INDONESIAONLINE – Usulan untuk mengembalikan konsesi tambang yang diberikan pemerintah kepada Nahdlatul Ulama (NU) ditolak tegas oleh Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Fahrur Rozi (Gus Fahrur). Menurut Gus Fahrur, alih-alih mengembalikannya karena dinilai membawa mudarat (kerugian), konsesi tersebut justru harus dimanfaatkan secara maksimal.
”Saya berpendapat, ini tidak perlu dikembalikan. Justru harus kita manfaatkan secara optimal demi kemaslahatan umat,” kata Gus Fahrur.
Jaminan Tata Kelola dan Manfaat Ekonomi
Gus Fahrur menyatakan keyakinannya bahwa PBNU akan mampu menjalankan manajemen tambang dengan baik asalkan menerapkan kaidah teknis pertambangan yang benar (good mining practice). Pengelolaan ini diharapkan dapat menjadi teladan, berfokus pada efisiensi, keselamatan, efektivitas, serta kelestarian lingkungan.
”Ini harus mencakup reklamasi lahan, manajemen limbah, penggunaan teknologi ramah lingkungan, kepatuhan regulasi, dan pelibatan masyarakat sekitar,” jelasnya.
Ia juga menyoroti peran strategis hasil tambang sebagai sumber energi utama (misalnya batu bara untuk listrik), penghasil devisa negara, dan bahan baku industri. Bahkan, limbahnya (seperti fly ash dan bottom ash) dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur.
Meski demikian, Gus Fahrur menekankan pentingnya transparansi finansial dan akuntabilitas dampak lingkungan. Pengelolaan harus patuh pada Undang-Undang Minerba dan peraturan pemerintah terkait agar tidak menimbulkan masalah hukum di kemudian hari.
Terkait dugaan konflik internal di PBNU yang dipicu konsesi tambang, Gus Fahrur menilai hal itu sebagai persoalan sementara yang dapat diselesaikan secara internal, bukan alasan fundamental untuk mengembalikan hak konsesi.
Dukungan dari Putra Pendiri NU
Penolakan terhadap pengembalian konsesi juga disuarakan KH Hasib Wahab Hasbullah (Gus Hasib), kiai sepuh NU dari Jombang dan putra salah satu pendiri NU: KH Abdul Wahab Hasbullah.
Gus Hasib memandang konsesi ini bukan sekadar izin usaha, melainkan penghargaan negara atas kontribusi NU terhadap kemerdekaan. Konsesi ini harus dilihat sebagai peluang untuk memperkuat kemandirian ekonomi organisasi.
”Menurut pemikiran saya, ini tidak perlu dikembalikan. Ini adalah hadiah dari negara kepada NU untuk memberikan kesempatan usaha ekonomi,” ujarnya.
Gus Hasib berpesan agar tata kelola tambang harus diperbaiki, dikelola oleh individu yang amanah, dijalankan dengan manajemen yang terbuka, serta dibentuk satuan tugas (satgas) khusus yang melibatkan unsur Tanfidziyah, Syuriyah, dan Badan Perekonomian NU untuk menjamin transparansi.
Gus Hasib mengakui bahwa konsesi tambang telah menimbulkan kisruh di tubuh PBNU. Karena itu, ia menyarankan agar pengelolaan dilakukan secara transparan dan amanah agar membawa rahmat bagi organisasi, alih-alih menjadi laknat.
Argumen Kiai Said Aqil Siroj
Sebelumnya, mantan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menyarankan agar konsesi tambang dikembalikan kepada pemerintah. Pandangan ini disampaikannya usai bertemu dengan Ketum PBNU KH Yahya Cholil Staquf dan sejumlah kiai sepuh di Pesantren Tebuireng, Jombang.
Kiai Said menjelaskan, pengembalian ini perlu dilakukan demi menghindari mudarat yang semakin nyata bagi jam’iyah (organisasi).
Meskipun awalnya ia melihat kebijakan ini sebagai bentuk apresiasi negara dan peluang kemandirian ekonomi, dinamika internal PBNU belakangan ini, yang ditandai dengan konflik, perdebatan tata kelola, dan kegaduhan publik, dinilai jauh lebih merugikan organisasi.
”Melihat apa yang terjadi belakangan ini, konflik semakin melebar, dan itu membawa mudarat yang lebih besar daripada manfaatnya. Maka jalan terbaik adalah mengembalikannya kepada pemerintah,” pungkas Kiai Said. (rds/hel)













