah rezim Danureja, gagasan rekonsiliasi dengan trah Amangkurat III adalah ilusi. Istana Kartasura lebih sibuk menjilat Batavia daripada memulihkan luka dinasti. VOC berkepentingan mempertahankan fragmentasi, agar kerajaan tetap menjadi budak dukungan kolonial.

Namun, roda sejarah berputar. Pada 1737, Danureja dicopot dari jabatannya. Kerisnya dicabut secara simbolik oleh Idelir Konyit, tanda bahwa wahyu kekuasaan telah berpindah. Danureja diasingkan ke Batavia, lalu ke Sri Lanka. Ironi. Ia mengalami nasib serupa dengan keluarga yang dulu ia musuhi.

Sebagai pengganti Danureja, Pakubuwana II mengangkat Tumenggung Natawijaya dengan gelar Natakusuma. Berbeda dengan pendahulunya, Natakusuma lebih terbuka pada gagasan rekonsiliasi. Bersama Tumenggung Tirtawiguna, Raden Suralaya, dan Ki Arya Kudus, Natakusuma mengirim diplomasi ke Batavia: memohon agar keturunan Amangkurat III dipulangkan.

Surat resmi dari Kartasura menyebut bukan hanya permohonan pemulangan keluarga, tetapi juga pengembalian pusaka kerajaan: keris, tombak, bende, dan pakaian sakral. Pusaka, dalam pandangan Jawa, adalah simbol wahyu keprabon. Tanpa pusaka, raja kehilangan legitimasi, takhta menjadi lumpuh.

Setelah perundingan panjang, Gubernur Jenderal di Batavia menyetujui. Dua ratus anggota keluarga besar Amangkurat III dikirim kembali. Di antara mereka, nama-nama seperti Pangeran Teposono, Pangeran Mangkunagara, Pangeran Pakuningrat, Raden Jayakusuma, dan Pangeran Emas.

Prosesi penyambutan di Semarang berlangsung agung. Mereka dijemput Tumenggung Mangkunagara dan Tumenggung Mangkubuda, lalu diarak menuju Kartasura. Di keraton, surat VOC dibacakan dalam pisowanan agung, disusul penyerahan pusaka setelah tiga hari.

Peristiwa ini dikenang melalui sengkalan “Janma Kawayang Karengeng Bumi”, yang bermakna: “manusia telah kembali ke tanah leluhurnya.”

Sebagai penghormatan, Pakubuwana II memberi gelar dan tanah lungguh. Pangeran Mangkunagara menjadi Pangeran Wiramanggala; Tepasana menerima seribu lungguh; Jayakusuma tiga ratus; dan anggota termuda keluarga diangkat sebagai menteri muda.

Restorasi, ataukah sekadar strategi Kompeni? Di satu sisi, pemulangan ini memperkuat posisi Pakubuwana II yang tengah didera krisis internal. Ia bisa mengklaim sebagai pemersatu darah Mataram, memperbaiki legitimasi yang retak. Secara spiritual, kembalinya pusaka berarti pemulihan harmoni kosmos.

Namun, dari perspektif kritis, langkah VOC lebih strategis: mereka memulangkan keluarga yang sudah kehilangan basis sosial dan politik. Tanpa pasukan, tanpa tanah, yang tersisa hanyalah nama. VOC berhasil menetralkan potensi ancaman, mengubah simbol menjadi sekadar ornamen.

Retna Dumilah dan Raden Mas Garendi: Nyala Api yang Tak Pernah Padam

Dari keluarga yang pulang itu, muncullah nama Retna Dumilah, putri Pangeran Tepasana. Kecantikannya disebut memesona, karismanya membuatnya diterima di lingkar dalam istana. Ia akhirnya diperistri oleh Pakubuwana II.

Pernikahan ini, mengandung makna politik besar. Garis darah Amangkurat III kembali bersatu dengan dinasti penguasa. Melalui Retna Dumilah, stigma pengkhianat yang melekat pada keluarganya perlahan surut. Ia menempati ruang privat istana, tetapi pengaruhnya simbolis: menghadirkan kembali legitimasi trah yang sempat dihapus.

Bagi Retna Dumilah, pernikahan bukan sekadar ikatan pribadi, melainkan instrumen rekonsiliasi dinasti. Ia menjadi jembatan sejarah yang memungkinkan darah Amangkurat III mengalir lagi dalam tubuh kerajaan Kartasura.

Namun, dari rahim pengasingan yang lain, muncullah Raden Mas Garendi. Bukan sekadar figur muda yang muncul dalam pusaran krisis Kartasura antara 1741 hingga 1743. Ia adalah cucu langsung Sunan Amangkurat III, raja Mataram yang dikudeta oleh pamannya sendiri, Pangeran Puger, dengan restu VOC.

Lahir sebagai anak bungsu Pangeran Teposono, Garendi tumbuh bukan di istana, melainkan di tengah diaspora politik yang menyingkirkannya dari lingkar kekuasaan.

Ayahnya, Pangeran Teposono, awalnya disiapkan sebagai pewaris Amangkurat III. Namun setelah Amangkurat III kalah dan dibuang, Teposono ikut terseret ke pinggiran politik. Ia bahkan dieksekusi atas tuduhan berkonspirasi melawan Pakubuwono II. Peristiwa ini menjadi titik balik: keluarga besar keturunan Amangkurat III tidak hanya tersingkir, tetapi juga dijadikan sasaran pembersihan politik.

Garendi kecil selamat dari eksekusi. Ia dibawa lari pamannya, Wiramenggala, ke hutan-hutan sekitar Gunung Kemukus, lalu menyingkir ke Grobogan.

Di sinilah nasib uniknya bermula: ia diasuh oleh seorang tokoh Tionghoa bernama He Tik. Didikan lintas budaya itu membuatnya tumbuh berbeda dari kebanyakan bangsawan Mataram. Wajah rupawan, kecerdasan, dan akhlak baiknya tercatat dalam Babad Kartasura, tetapi yang lebih penting, ia berakar pada rakyat dan komunitas Tionghoa yang tertindas—bukan pada elit keraton yang sudah berkompromi dengan VOC.

Situasi awal 1740-an memberi ruang bagi kemunculan Garendi. Ketika pecah Geger Pecinan pasca-pembantaian orang Tionghoa di Batavia (1740), Jawa ikut terseret dalam pergolakan. Pakubuwana II mula-mula mendukung laskar Tionghoa, tetapi pada awal 1742 ia berbalik arah dan justru memerintahkan penumpasan terhadap sekutunya sendiri. Tindakan ini memicu krisis kepercayaan: banyak bupati kecewa, sebagian berpaling.

Dalam situasi itulah nama Garendi mencuat ke panggung politik Jawa. Bupati Grobogan, Martapuro, bersama Bupati Pati, Mangunoneng, serta para pemimpin laskar Tionghoa seperti Singseh dan Sepanjang, bersepakat mencari pengganti raja.

Martapuro menolak tawaran untuk dinobatkan karena merasa dirinya tidak berdarah bangsawan. Maka pilihan pun dijatuhkan kepada Garendi, seorang remaja berusia enam belas tahun, keturunan langsung Amangkurat III, pewaris sah takhta yang selama ini disingkirkan dari gelanggang kekuasaan.

Pada 6 April 1742, di sebuah desa di Pati, ia dinobatkan dengan gelar panjang: Susuhunan Amangkurat V Senopati Ing Ngalaga Abdulrahman Sayidin Panatagama.

Penobatan ini adalah koreksi sejarah, sebuah legitimasi tandingan atas takhta yang dahulu direbut VOC melalui kudeta terhadap kakeknya. Dalam tradisi lisan, ia kemudian dijuluki Sunan Kuning, sebuah gelar yang maknanya masih diperdebatkan, apakah berasal dari kata Tionghoa Cuning yang berarti bangsawan tertinggi atau dari asosiasi warna kuning pada pasukan Tionghoa yang mendukungnya.

Begitu diangkat sebagai raja, Amangkurat V segera memimpin perlawanan. Pasukan gabungan Jawa–Tionghoa merebut Kudus, Pati, dan Demak. Bupati pro-VOC melarikan diri, pasukan kerajaan gagal bertahan. Bahkan bantuan Madura dihancurkan oleh laskar Dipasena.

Komisaris VOC di Semarang, Hugo Verijsel, menulis dengan nada heran: bagaimana mungkin “sekelompok kecil Tionghoa” bisa menguasai wilayah luas sementara ribuan prajurit kerajaan tak berdaya? Ia gagal membaca bahwa peristiwa itu bukan sekadar pemberontakan etnis, melainkan revolusi sosial, sebuah perlawanan rakyat Jawa dan komunitas Tionghoa terhadap pengkhianatan Pakubuwono II.

Namun kejayaan Amangkurat V hanya berlangsung sesaat. Pada pertengahan tahun 1743, VOC dan pasukan kerajaan melancarkan serangan balik. Kartasura berhasil direbut kembali. Amangkurat V lenyap dari panggung resmi, disingkirkan dari silsilah raja-raja Mataram dan dikubur dalam sejarah sebagai pemberontak.

Meski kalah, perjuangan Garendi tidak berakhir sia-sia. Salah satu panglima mudanya, Raden Mas Said, melanjutkan perlawanan dengan perang gerilya. Dalam tempo satu setengah dekade, ia memaksa pusat kekuasaan berkompromi. Hasilnya adalah Perjanjian Giyanti (1755) dan kemudian Perjanjian Salatiga (1757) yang melahirkan Kadipaten Mangkunegaran.

Dengan demikian, perjuangan Amangkurat V adalah mata rantai penting dalam lahirnya kekuasaan baru di Jawa. Tanpa “revolusi Garendi,” sulit membayangkan munculnya Sambernyawa sebagai kekuatan alternatif yang diakui secara sah.

Dari Raja Alternatif ke Pahlawan PETA: Garis Darah yang Tak Padam

Mengapa nama Amangkurat V jarang disebut? Jawabnya sederhana: karena ia kalah. Sejarah resmi ditulis oleh para pemenang, yakni Pakubuwana II dan VOC.

Dalam babad keraton, Garendi hanya disebut sekilas, bahkan dilecehkan sebagai pemberontak. Namun tradisi lisan, arsip kolonial, dan penelitian modern justru menunjukkan sebaliknya, bahwa ia adalah raja alternatif yang berakar pada legitimasi darah dan dukungan rakyat.

Kisah Garendi memperlihatkan betapa rapuhnya tatanan kolonial di Jawa abad ke-18. VOC bisa mengasingkan raja, mengatur silsilah, bahkan menulis ulang babad. Namun mereka tidak mampu memadamkan ingatan. Ingatan itu hidup dalam pusaka, dalam keturunan, dan dalam dendam sosial rakyat.

Raden Mas Garendi, atau Amangkurat V, adalah simbol tentang bagaimana sejarah bisa dimanipulasi tetapi tidak bisa sepenuhnya dihapus. Ia cucu Amangkurat III, anak buangan yang tumbuh dalam didikan komunitas Tionghoa, ipar Pakubuwono II, sekaligus raja tandingan yang melawan feodalisme dan kolonialisme.

Retna Dumilah melanjutkan trah melalui perkawinan politik, sementara Garendi mewujudkan dendam sejarah lewat revolusi rakyat. Bersama, mereka menunjukkan bahwa darah dinasti yang pernah dibuang tetap bisa kembali, entah lewat ranjang atau lewat perang.

Dalam memori sejarah Jawa, Amangkurat V adalah raja yang kalah di medan perang, tetapi menang dalam ingatan. Ia adalah raja lain dari Mataram, namanya dihapus dari daftar resmi, namun tetap hidup sebagai lambang perlawanan.

Akan tetapi, kisahnya tidak berhenti di Kartasura. Garendi menurunkan garis keturunan yang kelak bermuara pada seorang pemuda dari Blitar, Shodanco Supriyadi.

Jalur nasabnya dapat ditelusuri dengan jelas. Raden Mas Garendi (Amangkurat V) adalah putra Pangeran Teposono, cucu Amangkurat III, cicit Amangkurat II, buyut Amangkurat I, dan turun dari Sultan Agung serta Panembahan Senapati.

Dari Garendi lahir Kanjeng Pangeran Kuning, diteruskan oleh Kanjeng Pangeran Shipan, lalu Kanjeng Pangeran Tohpati, kemudian Raden Hadikusumo. Dari garis itu lahir Raden Wirjodikromo, seorang patih di Wirosari, Grobogan. Generasi berikutnya adalah Raden Soetowidjojo, seorang jaksa di Wirosari, yang menurunkan Raden Soetodirdjo.

Dari Soetodirdjo lahirlah Raden Sumodihardjo, yang kemudian memiliki putri bernama Roro Rahayu. Roro Rahayu menikah dengan Raden Darmadi, seorang Wedana Gorang Gareng yang kemudian menjadi Bupati Blitar. Dari pasangan inilah lahir Shodanco Raden Supriyadi, pemimpin pemberontakan PETA tahun 1945.

Dengan demikian, garis darah Supriyadi menyambung lurus kepada para raja besar Mataram Islam. Ia bukan sekadar pemuda revolusioner yang ditempa pendidikan modern, melainkan pewaris panjang narasi perlawanan. Luka pengasingan Amangkurat III, pemberontakan Garendi dalam Geger Pecinan, dan kebangkitan simbolik keluarga Tepasana, semuanya berpadu dalam tubuhnya.

Supriyadi memang tidak pernah mengklaim dirinya keturunan Mataram, tetapi darah yang diwarisinya sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan keberaniannya melawan penindasan. Seperti Garendi, ia memimpin pemberontakan bersenjata, menghilang tanpa jejak, dan dikenang bukan karena kekuasaan yang dimiliki, melainkan karena keberaniannya menolak tunduk.

Dari Kartasura hingga Blitar, sejarah menunjukkan bahwa darah yang pernah dibuang selalu menemukan jalan untuk kembali. Garendi dan Supriyadi adalah dua wajah dari satu garis panjang perlawanan: raja alternatif yang dikubur sebagai pemberontak dan pemuda revolusioner yang menjadi pahlawan.

Keduanya menyiratkan pesan bahwa sejarah bukan hanya catatan tentang takhta, melainkan juga tentang ingatan, dendam, dan keberanian. Garendi mungkin kalah di Kartasura, tetapi ia menang dalam ingatan yang diwariskan hingga ke tubuh Supriyadi. Dalam diri sang shodanco, gema keturunan Amangkurat III kembali berdentum sebagai ledakan sejarah baru: nasionalisme modern yang lahir dari luka lama.

Referensi Tervalidasi:

  1. Ricklefs, M.C. (2008). A History of Modern Indonesia Since c.1200 (4th ed.). Stanford University Press. 

  2. De Graaf, H.J., & Pigeaud, Th.G.Th. (1974). De Eerste Moslimse Vorstendommen op Java: Studiën over de Staatkundige Geschiedenis van de 15de en 16de Eeuw. Martinus Nijhoff. 

  3. Babad Tanah Jawi (berbagai edisi dan manuskrip).

  4. Olthof, W.L. (1941). Babad Tanah Djawi, in Proza. Javaansche Geschiedenis Loopende van de schepping der wereld tot het jaar 1756. (Terjemahan dan suntingan penting dari Babad Tanah Jawi).

  5. Carey, P.B.R. (2008). The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855. KITLV Press. 

  6. Kumar, Ann. (1997). Java and Modern Europe: Ambiguous Encounters. Curzon Press.

  7. Pemberton, John. (1994). On the Subject of ‘Java’. Cornell University Press.

  8. Dahm, Bernard. (1971). History of Indonesia. Praeger Publishers. 

  9. Catatan-catatan Arsip VOC (terutama dari Hoge Regering di Batavia dan pos-pos di Jawa seperti Semarang).