Surat pernyataan pelarangan protes program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten Malang memicu keresahan wali murid. Analisis mendalam mengungkap potensi pelanggaran hak dan respons cepat Pemkab Malang.
INDONESIAONLINE – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah pusat, sejatinya bertujuan mulia untuk memastikan asupan nutrisi optimal bagi generasi penerus bangsa. Namun, di Kabupaten Malang, implementasinya diwarnai polemik serius menyusul beredarnya sebuah surat pernyataan kontroversial yang meresahkan para wali murid.
Surat tersebut secara garis besar melarang protes dan menuntut hak bila terjadi kesalahan dalam pelaksanaan program MBG, memicu pertanyaan besar tentang transparansi dan akuntabilitas.
Surat pernyataan yang beredar dalam bentuk soft copy ini, awalnya disebut-sebut akan ditujukan kepada wali murid pelajar SD dan SMP di Kabupaten Malang. Sekilas, formatnya tampak standar, dengan kolom pengisi identitas.
Namun, penelusuran lebih dalam mengungkap sejumlah kejanggalan fundamental yang berpotensi membungkam hak-hak dasar konsumen, dalam hal ini, wali murid dan anak-anak mereka.
Salah satu poin paling mencolok adalah opsi “mengizinkan/tidak mengizinkan anak saya menerima program MBG tersebut” untuk periode Oktober 2025 s.d. April 2026.
Ini menimbulkan pertanyaan, mengingat pelajar SD dan SMP adalah target utama program MBG. Opsi tersebut, yang mengharuskan pencoretan salah satu pilihan, terkesan ambigu dan berpotensi mengeksklusi anak-anak dari hak mereka mendapatkan asupan gizi.
Lebih jauh, surat tersebut memuat klausul yang sangat problematis: “Apabila terjadi kejadian yang luar biasa, saya bersedia merahasiakan dan untuk selanjutnya mencari penyelesaian/solusi yang terbaik dengan pihak-pihak terkait dan tidak akan menuntut apapun kepada pihak manapun.”
Klausul ini, jika diberlakukan, secara efektif akan melumpuhkan kemampuan wali murid untuk menyuarakan keluhan, menuntut pertanggungjawaban, atau mencari keadilan jika anak mereka menjadi korban insiden buruk, seperti keracunan makanan atau sajian yang tidak layak. Potensi sanksi bagi pelanggar pernyataan ini semakin menambah kekhawatiran, menciptakan iklim ketakutan alih-alih partisipasi.
Keresahan Wali Murid dan Dampak Psikologis
Kabar mengenai surat ini sontak memicu gelombang kecaman dan kekhawatiran di kalangan wali murid. Mereka tidak bisa melupakan rentetan insiden sebelumnya di berbagai daerah, mulai dari kasus keracunan makanan hingga keluhan tentang kualitas dan kuantitas makanan yang tidak memadai, bahkan hanya berupa kacang rebus atau sepotong roti.
“Bagaimana jika anak kami mengalami hal serupa? Dengan surat ini, kami tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan terancam sanksi,” ujar salah seorang wali murid yang enggan disebutkan namanya, mencerminkan ketakutan kolektif.
Secara psikologis, adanya surat pernyataan semacam ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap program pemerintah. Alih-alih merasa tenang dan terbantu, wali murid justru diliputi kecemasan akan potensi risiko tanpa adanya jalur pengaduan yang aman dan efektif. Ini bertentangan dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, di mana transparansi dan partisipasi publik adalah kuncinya.
Beruntung, Dinas Pendidikan (Dispendik) Kabupaten Malang merespons cepat polemik ini. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Malang, Suwadji, menegaskan bahwa surat pernyataan tersebut telah ditarik dan tidak akan dilanjutkan.
“Sekolah menolak membuat pernyataan seperti itu,” pungkasnya.
Langkah cepat Pemkab Malang ini patut diapresiasi sebagai upaya meredam keresahan dan menegaskan komitmen terhadap hak-hak masyarakat. Namun, insiden ini juga menjadi pengingat penting bagi semua pihak terkait, mulai dari perumus kebijakan hingga pelaksana di lapangan, untuk senantiasa mengedepankan prinsip kehati-hatian, transparansi, dan perlindungan hak-hak warga negara dalam setiap program publik.
Data Relevan dan Perspektif Lebih Luas
Program MBG merupakan inisiatif besar yang menelan anggaran signifikan. Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, alokasi untuk program ini pada tahun anggaran 2024 mencapai triliunan rupiah. Implementasi program sebesar ini memerlukan pengawasan ketat dan mekanisme feedback yang responsif.
Penelitian dari UNICEF (2022) tentang program gizi sekolah di negara berkembang menunjukkan bahwa keberhasilan program sangat bergantung pada keterlibatan komunitas, termasuk wali murid, dalam proses pemantauan dan evaluasi. Mekanisme pengaduan yang jelas dan tanpa ancaman adalah prasyarat mutlak.
Kasus di Kabupaten Malang ini menyoroti pentingnya edukasi bagi semua pihak mengenai hak dan kewajiban mereka. Wali murid memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, memberikan masukan, dan mengajukan keluhan jika terjadi penyimpangan. Sementara itu, pemerintah memiliki kewajiban untuk memastikan program berjalan sesuai standar, transparan, dan akuntabel, tanpa ada upaya pembungkaman.
Penarikan surat pernyataan ini adalah langkah awal yang baik. Namun, untuk membangun kembali kepercayaan dan memastikan program MBG berjalan efektif di masa mendatang, dibutuhkan lebih dari sekadar penarikan surat. Perlu ada sosialisasi ulang yang masif mengenai hak-hak wali murid, mekanisme pengaduan yang aman dan mudah diakses, serta jaminan bahwa setiap keluhan akan ditindaklanjuti secara profesional.
Insiden surat kontroversial ini harus menjadi pelajaran berharga, bukan hanya bagi Kabupaten Malang, melainkan juga bagi daerah lain yang akan mengimplementasikan program serupa. Keberhasilan program sebesar MBG terletak pada kolaborasi dan kepercayaan antara pemerintah dan masyarakat, bukan pada upaya membungkam kritik (al/dnv).